32 research outputs found

    Prevalence of neurocysticercosis in people with epilepsy in the Eastern Province of Zambia

    Get PDF
    Zambia is endemic for Taenia solium taeniosis and cysticercosis. In this single-centered, cross-sectional, community-based study, the role of neurocysticercosis (NCC) as a cause of epilepsy was examined. People with epilepsy (PWE, n = 56) were identified in an endemic area using a screening questionnaire followed by in-depth interviews and neurological examination. Computed tomography (CT) was performed on 49 people with active epilepsy (PWAE) and their sera (specific antibody and antigen detection, n = 56) and stools (copro-antigen detection, n = 54) were analyzed. The CT scan findings were compared to a group of 40 CT scan controls. Of the PWE, 39.3% and 23.2% were positive for cysticercal antibodies and antigens, respectively, and 14.8% for coproantigens (taeniosis). Lesions highly suggestive of NCC were detected in 24.5% and definite NCC lesions in 4.1% of CT scans of PWAE. This compares to 2.5% and 0%, respectively, in the control CT scans. Using the Del Brutto diagnostic criteria, 51.8% of the PWAE were diagnosed with probable or definitive NCC and this rose to 57.1% when the adapted criteria, as proposed by Gabriel et al. (adding the sero-antigen ELISA test as a major criterion), were used. There was no statistically significant relationship between NCC, current age, age at first seizure and gender. This study suggests that NCC is the single most important cause of epilepsy in the study area. Additional large-scale studies, combining a community based prevalence study for epilepsy with neuroimaging and serological analysis in different areas are needed to estimate the true impact of neurocysticercosis in endemic regions and efforts should be instituted to the control of T. solium

    A novel approach to fractional calculus: utilizing fractional integrals and derivatives of the Dirac delta function

    Full text link
    While the definition of a fractional integral may be codified by Riemann and Liouville, an agreed-upon fractional derivative has eluded discovery for many years. This is likely a result of integral definitions including numerous constants of integration in their results. An elimination of constants of integration opens the door to an operator that reconciles all known fractional derivatives and shows surprising results in areas unobserved before, including the appearance of the Riemann Zeta Function and fractional Laplace and Fourier Transforms. A new class of functions, known as Zero Functions and closely related to the Dirac Delta Function, are necessary for one to perform elementary operations of functions without using constants. The operator also allows for a generalization of the Volterra integral equation, and provides a method of solving for Riemann's "complimentary" function introduced during his research on fractional derivatives

    A Cross-Sectional Study of People with Epilepsy and Neurocysticercosis in Tanzania: Clinical Characteristics and Diagnostic Approaches.

    Get PDF
    Neurocysticercosis (NCC) is a major cause of epilepsy in regions where pigs are free-ranging and hygiene is poor. Pork production is expected to increase in the next decade in sub-Saharan Africa, hence NCC will likely become more prevalent. In this study, people with epilepsy (PWE, n=212) were followed up 28.6 months after diagnosis of epilepsy. CT scans were performed, and serum and cerebrospinal fluid (CSF) of selected PWE were analysed. We compared the demographic data, clinical characteristics, and associated risk factors of PWE with and without NCC. PWE with NCC (n=35) were more likely to be older at first seizure (24.3 vs. 16.3 years, p=0.097), consumed more pork (97.1% vs. 73.6%, p=0.001), and were more often a member of the Iraqw tribe (94.3% vs. 67.8%, p=0.005) than PWE without NCC (n=177). PWE and NCC who were compliant with anti-epileptic medications had a significantly higher reduction of seizures (98.6% vs. 89.2%, p=0.046). Other characteristics such as gender, seizure frequency, compliance, past medical history, close contact with pigs, use of latrines and family history of seizures did not differ significantly between the two groups. The number of NCC lesions and active NCC lesions were significantly associated with a positive antibody result. The electroimmunotransfer blot, developed by the Centers for Disease Control and Prevention, was more sensitive than a commercial western blot, especially in PWE and cerebral calcifications. This is the first study to systematically compare the clinical characteristics of PWE due to NCC or other causes and to explore the utility of two different antibody tests for diagnosis of NCC in sub-Saharan Africa

    Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP) Produk Garmen pada PT. PancaPrima EkaBrothers, Tangerang

    Get PDF
    BRATA LESMANA MEKANIA. 2002. Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP) Produk Garmen pada PT. PancaPrima EkaBrothers, Tangerang. SYAMSUL MA'ARIF dan SRI HARTOYO. Industri tekstii mulai berkembang dengan pesat di Indonesia sejak dikeluarkannya Undang-undang PMA dan PMDN pada tahun 1967 dan 1968. Membaiknya iklim usaha menjadikan industri baik serat sintetis maupun industri pertenunan clan pemintalan semakin meningkat. Pa& akhir dasawarsa 1980-an diieluarkan berbagai paket deregulasi guna meningkatkan ekspor non-migas namun kebijakan tersebut lebii berorientasi pada sasaran ekspor. Dampak dari kebijakan tersebut di atas adalah ekspor tekstil dan garmen melonjak terutama sejak tahun 1987, namun pada tahun 1993 dan 1994 tejadi penurunan. Kemudian pada tahun 1996 sedikit derni sedikit mengalami kenaikan lagi, akhirnya menurun lagi pada tahun 1997 hingga sekarang ini. Kunci sukses industri garmen dalam menembus pasar ekspor yaitu terletak pada produk yang bermutu tinggi, produktivitas yang tinggi, penman barang tepat waktu dan harga yang bersaing. Untuk mendukung hal tersebut, suatu produk yang bennutu dan produktivitas yang tinggi, tidak cukup mengandallcan mutu bahan baku saja tetapi juga akurasi penjahitan, kecepatan produksi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu diperlukan perencanaan produksi produk garment yang terpadu. Berproduksi secata tepat waktu dan tepat jumlah merupakan tujuan yang hams dicapai oleh PT PEB terutama pada bagian cutting dan embroidery. Oleh karena itu diperlukan suatu perencanaan kebutuhan kapasitas (Cupcity Requirements Planning = CRP) yang baik dan tepat sehingga &pat dijadiian panduan dalam proses pengambilan keputusan manajemen. PT PEB dalam melakukan proses produksinya dihadapkan pada kendala-kendala antara lain : Waktu pelaksanaan operasi (run time) yang tidak merniliki standar yang baku dan kapasitas produksi pada bagian cutting dan embroidery yang belum tepat perencanaannya sehingga penjadwalan pada kedua pusat kerja (work station = WSMQ tidak tepat mengikut jadwal bagian produksi (sewing). Selanjutnya dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas maka rumusan pennasalahan yang dianalisa yaitu bagaimana faktor-faktor produksi mempengaruhi perhitungan perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) dan bagaimana membuat laporan perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) pada sentra keja cutting dan bordir sesuai dengan sumber daya yang dirniliki perusahaan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidenmasi variabel-variabel yang berpengaruh terhadap pengukuran perencanaan kebutuhan kapasitas pada bagian cutting dan embroidery/printing. menentukan rencana kebutuhan kaoasitas vada sentra- keja cutting dan embr~~dery/printingbagi PT PEB yang*disesu&an dengan order yang diterima dan memberikan rekomendasi perencanaan kebutuhan kapasitas berupa laporan CRP pada bagian cutting dan embroideiylprinting untuk order yang diterima perusahaan. � Ruang lingkup penelitian manajemen produksi dan operasi ini difokuskan kepada pengkajian kegiatan perencanaan kebutuhan kapasitas khususnya pada bagian cutting dan embroidery/printing yang mendukung kebutuhan dari bagian produksi (sewing), dimulai dengan penentuan time study sampai dengan konsep perhitungan kebutuhan kapasitas yang mampu menunjang kelancaran produksi dari bagian cutting dan embroidery/printing. Penelitian ini hanya sarnpai pada tahap pengajuan alternatif sedanghn tahap selanjutnya berupa implementasi merupakan kewenangan manajemen PT PancaPrima EkaBrothers (PEB). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang bersifat studi kasus. Studi kasus ini secara khusus membahas perhitungan perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) yang akan dilakukan oleh PT PEB. Sementara data-data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh melalui mdode pengamatan langsung di lapangan berupa standar pengukuran produktivitas yaitu time study, diskusi lapangan dengan operator, foreman, supervisor, dan manajer produksiiteknis, serta manajemen PT PEB. Data-data yang telah diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisa dengan rumus/formula baku Time Siudy, Productivity Emboidev (TAW), utilisasi, effisiensi, dan kapasitas terpasang (Rated Capacity). Variabel yang sangat mempengamhi dalam perhitungan CRP ini yaitu time study dengan memandang pentingnya lead time, pada hasil pengamatan ada Lima elemen lead time yang semestinya diiangkum dalam proses produksi di WC-1 dan WC-2 untuk menentukan waktu standarlactual, routing atau alur penugasan pada kedua WC ini haws lebii jelas sehingga kelima elemen ini dapat diperhatikan. Kelima elemen tersebut adalah : (1) Waktu antrian (queue time), merupakan waktu menunggu sebelum operasi diiulai. (2) Waktu Setup (setup time), merupakan waktu setup mesin agar siap beroperasi. (3) Waktu pelaksanaan (run time), merupakan waktu melaksanakan operasi. (4) waktu menunggu (wait t~me), merupakan waktu menunggu setelah operasi berakhir. (5) Waktu Bergerak (move time), merupakan waktu bergerak secara fisik diantara operasi yang satu dan operasi lain. Waktu pelaksanaan (run time) rnerupakan elemen yang saat ini digunakan, karena manajemen melihat saat ini dan dari pengalaman terdahulu para operator, alat pernbantu, helper (operator pembantu) telah melakukan gerakan atau kerja proses yang cepat sehingga keempat elemen lainnya untuk saat ini diabaikan. Selain variabel time study ada variabel lain yang penting pula diperhatikan yaitu bahan baku dan proses pembuatan produk gmen itu sendiri yang tidak seragam, artinya setiap produk garmen yang dihasilkan berbeda komponen bahan bakunya. Komponen yang berbeda ini bukan dari jenis bahan baku atau material pendukung lainya, tetapi susunan komponen setiap order garmen yang diterima berbeda bahkan jurnlahnya juga berbeda, baik berdasarkan order per season ataupun style. Hasil dari perhitungan CRP dan pengamatan untuk kedua produk garmen yaitu pant (5569 pcs) dan short (27986 pcs) pada WC-1 dan WC-2 terjadi ketidakseimbangan antara kapasitas dan beban kerja. Pada laporan CRP dinyatakan bahwa kapasitas terpasang untuk WC-1 1350.63 rne~t@ant) dan 3792.27 rne~t(short) sedangkan kapasitas aktual 1740.32 menit (pant) dan 4206.16 menit (short) , tejadi over capacity 389.69 menit (pant) dan 413.89 menit (short). Pada WC-2 juga terjadi hal yang sama yaitu over capacity sebesar � 258.13 menit @ant) dan 1297.19 menit (short). Pada distribusi beban keja untuk kedua WC tersebut juga diketahui adanya kelebiian beban keja. Penentuan beban kerja dilakukan dengan menggunakan in$nite loading (tanpa pemabatasan beban kerja) bersamaan diiakukan penjadwalan ke belakang. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara kapasitas dan beban. Hasil lain yang didapat dengan melakukan pengukuran time study pada kedua WC tersebut yaitu pada WC-2 belum mencapai tingkat produktivitas yang diinginkan oleh manajemen. Hasii perhitungan produktivitas yang digunakan untuk mengukur kapasitas pada WC-2 menyatakan WC-2 hanya mampu mencapai 67.11% (tertinggi) dan 27.59% (terendah) produktivitas yang dicapai pada WC-2, saat ini produktivitas yang diinginkan oleh manajemen idealnya adalah 80%. Implikasi dari temuan di atas mengharuskan manajemen untuk menyeimbangkan kapasitas dengan beban kerja pada tiap WC. Ada beberapa tindakan yang mungkin dapat diambii akibat dari ketidakseimbangan atau perbedaan antara kapasitas yang ada dan beban yang dibutuhkan. Tidakan-tindakan ini dapat diiakukan secara sendiri atau dalam berbagai bentuk kombiiasi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi aktual dari PT PEB, yaitu dengan : (1) Meningkatkan Kapasitas (Increasing Capacity) dengan cara : (a) menambah ekstra shift, (b) menjadwalkan lernbur (over trme) atau bekerja di akhir pekan (work weekend), (c) menambah peralatan bordii, alat bantu seperti meja gelar danlatau personel, (d) melakukan subkontrak satu atau lebii dari shop order. (2) Mengurangi Beban (Reducing Load), dengan cara (a) melakukan subkontrak pekejaan ke pernasok luar, (b) Mengurangi ukuran lot, (c) melakukan penjadwalan ulang seluruh order yang diterima, (d) menahan pekejaan dalam pengendalian produksi atau mengeluakan pesanan lebii lambat (karena setiap pesanan yang ada telah memiliki waktu jatuh tempo yang sama yaitu 90 hari), (3) mendistribusikan Kemabali Beban (Redistrzbuting Load), dengan cara (a) menggunakan alternatif work center artinya WC-1 proses pada bagian cutting yaitu dengan membuat parthagian yang akan diianjutkan pada WC-2 bordii jadi bagian lainnya menunggu dalam antrian, (b) menggunakan alternatif routinglalur penugasan, (c) menyesuaikan tanggal mulai operasi ke belakang (lebii awal atau lebii lambat, dikombimsikan sesuai kondisi aktual). Sedangkan tindakan yang perlu dilakukan oleh manajernen untuk meningkatkan produktivitas dari hasil bordir, dapat dilakukan dengan mempersimgkat waktu proses bordii, Cara yang palimg mudah yaitu dengan merubah metode keja dari bagian bordir baik itu dengan scheduling yang lebih baik, dan yang paling penting memberikan pengertian kepada operator mengenai pentingnya ketepatan dan kecepatan dari proses pra bordir yaitu set up, pemasangan fiame dan kecepatan menghadapi hambatan pada saat proses bordir seperti penaganan secara cepat dan tepat jiia jarum patah, benang lepas dan kendala lainnya. Peningkatan produktivitas tidak dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan pada mesin bordir, namun dapat diianipulasi dengan perbaikan kinerja dari bagian bordir secara keseluruhan. Penggunaan CRP memberikan penilaian secara terperinci dari sumber- sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan order manufakturing. Pengukuran yang dilakukan dari konsep CRP ini telah membuka wawasan bagi para foreman, supervisor, dan pihak manajemen di WC terkait akan pentingnya � melakukan perhitungan CRP, karena CRP mampu memberikan time-phased visibiliy dari ketidakseimbangan kapasitas dan beban sehingga manajemen hams mulai mengambii keputusan dengan menyiapkan sistem pengukuran dan alat bantu lainnya untuk melakukan tahap awd dari komponen CRP yaitu Time Study. CRP juga mampu mengkonfirmasi bahwa kapasitas cukup, dan ada pada basis kumulatif sepanjang horizon perencanaan. Manajemen dapat mempertimbangkan ukuran lot spesifik dan ratings atau alur penugasan serta alternatif WC jika terjadi unbalancing antara kapasitas dan beban. Manajemen manpu memperkirakan lead time yang lebih tepat dan mengehnhirlmenghilangkan erratic lead times (waktu tunggu yang tidak menentu) dengan cara memberikan data untuk memuluskan beban seoaniana sentra-sentra keria (WO. .<- Dari berbagai alternatif yang a& dalam rangka mknieimbangkan kapasitas dan beban, maka dengan mempertimbangkan biaya produksi maka pelatihan internal SDM untuk meningkatkan produktivitas, peningkatan performance kerja dan rescheduling adalah alternatif solusi yang lebih baik untuk mengatasi ketidak seimbangan antara kapasitas dan beban pada setiap sentra kerja (WC). Dari hasil pengamatan dan analisa yang dilakukan di PT PEB, maka disarankan bagi manajemen perusahaan untuk dapat mempertimbangkan Penggunaan CRP dengan mengikuti tahapan MRP 11secara keseluruhan karena CRP tidak dapat berdiri sendii, CRP merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dalam MRP 11dan untuk pembebanan dauat dicoba oenagunan metode lain seoerti . -- program finite loading, sijdan dengan pinggunam konsep-konsep yang telah ada sekarang. Selain itu untuk menyeimbangkan kapasitas dan beban kerja, manajeien lebih disarankan untuk helakukan penjadwalan ulang untuk jadwd induk utama dengan pertimbangan akan meminimalkan biaya produksi jika dibandingkan dengan penambahan shift, panjadwalan lembur, menambah peralatan/personel. Namun pada special case hal-ha1 terebut dapat diiakukan atau dengan subkontrak. Perusahaan juga disarankan untuk mengembangkan program- program pelatihan dasar-dasar manufaktur, kepemimpinan, dan pelatihan mengenai proses berkelanjutan yang diperlukan guna meningkatkan kerja sama antara tiap-tiap work center, dan untuk mendukung implementasi dari perbaikan- perbaikan yang dilakukan oleh perusahaan

    Epidemiology of taeniosis/cysticercosis in Europe, a systematic review : Western Europe

    Get PDF
    Background: Taenia solium and Taenia saginata are zoonotic parasites of public health importance. Data on their occurrence in humans and animals in western Europe are incomplete and fragmented. In this study, we aimed to update the current knowledge on the epidemiology of these parasites in this region. Methods: We conducted a systematic review of scientific and grey literature published from 1990 to 2015 on the epidemiology of T. saginata and T. solium in humans and animals. Additionally, data about disease occurrence were actively sought by contacting local experts in the different countries. Results: Taeniosis cases were found in twelve out of eighteen countries in western Europe. No cases were identified in Iceland, Ireland, Luxembourg, Norway, Sweden and Switzerland. For Denmark, Netherlands, Portugal, Slovenia, Spain and the UK, annual taeniosis cases were reported and the number of detected cases per year ranged between 1 and 114. Detected prevalences ranged from 0.05 to 0.27%, whereas estimated prevalences ranged from 0.02 to 0.67%. Most taeniosis cases were reported as Taenia spp. or T. saginata, although T. solium was reported in Denmark, France, Italy, Spain, Slovenia, Portugal and the UK. Human cysticercosis cases were reported in all western European countries except for Iceland, with the highest number originating from Portugal and Spain. Most human cysticercosis cases were suspected to have acquired the infection outside western Europe. Cases of T. solium in pigs were found in Austria and Portugal, but only the two cases from Portugal were confirmed with molecular methods. Germany, Spain and Slovenia reported porcine cysticercosis, but made no Taenia species distinction. Bovine cysticercosis was detected in all countries except for Iceland, with a prevalence based on meat inspection of 0.0002-7.82%. Conclusions: Detection and reporting of taeniosis in western Europe should be improved. The existence of T. solium tapeworm carriers, of suspected autochthonous cases of human cysticercosis and the lack of confirmation of porcine cysticercosis cases deserve further attention. Suspected cases of T. solium in pigs should be confirmed by molecular methods. Both taeniosis and human cysticercosis should be notifiable and surveillance in animals should be improved.Peer reviewe

    Institutional Environments for Enabling Agricultural Technology Innovations: The Role of Land Rights in Ethiopia, Ghana, India and Bangladesh

    Full text link
    corecore