16 research outputs found

    Perbedaan Respons Hemodinamik antara Penggunaan Levobupivakain dan Penambahan Klonidin 1 dan 2 Mcg/kgBB pada Scalp Block

    Get PDF
    Penambahan adjuvan pada levobupivakain dapat memperkuat dan memperpanjang efek analgesia pada blok saraf tepi. Klonidin memiliki aksi yang sinergis dengan agen lokal anestesi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas penambahan klonidin 1 mcg/kgBB dan 2 mcg/kgBB pada scalp block sebagai analgetik kraniotomi. Penelitian dilakukan pada 30 pasien yang menjalani kraniotomi di RS Dr. Moewardi Surakarta selama periode bulan Meiā€“Agustus 2020 Desain penelitian yang digunakan adalah uji klinis tersamar acak ganda dengan analisis statistik menggunakan uji one-way ANOVA atau Kruskal Wallis. Subjek dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok I: scalp block dengan levobupivakain 0,25%, kelompok II: scalp block ditambah klonidin 1 mcg/kgBB, kelompok III: scalp block ditambah klonidin 2 mcg/kgBB. Penilaian terhadap tekanan darah, MAP, laju nadi dilakukan sebelum intubasi, pemasangan pin, insisi kulit, dan insisi duramater. Hasil penlitian didapatkan perbedaan signifikan penambahan klonidin pada levobupivakain 0,25% dengan kelompok kontrol terutama pada laju nadi dan diastole. Klonidin 2 mcg/kgBB pada beberapa waktu menunjukkan perbedaan signifikan dibanding dengan penambahan dosis klonidin 1 mcg/kgBB. Simpulan, penambahan klonidin pada scalp block levobupivakain efektif menurunkan respons hemodinamik terutama laju nadi dan tekanan darah diastoleĀ Differences in Hemodynamic Response to 1 and 2 mcg/kgBW Clonidine Addition to Scalp BlockAdding adjuvants to levobupivacaine can enhance and prolong the analgesic effect of peripheral nerve blocks. Clonidine has a synergistic action with local anesthetic agents. This study aimed to determine the effectiveness of adding clonidine 1 mcg/kgBW and 2 mcg/kgBW on scalp blocks as craniotomy analgesics. The study included 30 patients who underwent a craniotomy at Dr. Moewardi Hospital Surakarta in May-August 2020. The study design was a double-blind, randomized clinical trial with statistical analysis using one-way ANOVA or Kruskal Wallis trials. Subjects were divided into three groups: group I, scalp block with 0.25% levobupivacaine; group II, scalp block plus clonidine 1 mcg/kgBW; and group III, scalp block plus clonidine 2 mcg/kgBW. Assessment of blood pressure, MAP, and pulse rate was performed before intubation, pin placement, skin incision, and dura mater incision. The study results showed a significant difference in adding clonidine to 0.25% levobupivacaine with the control group, especially in the pulse rate and diastole. Clonidine 2 mcg/kgBW several times showed a significant difference compared to adding a dose of 1 mcg/kgBW clonidine. In conclusion, adding clonidine to levobupivacaine scalp block effectively reduces hemodynamic responses, especially pulse rate and diastolic blood pressure.Penambahan adjuvan pada levobupivakain dapat memperkuat dan memperpanjang efek analgesia pada blok saraf tepi. Klonidin memiliki aksi yang sinergis dengan agen lokal anestesi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas penambahan klonidin 1 mcg/kgBB dan 2 mcg/kgBB pada scalp block sebagai analgetik kraniotomi. Penelitian dilakukan pada 30 pasien yang menjalani kraniotomi di RS Dr. Moewardi Surakarta selama periode bulan Meiā€“Agustus 2020 Desain penelitian yang digunakan adalah uji klinis tersamar acak ganda dengan analisis statistik menggunakan uji one-way ANOVA atau Kruskal Wallis. Subjek dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok I: scalp block dengan levobupivakain 0,25%, kelompok II: scalp block ditambah klonidin 1 mcg/kgBB, kelompok III: scalp block ditambah klonidin 2 mcg/kgBB. Penilaian terhadap tekanan darah, MAP, laju nadi dilakukan sebelum intubasi, pemasangan pin, insisi kulit, dan insisi duramater. Hasil penlitian didapatkan perbedaan signifikan penambahan klonidin pada levobupivakain 0,25% dengan kelompok kontrol terutama pada laju nadi dan diastole. Klonidin 2 mcg/kgBB pada beberapa waktu menunjukkan perbedaan signifikan dibanding dengan penambahan dosis klonidin 1 mcg/kgBB. Simpulan penambahan klonidin pada scalp block levobupivakain efektif menurunkan respons hemodinamik terutama laju nadi dan tekanan darah diastole

    Efektivitas Penambahan Sodium Bikarbonat 1 mEq pada Lidokain 2% dalam Balon ETT untuk Pencegahan Nyeri Tenggorokan Paska Intubasi

    Get PDF
    Pemberian lidokain dalam balon selang endotrakeal dapat berdifusi menyebar menembus dinding membran semipermeabel selang endotrakeal dan merangsang efek anestesi pada trakea. Alkalinisasi lidokain menggunakan natrium bikarbonat (NaHCO3) diprediksi dapat meningkatkan presentasi fraksi obat tidak terionisasi sehingga diharapkan dapat lebih efektif. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas penambahan natrium bikarbonat 1 mEq pada lidokain 2% dalam balon ETT untuk pencegahan nyeri tenggorokan pascaintubasi. Penelitian ini menggunakan metode double-blind randomized controlled trial dari Juliā€“September 2020 di Rumah Sakit Moewardi Surakarta. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan non-probability sampling dengan metode consecutive sampling yang berjumlah 36 pasien ASA Iā€“II. Sesaat setelah intubasi, balon selang endotrakeal dikembangkan dengan lidokain 2% dan lidokain 2% ditambah NaHCO3 1 mEq pada tiap-tiap kelompok hingga tekanan 20ā€“30 cmH2O. Pasien yang telah menjalani operasi dinilai skala nyeri tenggorokan pascaoperasi dan dievaluasi komplikasi yang terjadi selama 24 jam. Data demografik dan durasi anestesi pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna secara statistik (p>0,05). Skor nyeri tenggorokan pada waktu 30ā€“60 menit, 6ā€“8 jam, dan 24 jam pascaoperasi, kelompok lidokain 2% ditambah NaHCO3 1 mEq (LN) lebih rendah dibanding dengan kelompok lidokain 2% murni (L). Berbeda bermakna secara statistik (p0,05) pada jam ke-24. Tidak didapatkan komplikasi berkaitan dengan overdosis. Simpulan, pada grup LN lebih efektif dibanding dengan grup L untuk pencegahan nyeri tenggorokan pascaintubasi.Ā Ā Sodium Bicarbonate Efficacy to Lidocaine in Prevention of Sore Throat Post ETT Balloon IntubationĀ When lidocaine is injected into the ETT cuff, it spreads through the semi-permeable membrane wall and induces anesthesia in the trachea. Alkalinization of lidocaine with sodium bicarbonate (NaHCO3) to increase the non-ionized lidocaine is expected to be more effective. This study aimed to determine the effectiveness of adding one mEq NaHCO3 to lidocaine into the ETT cuff to prevent sore throat post-intubation. This study used a double-blind, randomized controlled trial from July to September 2020 at the Moewardi Regional General Hospital Surakarta. The method used was non-probability sampling with consecutive sampling, totaling 36 ASA I-II patients. Shortly after intubation, the ETT cuff was inflated with 2% lidocaine and 2% lidocaine plus one mEq NaHCO3 in each group. Patients who had undergone surgery were assessed on the postoperative sore throat scale and observed for complications for 24 hours. Both groups' demographic data and anesthesia duration were not statistically significant (p>0.05). Sore throat scores at 30-60 minutes, 6-8 hours, and 24 hours after surgery were lower in the 2% lidocaine plus one mEq NaHCO3 (LN) group than in the 2% lidocaine (L) group. It was statistically significant (p0.05) at 24 hours. No complications were associated with lidocaine overdose, systemic toxicity, or ETT balloon rupture. In conclusion, the LN group is more effective than the L group in reducing the incidence of postoperative sore throat.Nyeri tenggorokan paska operasi sering terjadi setelah anestesi umum menggunakan intubasi endotrakeal. Pemberian lidokain dalam balon selang endotrakeal dapat berdifusi menyebar menembus dinding membran semipermeabel selang endotrakeal dan merangsang terjadinya efek anestesi pada trakea. Hanya bentuk obat basa tidak terionisasi yang dapat berdifusi melintasi dinding klorida polivinil hidrofobik dari manset selang endotrakeal. Dengan alkalinisasi lidokain menggunakan sodium bikarbonat (NaHCO3) diprediksi dapat meningkatkan presentasi fraksi obat tidak terionisasi sehingga diharapkan dapat lebih efektif mencegah nyeri tenggorokan paska operasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penambahan sodium bikarbonat 1 mEq pada lidokain 2% dalam balon ETT untuk pencegahan nyeri tenggorokan paska intubasi. Penelitian ini menggunakan metode double-blind randomized controlled trial dari Juli hingga September 2020 di Rumah Sakit Moewardi Surakarta. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan non-probability sampling dengan metode consecutive sampling yang berjumlah 36 pasien ASA I-II. Sesaat setelah intubasi, balon selang endotrakeal dikembangkan dengan lidokain 2% dan lidokain 2% ditambah sodium bikarbonat 1 mEq pada masing-masing kelompok hingga tekanan 20-30 cmH2O. Pasien yang telah menjalani operasi dinilai skala nyeri tenggorokan paska operasi (skor 0-3) dan dievaluasi komplikasi yang terjadi selama 24 jam. Data demografik dan durasi anestesi pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna secara statistik (p>0,05). Skor nyeri tenggorokan pada waktu 30-60 menit, 6-8 jam, dan 24 jam paska operasi, kelompok lidokain 2% ditambah sodium bikarbonat 1 mEq (LN) lebih rendah dibanding kelompok lidokain 2% murni (L). Berbeda bermakna secara statistik (p0,05) pada jam ke-24. Tidak didapatkan komplikasi berkaitan dengan overdosis. Penambahan sodium bikarbonat 1 mEq pada lidokain 2% dalam balon ETT lebih efektif dibandingkan lidokain 2% untuk pencegahan nyeri tenggorokan paska intubasi

    Perbedaan Efektivitas Iodine Povidone 1% dan ListerineĀ® sebagai Preparat Perawatan Mulut terhadap Pencegahan Ventilator Associated Pneumonia

    Get PDF
    Perawatan mulut merupakan salah satu cara mencegah ventilator associated pneumonia (VAP) pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi VAP dan efektivitas preparat antiseptik pada perawatan mulut pasien terintubasi terhadap pencegahan VAP. Penelitian menggunakan uji klinis acak tersamar tunggal pada 36 pasien dengan ventilasi mekanik pasien yang dirawat di ICU RS Dr. Moewardi bulan Februariā€“Mei 2017. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok iodine povidone 1% dan ListerineĀ®. Awalnya dilakukan penilaian kebersihan mulut dengan simplified oral hygiene index. Setelahnya, dilakukan perawatan mulut menggunakan salah satu preparat. Setelah 48 jam, dilakukan penilaian ulang kebersihan mulut dan skor clinical pulmonary indicator score (CPIS). Timbul VAP bila skor CPIS ā‰„6. Data dianalisis dengan uji Mann Whitney dan independetn t-test. Kelompok iodine povidone 1% memiliki perubahan skor kebersihan mulut dengan selisih yang lebih kecil (0,195) dibanding dengan ListerineĀ® (0,3605). Hal ini menunjukkan bahwa ListerineĀ® lebih efektif menjaga kebersihan mulut (p=0,024). ListerineĀ® secara signifikan lebih efektif dalam mencegah VAP bila dibanding dengan iodine povidone 1% (p=0,001). Tidak ada perbedaan signifikan pada subjek yang meninggal akibat VAP positif dengan negatif (p=0,280). l Simpulan listerineĀ® memiliki efektivitas lebih tinggi mencegah VAP dibanding dengan iodine povidone 1%.Differences in Effectiveness of Iodine Povidone 1% and ListerineĀ® as Oral Care Preparations in Preventing Ventilator-Associated PneumoniaOral care is one way to prevent VAP in patients using mechanical ventilation. x This study aimed to determine the prevalence of VAP and the effectiveness of antiseptic preparations in the oral care of intubated patients to prevent ventilator associated pneumonia (VAP). The study used a randomized, single-blind clinical trial in 36 mechanically ventilated patients admitted to the ICU of Dr. Moewardi in February ā€“May 2017. The samples were divided into two groups, namely the 1% povidone-iodine group and ListerineĀ®. Initially, oral hygiene was assessed using the simplified oral hygiene index. After that, oral care was performed using one of the preparations. After 48 hours, oral hygiene and clinical pulmonaryindicator score (CPIS) scores were reassessed. VAP occurred when the CPIS score was 6. The Mann-Whitney test and independent t-test analyzed the data. The 1% povidone-iodine group changed oral hygiene scores with a minor difference (0.195) than ListerineĀ® (0.3605). It indicated that ListerineĀ® was more effective in maintaining oral hygiene (p=0.024). ListerineĀ® was significantly more effective in preventing VAP when compared with 1% iodine povidone (p=0.001). There was no significant difference in mortality of VAP positive or negative subjects (p=0.280). In conclusion, the use of ListerineĀ® as an oral care preparation is significantly more effective in preventing VAP compared to 1% iodine povidone.VAP merupakan jenis pneumonia yang muncul dalam waktu 48 ā€“ 72 jam setelah intubasi. Insidennya mencapai 9 ā€“ 27 % dengan tingkat mortalitas yang lebih dari 50 %. Perawatan mulut merupakan salah satu cara mencegah VAP pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi VAP dan efektivitas preparat antiseptik pada perawatan mulut pasien terintubasi terhadap pencegahan VAP. Penelitian menggunakan uji klinis acak tersamar tunggal pada 36 pasien dengan ventilasi mekanik. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok iodine povidone 1% dan ListerineĀ®. Awalnya dilakukan penilaian kebersihan mulut dengan Simplified Oral Hygiene Index. Setelahnya, dilakukan perawatan mulut menggunakan salah satu preparat. Setelah 48 jam, dilakukan penilaian ulang kebersihan mulut dan skor CPIS. Timbul VAP bila skor CPIS ā‰„ 6. Kelompok iodine povidone 1% memiliki perubahan skor kebersihan mulut dengan selisih yang lebih kecil (0,195) dibandingkan ListerineĀ® (0,3605). Hal ini menunjukkan bahwa ListerineĀ® lebih efektif dalam menjaga kebersihan mulut (p = 0,024). ListerineĀ® secara signifikan lebih efektif dalam mencegah VAP bila dibandingkan dengan iodine povidone 1% (p = 0,001). Tidak ada perbedaan signifikan pada subjek yang meninggal akibat VAP positif maupun negatif (p = 0,280). Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa listerineĀ® memiliki efektivitas lebih tinggi dalam mencegah VAP dibandingkan dengan iodine povidone 1%

    Perbedaan Kebutuhan Morfin PCA Pasca Laparatomi antara Infiltrasi Ketamin Dan Infiltrasi Levobupivakain

    Get PDF
    Penanganan nyeri akut yang tidak adekuat merupakan faktor risiko terjadin nyeri kronik dan komplikasi lainnya. Metode yang efektif dan efisien mengontrol nyeri akut yang berat adalah infiltrasi tepi luka operasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas infiltrasi ketamin dan levobupivakain dalam mengurangi kebutuhan morfin patient controlled analgesia (PCA) pascalaparatomi. Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar tunggal yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus 2018. Sampel terdiri atas 30 subjek yang dilakukan operasi laparatomi dengan anestesi umum yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok infiltrasi levobupivakain, infiltrasi ketamin, dan infiltrasi saline. Semua pasien mendapatkan morfin PCA pascaoperasi. Setelah itu dinilai jumlah penggunaan morfin dan efek mual-muntah pascaoperasi, dan efek samping tindakan infiltrasi. Penggunaan morfin PCA pada kelompok ketamin rerata 2,20+1,32 mg, pada kelompok levobupivakain penggunaan morfin rerata 5,80+1,03 mg, dan pada kelompok NaCl penggunaan morfin rerata 10,00+1,76 mg. Uji statistik Kruskal Wallis didapatkan perbedaan yang signifikan penggunaan morfin PCA antara pasien kelompok ketamin, levobupivakain dan NaCl (p<0,05). Simpulan penelitian ini bahwa infiltrasi ketamin mengurangi nyeri pascalaparatomi lebih baik dibanding dengan infiltrasi levobupivakain dan saline.Differences in Post-laparotomy PCA Morphine Needs between Ketamine Infiltration and Levobupivacaine Infiltration Inadequate acute pain management is a risk factor for chronic pain and other complications. Laparotomy is a painful procedure with severe acute pain. Patient controlled analgesia (PCA) morphine use in acute pain control is promoted for efficiency and effectiveness. Wound infiltration is also effective in reducing acute pain. This study aimed to determine the effectiveness of ketamine and levobupivacaine wound infiltration in reducing the need for post-laparotomy PCA morphine. This study used a single-blind randomized clinical trial at RSUD Dr. Moewardi Surakarta on 30 subjects who underwent laparotomy and met the inclusion criteria. The samples were divided into three groups: wound infiltration with levobupivacaine, wound infiltration with ketamine, and wound infiltration with saline. All patients received standard general anesthetic treatment and were then evaluated for the total use of PCA morphine. It also assessed the effects of postoperative nausea-vomiting and the side effects of wound infiltration. The average PCA morphine use in the ketamine group was 2.20+1.32 mg. In the Levobupivacaine group was 5.80+1.03 mg, and in the NaCl group was 10.00+1.76 mg. Kruskal Wallis statistical test obtained p-value=0.000 (p<0.05), which means that there was a significant difference in PCA morphine use after 24 hours between the three groups. No complication occurred with the three-group wound infiltration. Thus, there is a significant difference in the use of PCA morphine between wound infiltration with ketamine and wound infiltration with levobupivacaine and with saline infiltration. Ketamine wound infiltration can be used effectively to reduce post-laparotomy pain.Penanganan nyeri akut yang tidak adekuat merupakan faktor risiko terjadinya nyeri kronik dan komplikasi lainnya. Laparatomi merupakan operasi dengan nyeri operasi berat. Patient Controlled Analgesia (PCA) adalah suatu metode yang efektif dan efisien untuk mengontrol nyeri akut yang berat. Infiltrasi tepi luka efektif untuk mengurangi nyeri dan penggunaan PCA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas infiltrasi ketamin dan Levobupivakain dalam mengurangi kebutuhan Morfin PCA pasca laparatomi. Penelitian ini menggunakan uji klinik acak tersamar tunggal di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada 30 subyek yang dilakukan operasi laparatomi dan memenuhi kriteria inklusi dimulai pada bulan Agustus 2018. Sampel dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok infiltrasi dengan Levobupivakain, infiltrasi dengan ketamin dan infiltrasi dengan saline. Semua pasien mendapatkan perlakuan anestesi umum sesuai standar dan kemudian diberikan Morfin PCA pasca operasi. Setelah itu dinilai jumlah penggunaan morfin dan efek mual-muntah pasca operasi, dan efek samping tindakan infiltrasi. Ketiga kelompok memiliki karakteristik dasar yang homogen. Penggunaan morfin PCA pada kelompok ketamin rata-rata 2,20 +1,32 mg, pada kelompok Levobupivakain penggunaan morfin rata-rata 5,80 +1,03 mg, dan pada kelompok NaCl penggunaan morfin rata-rata 10,00 +1,76 mg. Uji statistik kruskal wallis didapatkan nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan penggunaan morfin PCA antara pasien kelompok Ketamin, Levobupivakain dan NaCl. Dengan demikian, terdapat perbedaan penggunaan morfin PCA yang bermakna antara infiltrasi ketamin dan infiltrasi Levobupivakain serta infiltrasi saline. Infiltrasi ketamin dapat digunakan secara efektif untuk mengurangi nyeri pasca laparatomi

    Efektivitas Penambahan Natrium Bikarbonat 1 mEq pada Lidokain 2% dalam Balon ETT untuk Pencegahan Nyeri Tenggorokan Pascaintubasi

    Get PDF
    Pemberian lidokain dalam balon selang endotrakeal dapat berdifusi menyebar menembus dinding membran semipermeabel selang endotrakeal dan merangsang efek anestesi pada trakea. Alkalinisasi lidokain menggunakan natrium bikarbonat (NaHCO3) diprediksi dapat meningkatkan presentasi fraksi obat tidak terionisasi sehingga diharapkan dapat lebih efektif. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas penambahan natrium bikarbonat 1 mEq pada lidokain 2% dalam balon ETT untuk pencegahan nyeri tenggorokan pascaintubasi. Penelitian ini menggunakan metode double-blind randomized controlled trial dari Juliā€“September 2020 di Rumah Sakit Moewardi Surakarta. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan non-probability sampling dengan metode consecutive sampling yang berjumlah 36 pasien ASA Iā€“II. Sesaat setelah intubasi, balon selang endotrakeal dikembangkan dengan lidokain 2% dan lidokain 2% ditambah NaHCO3 1 mEq pada tiap-tiap kelompok hingga tekanan 20ā€“30 cmH2O. Pasien yang telah menjalani operasi dinilai skala nyeri tenggorokan pascaoperasi dan dievaluasi komplikasi yang terjadi selama 24 jam. Data demografik dan durasi anestesi pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna secara statistik (p>0,05). Skor nyeri tenggorokan pada waktu 30ā€“60 menit, 6ā€“8 jam, dan 24 jam pascaoperasi, kelompok lidokain 2% ditambah NaHCO3 1 mEq (LN) lebih rendah dibanding dengan kelompok lidokain 2% murni (L). Berbeda bermakna secara statistik (p0,05) pada jam ke-24. Tidak didapatkan komplikasi berkaitan dengan overdosis. Simpulan, pada grup LN lebih efektif dibanding dengan grup L untuk pencegahan nyeri tenggorokan pascaintubasi

    Perbedaan Waktu Pulih Sadar Anestesi Umum Sevofluran dengan Premedikasi Midazolam dan tanpa Premedikasi Midazolam

    Get PDF
    Pemberian premedikasi midazolam memberikan efek sedasi yang panjang sehingga menimbulkan pulih sadar yang lebih lama. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan waktu pulih sadar anestesi umum sevofluran dengan dan tanpa premedikasi midazolam. Penelitian ini merupakan double blind randomized control trial pada 36 sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi dan dilakukan di kamar instalasi bedah sentral RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Septemberā€“Oktober 2017. Sampel dilakukan operasi dengan anestesi umum inhalasi sevofluran. Sampel dibagi menjadi kelompok yang mendapatkan premedikasi midazolam 0,05 mg/kgBB i.v (kelompok A) dan tanpa premedikasi midazolam (kelompok B). Setelah selesai operasi, waktu pulih sadar dicatat menggunakan score Aldrete. Analisis statistik dilakukan menggunakan independent t-test (Ī±=0,05 dan p<0,05). Waktu pulih sadar pada kelompok midazolam rerata 1381,00+237,80 detik, sedangkan pada kelompok kontrol rerata 597,89+179,89 detik (=0,000). Perbedaan rerata waktu pulih sadar antara kelompok premedikasi midazolam dan kontrol adalah 783,11 (640,28ā€“925,94) detik. Waktu pulih sadar pada kelompok midazolam rerata 1381,00+237,80 detik,Ā  sedangkan pada kelompok kontrol rerata 597,89+179,89 detik. Perbedaan selisih rerata waktu pulih sadar antara midazolam dan kontrol adalah 783,11 (640,28ā€“925,94) detik. Terdapat perbedaan bermakna waktu pulih sadar antara kelompok midazolam dan kelompok kontrol. Simpulan, premedikasi midazolam pada anestesi umum sevofluran efektif dalam memperpanjang waktu pulih sadar

    Perbedaan Respons Hemodinamik antara Penggunaan Levobupivakain dan Penambahan Klonidin 1 dan 2 Mcg/kgBB pada Scalp Block

    Get PDF
    Penambahan adjuvan pada levobupivakain dapat memperkuat dan memperpanjang efek analgesia pada blok saraf tepi. Klonidin memiliki aksi yang sinergis dengan agen lokal anestesi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas penambahan klonidin 1 mcg/kgBB dan 2 mcg/kgBB pada scalp block sebagai analgetik kraniotomi. Penelitian dilakukan pada 30 pasien yang menjalani kraniotomi di RS Dr. Moewardi Surakarta selama periode bulan Meiā€“Agustus 2020 Desain penelitian yang digunakan adalah uji klinis tersamar acak ganda dengan analisis statistik menggunakan uji one-way ANOVA atau Kruskal Wallis. Subjek dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok I: scalp block dengan levobupivakain 0,25%, kelompok II: scalp block ditambah klonidin 1 mcg/kgBB, kelompok III: scalp block ditambah klonidin 2 mcg/kgBB. Penilaian terhadap tekanan darah, MAP, laju nadi dilakukan sebelum intubasi, pemasangan pin, insisi kulit, dan insisi duramater. Hasil penlitian didapatkan perbedaan signifikan penambahan klonidin pada levobupivakain 0,25% dengan kelompok kontrol terutama pada laju nadi dan diastole. Klonidin 2 mcg/kgBB pada beberapa waktu menunjukkan perbedaan signifikan dibanding dengan penambahan dosis klonidin 1 mcg/kgBB. Simpulan, penambahan klonidin pada scalp block levobupivakain efektif menurunkan respons hemodinamik terutama laju nadi dan tekanan darah diastol

    PENGARUH PEMBERIAN KETAMIN INTRAVENA TERHADAP INDEKS APOPTOSIS LIMFOSIT LIEN MENCIT BALB/C YANG TERPAPAR LIPOPOLISAKARIDA INTRAPERITONEAL

    Get PDF
    Latar Belakang : Lipopolisakarida dapat mengaktivasi respon imun dan menstimulasi pelepasan sejumlah mediator inflamasi sehingga terjadi apoptosis dan kegagalan organ. Ketamin, obat anestesi yang mempunyai efek sedasi dan analgesia sering digunakan untuk penderita sepsis, diduga memiliki efek anti inflamasi melalui penghambatan mediator inflamasi sehingga proses apoptosis dapat dihambat. Tujuan : Mengetahui pengaruh pemberian Ketamin dengan dosis 0,5 ; 5 ; 50 mg/kg terhadap indeks apoptosis limfosit mencit Balb/c yang diberi lipopolisakarida intraperitoneal. Metode : Merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan desain randomized post test only controlled group pada 20 ekor mencit Balb/c yang disuntik lipopolisakarida intraperitoneal dan ketamin intravena. Mencit dibagi menjadi 4 kelompok secara random, yaitu kelompok K sebagai kontrol. Semua kelompok disuntik lipopolisakarida intraperitoneal 20 mg/kg dan 6 jam kemudian diberi ketamin 0,5 ; 5 ; 50 mg/kg intravena untuk kelompok P1, P2, P3. Pemeriksaan indeks apoptosis menggunakan metode TUNEL setelah 6 jam pemberian ketamin. Hasil dinilai dengan SPSS 12 dengan derajat kemaknaan p<0,05. Hasil : Uji beda dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan post hoc menunjukkan adanya perbedaan signifikan indeks apoptosis limfosit antara kelompok K dengan P1 (49,00 Ā± 12,94 vs 17,00 Ā± 5,70 , p=0,002). Perbedaan yang tidak signifikan pada kelompok K dengan P2 (49,00 Ā± 12,94 vs 30,00 Ā± 10,61 , p=0,068) dan kelompok K dengan P3 (49,00 Ā± 12,94 vs 43,00 Ā± 13,51 , p=0,829). Simpulan : Ketamin dosis 0,5 mg/kg efektif menurunkan indeks apoptosis limfosit lien pada mencit Balb/c yang terpapar lipopolisakarida secara signifikan. Ketamin dosis 5 mg/kg dan 50 mg/kg tidak menunjukkan penurunan indeks apoptosis limfosit lien yang signifikan pada mencit Balb/c yang terpapar lipopolisakarida. Kata Kunci : ketamin, lipopolisakarida, indeks apoptosi

    Anestesi untuk Malformasi Arnold Chiari

    No full text
    Malformasi Arnold-Chiari, merupakan suatu bentuk malformasi pada otak. Pada malformasi ini terjadi pergeseran (displasi) tonsila serebelum ke arah bawah melalui foramen magnum (lubang di basis kranii), yang terkadang menyebabkan hidrosefalus non-komunikans sebagai akibat terjadinya obstruksi aliran keluar dari cairan serebrospinal. Seorang wanita 23 tahun datang dengan keluhan sering pusing, nyeri tengkuk, serta kelemahan pada lengan kanan. CT Scan dan MRI didapatkan gambaran cerebellar tonsil yang mendukung Arnold Chiari Malformation. Dilakukan operasi osteotomi suboccipital dengan posisi prone. Rumatan anestesi dengan sevoflurane 1 vol% dan O2: udara 1,5: 1,5, analgetik fentanyl 25 mcg tiap 30 menit, pelumpuh otot vecuronium 3 mg/jam. Operasi berlangsung selama 2 jam 45 menit. Hemodinamik selama operasi stabil. Dilakukan ekstubasi segera di kamar operasi. Pascaoperasi pasien dirawat di unit intensif selama sehari. Hemodinamik selama di ICU stabil. Tidak ada keluhan selama di ICU Ā  Anesthesia for Arnold Chiari Malformation Arnold-Chiari's malformation, is a brain malformation caused by the displacement of the cerebellar tonsil caudally into the foramen magnum, which in some cases will cause obstruction of the cerebrospinal fluid flow, resulting in a communicating hydrocephalus condition. A 23 years old female patient with a chief complaint of having frequent dizzines, painful neck, and weakness of the right arm. CT scan and MRI reveal cerebellar tonsil imaging that support the diagnosis of Arnold-Chiari's malformation. Surgical procedure was performed using suboccipital osteotomy approach in a prone position. Maintenance anesthesia with sevoflurane 1 vol% and O2: air 1,5: 1,5, analgetic fentanyl 25 mcg every 30 minute, muscle relaxant vecuronium 3 mg/hour. The time of surgery was 2 hours and 45 minutes. Hemodynamics were stable during the procedure. Patient was extubated early after surgery at operating room, and admitted to the ICU for 24 hours. Hemodynamics parameter were stable, without any remarkable events

    Kerusakan Barier Pertahanan Alamiah: Sawar Darah Otak

    No full text
    Sawar Darah Otak (SDO) adalah struktur membran yang secara primer memisahkan serta memfiltrasi darah ataupun zat dari sirkulasi sistemik yang masuk ke dalam sirkulasi otak. Sawar Darah Otak merupakan penghalang fisik antara pembuluh darah lokal dan sebagian besar dari sistem saraf pusat itu sendiri, dan tempat berhentinya zat makromolekul. Konsep Sawar Darah Otak pertama kali diperkenalkan oleh Paul Ehrlich. Paul Ehrlich menemukan bahwa injeksi intravena perwarna ke dalam aliran darah meninggalkan noda pada seluruh jaringan di sebagian besar organ kecuali otak. Pada trauma kerusakan sawar darah otak banyak diakibatkan oleh rusaknya integritas membrane sawar darah otak dan pada tumor disebabkan oleh peningkatan permeabilitas sawar darah otak akibat invasi sel tumor. Pada keadaan trauma, disfungsi sawar darah otak dapat terjadi secara cepat ataupun lambat, gangguan dari kompleks tight junction dan integritas membran menghasilkan peningkatan permeabilitas seluler. Sedangkan tumor otak dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas sawar darah otak, pembengkakan jaringan sekitar tumor, dan terjadi absorpsi serta pengeluaran cairan dan protein dengan cairan serebrospinal di ventrikel. Terapi kortikosteroid menurunkan ekspresi dari vascular endothelial growth factor (VEGF) yang diproduksi edema yang terikat dengan sel endotel. Pengelolaan perioperatif penting untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan tentang sawar darah otak dikarenakan kompleksitas dari anatomi, fisiologi, fungsi transpor sampai hubungan antara sawar darah otak dengan gangguan neurologis seperti yang terdapat pada kasus cedera otak traumatik dan tumor otak. Ā  Disruption of Natural Defense Barrier: Blood-Brain Barriere The blood brain Barrier (BBB) is a structural membrane that separates and filters blood and subtances that enters the cntral nervous system from systemic circulation. It is a physical barrier between the local blood vessels and most parts of the central nervous system itself, and the flow of macro substances. The concept of the blood brain barrier was first introduced by Paul Ehrlich. He found that intravenous injection of dyes into the bloodstream stained all the tissues in most organs except the brain. In traumatic brain injury, vascular disruption causes damage to integrity of the membrane BBB while in case of tumor, there's an increase of permeability due to tumor cell invasion. In traumatic brain injury , the onset of BBB dysfunction can be immediate or delayed, increased cellular permeability is the result of thr damage of the tight junction complex and membrane integrity. Brain tumor can increase the permeability of BBB edema in the surrounding area, and cause absorption and excretion of cerebrospinal fluid and protein in to the ventricel. Corticosteroid therapy can reduce the expression of vascular endothelial growth factor (VEGF) in the edematous endothelial cells. Perioperative mamagemrnt requires comprehensive knowledge of the complexity of blood brain barrier's anatomy, physiology, transport function, and the relation between BBB with neurologic dysfunctions which are commonly seen in traumatic brain injury and tumor
    corecore