24 research outputs found
Identifikasi arca tokoh berkepala singa di Museum Penataran
The field study that was organized by the committee of Premodern Java Summer Programme in 2016 targeted several museums in East Java, especially in MojokertoPenataran area. That field study was intended to provide an understanding about the development of cultural arts during the end of Hindu-Buddhist period of Majapahit Kingdom. This paper is discussing about one of the objects that was being observed during that Summer Programme. The object of discussion is the lion-headed figure, stored in Museum Penataran. During the Summer Programme, some participants have predicted that the statue is Lord Vishnu in his Narasimha form. That prediction was mainly based on the statue's head which resemble a lion's head. Through several studies, such as the description of the statue, the literature study of iconography, and analysis about the special iconographic character, this paper concluded that this figure is a manifestation of Ganesha, named Simha-Ganapati. The worship of Simha-Ganapati has a purpose not only to bring strength and courage, but also to provide confidence in facing problems by destroying all forms of negative thoughts
ARCA TOKOH DEWA BERSORBAN DI MUSEUM NASIONAL INDONESIA
The National Museum of Indonesia has a unique statue of a god depicted wearing a turban. The museum manager named this statue Shiva Mahadeva based on the third eye’s presence on his forehead. Based on this uniqueness, a more in-depth study carried out by taking the question What is the meaning of the turban-shaped head covering the statue’s depiction? Is there a connection between the depiction and the arts and culture of the community? This study aims to know the meaning implied in depicting the turban and trying to find out the social picture of the statuemaking community. This study conducted using descriptive research methods with contextual analysis. This study indicates that the statue depicted is not a statue of Shiva Mahadeva but a combination of Shiva and Vishnu known as Hariharamurti. The turban’s meaning is similar to the crown carved on the statue, which shows the character’s dignity and majesty. The life of the community’s arts and culture influences the depiction of the Hariharamurti statue, which is synonymous with freedom without leaving religious rules. In general, the arts and cultural aspects of the community that affect the statue are indicated as a community environment closely related to the priest/rishi’s activities. Museum Nasional Indonesia memiliki arca tokoh dewa unik yang digambarkan mengenakan sorban. Pengelola museum memberi nama tokoh tersebut adalah Siwa Mahadewa berdasarkan pada keberadaan mata ketiga yang ada di dahinya. Atas dasar keunikan inilah maka dilakukan kajian lebih mendalam lagi dengan mengambil pertanyaan, apa makna penutup kepala berbentuk sorban dalam penggambaran arca tersebut? adakah keterkaitan penggambaran tersebut dengan kehidupan seni-budaya masyarakat? tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini adalah mengetahui makna yang tersirat dalam penggambaran sorban dan mencoba untuk mengetahui gambaran sosial masyarakat pembuat arca. Untuk mencapai tujuan tersebut maka kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif dengan analisis secara kontekstual. Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa arca yang digambarkan bukanlah arca Siwa Mahadewa melainkan gabungan antara Siwa dengan Wisnu yang dikenal sebagai Hariharamurti. Pemaknaan sorban yang dikenakan oleh arca tersebut memiliki kesamaan dengan mahkota yang biasa dipahatkan pada arca yaitu menunjukkan kemuliaan dan keagungan dari tokoh tersebut. Kehidupan senibudaya masyarakat jelas mempengaruhi gaya penggambaran arca Hariharamurti tersebut yang identik dengan kebebasan tanpa meninggalkan aturan agama. Secara umum, aspek seni-budaya masyarakat yang mempengaruhi arca tersebut diindikasikan sebagai lingkungan masyarakat yang erat terkait dengan aktivitas pada pendeta/resi
GANESHA TANPA MAHKOTA DALAM PUSARAN RELIGI MASYARAKAT JAWA KUNA (SEBUAH KAJIAN PERMULAAN)
Abstract. The Ganesha statue without a crown is one of the unique depictions of archeological remains in Indonesia. These statues can be found in several areas such as Temanggung, Pekalongan, the National Museum, and Yogyakarta. This uniqueness is a reason to be appointed in an initial assessment. This is because no one has ever discussed this topic. Therefore, the challenge to be raised on this occasion is about the Ganesha in the community regarding their portrayal in the form without a crown? The objective to be achieved from this discussion is a discussion of Javanese society related to the previous discussion. In answering these questions, qualitative research methods are used by taking secondary data from a literature review. The approach used in this review discusses the iconology proposed to explain the background of phenomena that occur through related stories or mythologies. Through an analysis of the results, offering three initial responses to the crownless Ganesha statue, related to the story of Ganesh who prevented Ravana from bringing Atmalinga to Lanka, the spread of Gupta art in Southeast Asia, and related to traditions outside the palace.
Keywords: Ganesha, Ancient Java, Brahmin
Abstrak. Arca Ganesha tanpa mahkota merupakan salah satu bentuk penggambaran unik dari tinggalan arkeologi di Indonesia. Keberadaannya diketahui terdapat di beberapa wilayah seperti Temanggung, Pekalongan, dan Museum Nasional. Keunikan tersebut menjadi alasan untuk diangkat dalam sebuah kajian permulaan. Hal ini dikarenakan belum pernah ada kajian yang membahas topik tersebut. Oleh karena itu, permasalahan yang coba diangkat pada kesempatan ini adalah bagaimana posisi dewa Ganesha di lingkungan masyarakat pada penggambarannya dalam wujud tanpa mahkota? Tujuan yang ingin dicapai adalah mengetahui pandangan masyarakat jawa Kuno terkait dengan keberadaan arca tersebut. Dalam upaya menjawab permasalahan tersebut, digunakan metode penelitian kualitatif dengan mengambil data sekunder dari kajian pustaka. Pendekatan yang digunakan pada kajian ini adalah pendekatan ikonologi, yang berusaha untuk menjelaskan latar belakang keberadaan fenomena tersebut melalui kisah atau mitologi yang terkait. Melalui hasil analisis, diperoleh tiga asumsi awal terhadap keberadaan arca Ganesha tanpa mahkota, yaitu terkait dengan kisah Ganesha yang mencegah Rahwana membawa Atmalinga ke Lanka, terkait dengan persebaran gaya seni Gupta di Asia Tenggara, dan terkait dengan tradisi luar keraton.
Kata kunci: Ganesha, Jawa Kuna, Brahman
Penggambaran Ornamen Ular Pada Arca Ganesha Koleksi Museum Candi Prambanan, Yogyakarta
Ganesha is the best-known deity after Trimurti in the Hindu pantheon. He is worshipped as the lord of beginnings and as the lord of removing obstacles. He is sculpted in various depictions. One of them, collected by the Prambanan Temple Museum, Yogyakarta, shows a snake and a mouse as his vahana (mount/vehicle). This image has never been found anywhere else. Therefore, this study was aimed to find out the mythological story behind that depiction and to investigate the past people’s understanding of it. This descriptive study employed an iconographic analysis to analyze the collected data. The analysis results indicate that Ganesha is revered as the protector of crop yield (the harvest deity).Ganesha merupakan dewa terpopuler bagi umat Hindu setelah Trimurti. Dewa ini dipuja karena keberadaannya dapat memberikan kemakmuran dan menghindarkan segala rintangan dan marabahaya. Tidak mengherankan apabila dewa ini diarcakan dengan berbagai penggambaran. Salah satu penggambaran yang unik ditemukan di Museum Candi Prambanan, Yogyakarta. Ganesha digambarkan memiliki ornamen ular dan terdapat pahatan tikus sebagai wahananya. Tentunya gambaran ini belum pernah ditemukan di tempat lain sehingga diperlukan suatu kajian untuk mencari tahu cerita mitologi yang melekat dalam wujud tersebut. Selain itu, juga untuk menerka pemahaman masyarakat masa lalu terkait dengan penggambaran wujud tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kajian yang dilakukan ini menggunakan deskriptif-analisis dengan menggunakan kajian ikonografi sebagai dasarnya. Hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa arca Ganesha tersebut merupakan perwujudan dewa pelindung hasil panen
Konstruksi Sosial masyarakat Tehadap Keramik Asing di Bangunan Masjid Panjunan, Cirebon
Cirebon was a crowded and famous international port city in the past. Many foreign traders stopped by and even settled in this area. One of their activity was establishing a settlement which is called Panjunan. The settlement in Panjunan has a mosque which is quite interesting and it is known as the Panjunan Mosque. The interesting thing in the mosque is the presence of ceramics that were placed on the walls of the mosque as a variety of decoration. The problem raised on this study was to proof the relationship between ceramics and the mosque in Panjunan based on social construction theory. This question leads to the study to find out the background of the use of ceramics. The process of answering these questions is done by using direct observation, literature review, and data analysis by using social theory as the ground base. The results of this study conclude that the use of ceramics as decorative patterns in the Panjunan Mosque is derived by the paradigm of the community member (artists) who are bound with the Panjunan Mosque in providing new understanding or interpretation of ceramics in Cirebon
How Indonesian People in the Past Deal with Disaster Mitigation? An archaeological perspective
Bencana alam adalah bagian dari riwayat bangsa kita sejak masa prasejarah. Meskipun bencana alam merupakan hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, namun disadari masih kurang kesadaran dan kesiapan terhadap kondisi ini. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingginya angka kerugian material dan non material dalam setiap kejadian bencana. Keadaan ini disebabkan oleh belum optimalnya pelaksanaan penanggulangan bencana di Indonesia, khususnya dalam mitigasi bencana. Untuk merumuskan konsepsi baru penanggulangan bencana, masyarakat saat ini harus belajar menghadapi bencana alam dari manusia di masa lalu. Nilai dan kearifan lokal masih relevan hingga saat ini karena kita hidup di nusantara yang sama. Sebagai ilmu yang mempelajari budaya manusia yang telah punah, arkeologi dapat membantu menjelaskan sejarah bencana di suatu wilayah dan dampaknya terhadap kehidupan manusia di masa lalu. Dengan menggunakan pendekatan studi kepustakaan, tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan aksi mitigasi bencana yang dilakukan oleh leluhur bangsa Indonesia sebagai acuan mitigasi bencana di zaman modern ini. Setidaknya ada dua sorotan nilai yang masih relevan. Pertama, pembinaan mental dan karakter masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, dan kedua pembangunan fisik mengenai sifat bencana di masing-masing daerah.
A natural disaster is part of our nation’s journey from the prehistoric era. Even though natural disaster is an inseparable matter with Indonesian people’s lives, but there is still a lack of awareness and readiness due to this issue. The high number sees it as material and non-material losses in every disaster event. This situation is caused by non-optimally disaster management implementation in Indonesia, especially in disaster mitigation. To formulate the new conception of disaster management, modern people should learn how to deal with natural disasters from ancient people. Values and local wisdom are still relevant today since we live in the same archipelago. As a science that studies extinct human culture, archaeology can help explain the history of disasters in a region and its impact on human life in the past. Using the literature study approach, this paper aims to describe disaster mitigation actions implemented by Indonesia’s ancestors as a reference to disaster mitigation in modern times. At least there are two highlights of values that are still relevant. First is the mental and character building of people who live in a disaster-prone area, and second is the physical development regarding the nature of disaster in each region
Dua Tipe Ornamentasi Candi Perwara di Kompleks Candi Sewu
AbstractSewu Temple, located in Prambanan, is one of the Buddhist temple complex that have lots of uniqueness. One of the uniqueness can be seen on Perwara Temple that have two ornamentations. But, many scholars never make the research about it. Therefore, in this article, I want to describe the background of the two ornamentations on perwara temple. The research is carried out by observation and literature study. From the research, I find out that the two ornamentations on perwara temple in Sewu Temple complex have relation with the religion conception.Keywords: Buddha, Sewu Temple, perwara temple, ornamentation.AbstrakCandi Sewu, yang terletak di daerah Prambanan, merupakan salah satu kompleks percandian agama Buddha yang masih menyimpan banyak keunikan. Salah satu keunikannya adalah dua corak ornamentasi yang terdapat pada candi perwaranya. Keberadaan kedua ornamentasi ini belum pernah dibahas detail oleh peneliti mana pun. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis berusaha untuk mengkaji dua corak ornamentasi itu dengan tujuan memberikan gambaran terkait dua corak ornamen tersebut serta mencoba untuk mengetahui latar belakang perbedaan tersebut. Penelitian dilakukan melalui pengamatan langsung dan analisis dengan bantuan studi pustaka. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kedua corak ornamentasi pada candi perwara tersebut terkait dengan konsep keagamaan.Kata kunci: Buddha, Candi Sewu, candi perwara, ornamentasi
Analisis ikonografi ornamen bunga dan binatang pada prabhamandala arca Siwa koleksi Museum Nasional Indonesia
Shiva is one-third of the highest Gods in Hindu religion, who together with Brahma and Vishnu form Trimurti. The worship of Shiva is embodied in the form of lingga or a statue, decorated with distinctive ornaments and attributes commonly depicted to identify Shiva. A statue with inventory number 29a/3184 in the National Museum Indonesia depicts Siwa with flower and animal ornament which have never been found in other Shiva statues. This article aims to investigate the religious concept flourished during the making of this statue by conducting an iconographic analysis on the said ornaments. Through a descriptive-explanatory approach, the author suggests that the Indian lotus (padma) and goose (hamsa) ornaments are the representation of Shaiva Siddhanta rite practiced during XIII-XIV century CE in the eastern Java.Siwa adalah salah satu dewa tertinggi dalam agama Hindu, yang bersama Brahma dan Wisna membentuk kesatuan Trimurti. Pemujaan terhadap Dewa Siwa diwujudkan dalam bentuk lingga dan arca tokoh, yang dilengkapi dengan ornamen dan atribut khas yang mencirikan identitas Siwa. Arca dengan nomor inventaris 29a/3184 di Museum Nasional Indonesia menggambarkan Siwa dengan ornamen bunga dan binatang yang belum pernah digambarkan pada arca Siwa lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui konsep religi yang berkembang pada masa pembuatan arca Siwa tersebut dengan melakukan analisis ikonografi terhadap penggambaran ornamen tersebut. Melalui pendekatan deskriptif-eksplanatif, diketahui bahwa ornamen padma dan angsa (hamsa) pada arca Siwa tersebut merupakan representasi aktivitas ritus keagamaan aliran Siwa Siddhanta pada sekitar abad XIII-XIV Masehi di Jawa bagian timur
Gaya Seni Arca Masa Kᾱḍiri: Studi Terhadap Arca Candi Gurah dan Candi Tondowongso
In the archaeology Hindu-Buddhist era in Indonesia, there are several known art styles temple building architecture and statue art: Early Classical Era and Late Classical Era. In more detail, that several eras can be described that Early Classical Era developed during the Old Mātaram era with the center of its reign at Central Java, and Late Classical Era Style developed during Kāḍiri/Siŋhasāri and Majapahit with the center of its reign at East Java. Late Classical Era Style divided into two subs, Kāḍiri/Siŋhasāri and Majapahit. Kāḍiri as an early dynasty in East Java not yet known clearly what the special characteristic style of its temple is building architecture and its statue art, and only been told that the Kāḍiri Era Style is the connecting line between Early Classical Era Style and Late Classical Era. This essay intends to find out special characteristics of the Kāḍiri Era Style (transition art style). For this reason, the research was carried out on statues comes from Gurah Temple and Tondowongso Temple, both temples knew the date, with relative dating method or absolute dating method. From this iconographic research in detail will describe parts of the statues, from then will obtain several features that always appear, and that’s characteristics are considered as a strong characteristic from statues from Kāḍiri Era Style.Dalam arkeologi masa Hindu Buddha di Indonesia, dikenal gaya seni arsitektur bangunan candi dan seni arca masa Klasik Tua dan Klasik Muda. Dapat dijabarkan secara lebih rinci bahwa seni Klasik Tua berkembang pada masa Mātaram Kuna dengan pusat pemerintahan di Jawa bagian Tengah, sedangkan Seni Klasik Muda berkembang pada masa Kāḍiri/Siŋhasāri dan Majapahit dengan pusat pemerintahan di Jawa Timur. Seni Klasik Muda terbagi menjadi dua, yaitu Kāḍiri/ Siŋhasāri dan Majapahit. Kāḍiri sebagai suatu dinasti awal di Jawa Timur belum diketahui secara jelas apa saja ciri-ciri khusus, seni bangun candi maupun seni arca, dan hanya dikatakan bahwa gaya seni masa Kāḍiri adalah benang merah yang menghubungkan antara gaya seni Klasik Tua dengan gaya seni Klasik Muda. Tulisan ini bertujuan mengetahui ciri-ciri khusus arca-arca masa Kāḍiri (gaya seni peralihan). Untuk itu, perlu dilakukan penelitian terhadap arca-arca yang berasal dari Candi Gurah dan Candi Tondowongso. Kedua candi tersebut sudah diketahui pertanggalannya, baik secara relatif maupun absolut, yaitu dari masa Kāḍiri. Melalui penelitian ikonografi secara mendetil terhadap bagian-bagian arca didapatkan beberapa ciri yang selalu muncul, dan ciri tersebut dianggap sebagai ciri kuat arca-arca masa Kāḍiri