108 research outputs found
COVID-19 DAN DISRUPSI PRAKTIK RITUAL KEAGAMAAN DI INDONESIA: DARI TRADISIONAL KE VIRTUAL (COVID-19 AND THE DISRUPTION OF RELIGIOUS PRACTICES IN INDONESIA: FROM TRADITIONAL TO VIRTUAL)
Social restrictions during the pandemic have caused Islamic authorities in Indonesia to create a number of adaptations of religious rituals. Worship and socio-religious activities that were previously carried out offline (traditionally) have 'moved' to digital platforms. Through a descriptive qualitative research approach with virtual data collection techniques on the internet and social media, this article aims to discuss the phenomenon of disruption of Islamic ritual practices in Indonesia during the pandemic. The results show that this disruption phenomenon has led to a number of debates about the validity and reduction of the sacredness of certain worship practices in Islam. However, on the other hand, the process of disrupting religious ritual facilities has also become a new innovation for Islamic organizations such as NU and Muhammadiyah to organize certain worship practices that require a larger mass and cross regions using digital platforms, for example, the practice of praying together (istighosah), dhikr together (tahlilan), and religious lectures.Pembatasan sosial di masa pandemi menyebabkan otoritas Islam di Indonesia melakukan sejumlah adaptasi ritual keagamaan. Kegiatan ibadah dan sosial-agama yang sebelumnya dilaksanakan secara offline (tradisional) telah ‘berpindah’ ke platform digital. Melalui pendekatan penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data virtual di internet dan sosial media, artikel ini bermaksud untuk membahas fenomena disrupsi religiusitas Islam di Indonesia di masa pandemi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena disrupsi ini telah memunculkan sejumlah perdebatan tentang keabsahan dan reduksi sakralitas praktik ibadah tertentu dalam Islam. Namun demikian, di sisi lain proses disrupsi sarana ritual keagamaan ini juga telah menjadi inovasi baru bagi organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah untuk penyelenggaraan praktik ibadah tertentu yang memerlukan massa lebih besar dan lintas daerah. Seperti misalnya praktik doa bersama (istighosah), dzikir bersama (tahlilan), dan ceramah-ceramah agama
CYBERSPACE DAN POPULISME ISLAM DI KALANGAN NETIZEN: STUDI KASUS PADA AKUN MEDIA SOSIAL FELIX SIAUW
The massive use of social media has led to the increasing phenomenon of Islamic populism among netizens. This phenomenon is marked by the presence of contemporary religious actors. One of them is Felix Siauw. This paper aims to analyze the phenomenon of cyberspace and Islamic populism among netizens, especially on Felix Siauw's Instagram (IG) account. This study used a qualitative approach in the form of netnography, through tracing the IG Felix Siaw account. The collected data then being analyzed using Jurgen Habermas's theory of public space. The results reveal that the role and influence of the presence of contemporary religious actors, such as Felix Siauw, can be illustrated in three ways: first, the use of anti-establishment narratives; second, the use of anti-authoritarianism narratives; third, the invitation to return to the basic values of Islam (Al-Qur'an and Hadith) as a guidance for a whole life of a muslim, including his or her life as a citizen. To maximize his populist agenda, IG Felix Siauw's account uses populist themes that are close to the daily lives of netizens, such as the Indonesian without Dating Movement, Youth Hijrah, Indonesia Bertauhid, and the Khaffah Islamic Movement.Masifnya penggunaan sosial media memunculkan fenomena populisme Islam di kalangan netizen. Fenomena ini ditandai oleh kehadiran aktor-aktor agama kekinian, salah satunya adalah Felix Siauw. Tulisan ini bertujuan menganalisis fenomena cyberspace dan populisme Islam di kalangan netizen, khususnya pada akun Instagram (IG) Felix Siauw. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa netnografi, melalui penelusuran akun IG Felix Siaw. Data kemudian dianalisis menggunakan teori Ruang Publik Jurgen Habermas. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa peran dan pengaruh kehadiran aktor agama kekinian seperti Felix Siauw di kalangan netizen muslim tergambar dalam tiga hal, yaitu: pertama, penggunaan narasi antikemapanan; kedua, penggunaan narasi anti-oritarianisme; ketiga, ajakan kembali ke nilai-nilai dasar agama (Al-Qur'an dan Hadist) sebagai pegangan hidup secara menyeluruh, bahkan dalam berbangsa dan bernegara sekalipun. Untuk memaksimalkan agenda populismenya tersebut, akun IG Felix Siauw mempergunakan tema-tema populis yang dikenal dekat dengan kehidupan netizen sehari-hari, seperti Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, Pemuda Hijrah, Indonesia Bertauhid, Gerakan Islam Khaffah dan lain sebagainya
Jalan Tengah Konflik Agama Sains dalam Vaksinasi Covid-19 Perspektif Pemikiran Ian G. Barbour
This study examines the phenomenon of religious and scientific conflicts related to vaccination in the dynamics of handling Covid-19. There are two research problems in this study; How is the religion-science conflict related to the Covid-19 vaccine? How to mediate religion-science conflict in Covid-19 vaccination, from the perspective of Ian G. Barbour? Methodologically, this study uses qualitative research methods. There are two types of data in this study, namely primary data sourced from both print and online media in the period January 2020 to December 2022, and secondary data obtained from library sources. Using Ian G. Barbour's theory of the religion-science relationship, this study finds two important findings; First, one of the crucial problems in the midst of the efforts of many countries to fight the Covid-19 pandemic is the existence of conflict or friction between religious circles and scientists. The friction arose along with the differences in their mindset regarding the prevention and control of Covid-19, in this case the Covid-19 vaccination. In response to this polemic or conflict, it is necessary to have a breakthrough at the level of thought, namely by developing the idea of ​​a middle way, through which sages and clergy can meet, make peace, and compromise with each other. Second, in Iai G. Barbour's perspective, the relationship between religion and science can be mapped into four patterns, namely patterns of conflict, independence, dialogue, and finally the pattern of integration. Of these four patterns, the most ideal approach as a middle ground for religious and scientific conflicts related to Covid-19 vaccination is integration.
Studi ini mengkaji fenomena konflik agama dan sains terkait vaksinasi dalam dinamika penanganan Covid-19. Ada dua permasalahan penelitian dalam kajian ini; bagaimana konflik agama-sains terkait vakisnasi Covid-19? Bagaimana menengahi konflik agama-sains dalam vaksinasi Covid-19, ditinjau dari pemikiran Ian G. Barbour? Secara metodologi, kajian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Jenis data dalam penelitian ini ada dua, yaitu data primer yang bersumber dari media baik cetak maupun online pada periode Januari 2020 hingga Desember 2022, dan data sekunder yang diperoleh dari sumber-sumber kepustakaan. Dengan menggunakan teori hubungan agama-sains dari Ian G. Barbour, studi ini mendapati dua temuan penting; Pertama, salah satu problem krusial di tengah upaya banyak negara memerangi pandemi Covid-19 adalah adanya pertentangan atau pergesekan antara kalangan agamawan dan saintis. Pergesekan tersebut muncul seiring mencuatnya perbedaan pola pikir keduanya terkait penanggulangan dan pencegahan Covid-19, dalam hal ini vaksinasi Covid-19. Menyikapi polemik atau pertentagan ini, perlu adanya terobosan di level pemikiran, yakni dengan membangun gagasan jalan tengah, yang dengannya santis dan agamawan dapat bertemu, berdamai, dan saling kompromi. Kedua, dalam perspektif pemikiran Iai G. Barbour, hubungan agama dan sains dapat dipetakan ke dalam empat pola, yaitu pola konflik, independensi, dialog, dan terakhir adalah pola integrasi. Dari keempat pola ini, pendekatan paling ideal sebagai jalan tengah konflik agama dan sains terkait vaksinasi Covid-19 adalah dengan melakukan integrasi.
 
Tingginya Angka Calon Tunggal Pemilihan Kepala Daerah dan Melemahnya Demokrasi di Indonesia Kontemporer
Meningkatnya angka calon tunggal dalam gelaran Pilkada serentak di Indonesia menuai ragam polemik, salah satunya adalah adanya anggapan bahwa Pilkada calon tunggal telah menyebabkan proses sirkulasi kepemimpinan daerah berjalan tidak sehat, memperlemah sistem demokrasi, dan cenderung memperkokoh praktik monopoli kekuasaan di tingkat daerah. Studi ini mengkaji fenomena meningginya calon tunggal dalam gelaran pemilihan kepala daerah, dampak dan pengaruhnya terhadap sistem demokrasi dan dinasti kekuasaan di Indonesia. Dengan melakukan analisa berdasarkan perspektif sosiologi hukum dan sosiologi politik, studi ini mendapati temuan bahwa sejak diterapkannya Pilkada serentak pada tahun 2015, praktik Pilkada calon tunggal mengalami peningkatan. Meningginya jumlah calon tunggal tersebut disebabkan oleh adanya pragmatisme politik di level elit, tidak optimalnya partai politik menjalankan fungsinya, serta diterapkannya syarat ambang batas pencalonan. Pada tataran praktiknya, Pilkada calon tunggal telah mereduksi prinsip esensial pemilihan umum, khususnya prinsip partisipasi, kompetisi, danprinsip kontestasi sehingga membuat bangunan demokrasi Indonesia melemah. Selain itu, Pilkada calon tunggal juga dinilai telah membuat dinasti kekuasaan di tingkat daerah semakin menguat. Faktanya, dari jumlah 25 calon tunggal yang bertarung pada Pilkada serentak 2020, sebanyak 23 calon merupakan incumbent baik sebagai calon kepaladaerah atau wakil kepala daerah, dan 10 di antaranya merupakan kepala daerah yang kembali maju dengan pasangan calon yang sama
Teologi Kemaslahatan Social Phsycal Distancing dalam Penanggulangan Covid-19
This article discusses the maslahah of COVID-19 mitigation, particularly in the application of social-physical distancing in terms of theological perspective. There are three main problems examined in this study, namely; COVID-19, benefit, and social-physical distancing. Using this type of qualitative research based on the theory of maqashid al-shari'ah, this study found that both social and physical distancing is a form of COVID-19 mitigation that both emphasizes distance protection through protection and preservation activities. In practice, social distancing and phsycal distancing function to present goodness and usefulness (maslahah) and to avoid bad things (mudharat). From a telogical perspective, the function of usefulness and goodness in the enactment of the rules of social distancing and physical distancing, it has the same content as the principle of the benefit of the theory of maqashid al-shari'ah. In maqashid al-shari'ah, an application of Islamic law must contain the purpose of benefit, where this benefit is measured based on three aspects; aspects of the scope of the maslahah, aspects of its influence, and finally are aspects of the strength of the proposition. Although the benchmarks vary, but in substance the three must contain the guiding principle on five things, namely; the safeguarding of religion, life, descent, intellect, and finally the preservation of property.Studi ini melakukan kajian terfokus tentang kemaslahatan mitigasi COVID-19, khususnya dalam penerapan social-phsycal distancing ditinjau dari perspektif teologis. Terdapat tiga permasalahan pokok yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu; COVID-19, kemaslahatan, dan social-phsycal distancing. Dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif berdasarkan teori maqashid al-syari'ah, studi ini mendapati temuan bahwa baik social dan phsycal distancing merupakan salah satu bentuk mitigasi COVID-19 yang sama-sama menekankan jaga jarak melalui kegiatan melindungi (protection) dan menjaga (preservation). Pada praktiknya, social distancing dan phsycal distancing berfungsi menghadirkan kebaikan dan kebermanfaatan (maslahah) serta menghindarkan diri dari keburukan (mudharat). Ditinjau dari perspektif telogis, fungsi kebermanfaatan dan kebaikan dalam pemberlakuan aturan social distancing dan physical distancing, itu memiliki muatan sama dengan prinsip kemashlahatan teori maqashid al-syari'ah. Dalam maqashid al-syari'ah, sebuah pemberlakuan hukum Islam harus memuat tujuan kemaslahatan, di mana kemaslahatan ini diukur berdasarkan tiga aspek; aspek cakupan maslahah, aspek pengaruhnya, dan terakhir adalah aspek kekuatan dalilnya. Meski tolok ukur maslahahnya beragam, namun pada subtansinya ketiganya harus memuat prinsip penjagaan pada lima hal, yaitu; penjagaan terhadap agama, jiwa, keturunan, akal, dan terakhir penjagaan pada harta benda
Analyzing the Legal Implications of the Open Proportional System in Indonesian Legislative Elections: A Focus on Political Liberalization and Corruption
The study focuses on discussing the problem of legal implementing an open proportional election system in legislative elections in Indonesia, its role and influence on the emergence of political anomalies within the parliament, in this case political liberalization and corruption. The study question is about the dynamics of implementing an open proportional system in the context of elections and how the legislative elections are correlated with the practice of political liberalization and corruption in Indonesia. This study is qualitative research conducted using a library approach. As a result, elections with an open proportional system contain several weaknesses and deficiencies that have the potential to give rise to corrupt practices within the board, both at the regional central level. The potential for the emergence of corrupt practices in open proportional system elections is caused by two things; First, open proportional electoral systems tend to be liberal and capitalist. Competition for leadership tends to focus on pragmatic areas that are centered on money and power relations, no longer in productive areas such as ideas, thoughts, ideas. Second, because of these liberalization and capitalization practices, political costs and expenses soared beyond rational and reasonable limits. In the end, uncontrolled political costs become a financial burden later that they must pay off and return.Studi fokus membahas problem implikasi hukum sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif di Indonesia, peran dan pengaruhnya terhadap munculnya anomali politik di kalangan dewan, dalam hal ini adalah liberalisasi politik dan korupsi. Pertanyaan kajian adalah dinamika penerapan sistem proporsional terbuka dalam konteks Pemilu serta bagaimana korelasi dalam pemilu legislatif dengan praktik liberalisasi politik dan korupsi di Indonesia. Studi ini merupakan penelitian kualitatif yang dilakukan dengan pendekatan kepustakaan. Hasilnya, gelaran pemilu dengan sistem proporsional terbuka memuat sejumlah kelemahan dan kekurangan yang berpotensi besar menimbulkan praktik korupsi di kalangan dewan, baik di tingkat pusat daerah. Potensi munculnya praktik korupsi dalam pemilu sistem proporsional terbuka disebabkan oleh dua hal; pertama, sistem pemilu proporsional terbuka cenderung liberal dan kapitalis. Kompetisi kepemimpinan cenderung berkutat di wilayah-wilayah prgamatis yang berpusat pada uang dan relasi kekuasaan, bukan lagi ada di wilayah-wilayah produktif semisal ide, pemikiran, gagasan. Kedua, akibat dari praktik liberalisasi dan kapitalisasi tersebut, ongkos dan biaya politik melambung tinggi melebihi batas rasional dan kewajaran. Pada akhirnya, biaya politik tidak terkontrol menjadi beban finansial di kemudian hari yang harus mereka lunasi dan kembalikan
Eksistensi Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Legislatif Di Indonesia Pasca Putusan Penerapan Sistem Proporsional Terbuka
Abstract: This study focuses on examining the existence of political parties in the implementation of legislative elections in Indonesia, especially the relationship between political parties and candidates or candidates, the relationship between political parties and the people (voters) after the decision of the constitutional court on the arrangement of an open proportional system in legislative elections in Indonesia. This study is a literature study conducted based on the type of qualitative research. The data used is secondary data in the form of literature sources that have a correlation with the main research problems. After analyzing field data using the perspective of political sociology and legal sociology theory, this study found findings that the decision of the Constitutional Court to maintain an open proportional election system did not bring much change to the existence of political parties. The position and status of political parties remain the same as in the previous legislative elections. Based on empirical experience, election arrangements with an open proportional system, despite a number of advantages and disadvantages, the potential for weakening the existence of political parties in future elections is still wide open. In particular, the weakening of party roles and functions such as the functions of political education, political recruitment, political communication, political socialization, and political participation. This is because in setting elections with an open system, the bargaining power and control of political parties is reduced because they no longer hold a vital position as a major player, but instead have shifted their role as merely a political vehicle.Abstrak: Studi ini fokus mengkaji eksistensi partai politik dalam penyelenggaraan pemilu legislatif di Indonesia, terkhusus hubungan antara partai politik dan kandidat atau calon, hubungan antara partai politik dan rakyat (pemilih) pasca-putusan mahkamah konstitusi terhadap pengaturan sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif di Indonesia. Kajian ini merupakan studi kepustakaan yang dilakukan berdasarkan jenis penelitian kualitatif. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa sumber literatur yang memiliki korelasi dengan permasalahan utama penelitian. Setelah melakukan analisa data lapangan dengan menggunakan perspektif teori sosiologi politik dan sosiologi hukum, studi ini mendapati temuan bahwa putusan lembaga Mahkamah Konstitusi mempertahankan pemilu sistem proporsional terbuka tidak membawa perubahan banyak bagi eksistensi partai politik. Posisi dan kedudukan partai politik tetap sama seperti halnya gelaran pemilu legislatif sebelumnya. Berdasarkan pengalaman empiris, pengaturan pemilu dengan sistem proporsional terbuka, terlepas dari sejumlah keunggulan dan kelebihannya, potensi melemahnya eksistensi partai politik dalam gelaran pemilu ke depan masih terbuka lebar. Khususnya pelemahan terhadap peran dan fungsi kepartaian semisal fungsi pendidikan politik, rekrutmen politik, komunikasi politik, sosialisasi politik, dan partisipasi politik. Demikian karena dalam pengaturan pemilu dengan sistem terbuka, daya tawar dan kontrol parpol berkurang karena dirinya tidak lagi memegang posisi vital sebagai pemain utama, melainkan telah beralih peran sebagai kendaraan politik semata.
Problem Politik Kabinet Koalisi; Konflik Kepentingan Hingga Konflik Internal Partai Politik
ABSTRAK
Pascabergulirnya reformasi 1998, sistem pemerintahan Indonesia mengalami perubahan signifikan, baik pada tataran konstitusional maupun kelembagaan. Salah satu perubahan yang terjadi adalah diterapkannya sistem pemerintahan presidensial multipartai, memperbaiki sistem semi presidensial yang dianuti rezim sebelumnya. Sayangnya, di tengah usia reformasi yang telah menginjak 21 tahun, perbaikan di sektor sistem pemerintahan nyatanya masih menyisakan banyak problem. Satu di antaranya adalah problem politik di lingkaran kabinet koalisi, seperti konflik kepentingan dan konflik internal parpol. Studi ini merupakan telaah kritis terhadap dinamika kabinet pemerintahan Indonesia setelah 21 tahun reformasi. Ada dua isu utama dalam kajian ini, yakni konflik kepentingan di lingkaran kabinet dan konflik internal parpol kabinet kolisi. Untuk membuat kajian ini terfokus, dua pokok permasalahan ini kemudian dijabarkan dalam dua pertanyaan besar (reseach question), apa yang dimaksud dengan koalisi dan konflik kepentingan? Bagaimana konflik kepentingan dan konflik internal parpol terjadi dalam lingkaran kabinet koalisi pemerintahan? Studi ini merupakan kajian kualitatif dengan teknik kepustakaan. Keseluruhan data penulisan ini bersumber dari data sekunder berupa data kepustakaan. Secara umum, temuan studi ini memuat penjelasan konseptual-teoritis tentang koalisi dan konflik kepentingan, deskripsi sekaligus analisa mendalam problem politik kabinet koalisi, terutama yang bersentuhan dengan dinamika konflik kepentingan di lingkaran kabinet pemerintahan, serta konflik di internal parpol kabinet koalisi yang berujung pada perpecahan.
Kata Kunci: Kabinet Koalisi, Konflik Kepentingan, Konflik Internal Parpo
Fundamentalism and the Challenges of Religious Moderation in the New Normal Era
This study examines the phenomenon of religious fundamentalism and its challenges of religious moderation in the midst the implementation of the new normal rules due to the Covid-19 pandemic. There are three focus research problems discussed in this study, namely; fundamentalism, moderation, and the new normal era. By using qualitative research and analysis based on the sociological theory of religion, this study finds a number of findings; first, one of the crucial issues in the midst of the implementation of the new normal Covid-19 policy is to promote the practice of fundamentalism in the name of religion. In many places, the problem of religious fundamentalism in the new normal era occurs in the form of crowd activities and religious crowds which do not follow the health protocol rules; second, the great danger of fundamentalism in the implementation of the new normal, it is not only because of their socio-religious activities which often violate health protocols, but also because their religious paradigm is identical to violence and anarchism, so that it often triggers socio-religious upheaval in society; third, the emergence of the phenomenon of religious fundamentalism in the new normal era today creates its own challenges for the future of moderation of religion throughout the world. The challenge lies in their religious paradigm, which often features fanatical, textual and exclusive attitudes, behaviors and ways of thinking. This attitude clearly contradicts moderation, which has always focused on universality values such as justice (al-adâlah), middle (al-tawassut), balance (al-tawâzun), and tolerance (al-tasâmuh). Studi ini mengkaji fenomena fundamentalisme agama dan problemnya terhadap moderasi beragama di tengah diterapkannya aturan new normal akibat pandemi Covid-19. Terdapat tiga fokus permasalahan penelitian yang dibahas dalam kajian ini, yaitu; fundamentalisme, moderatisme, dan era new normal. Dengan mempergunakan jenis penelitian kualitatif dan analisa berdasarkan teori sosiologi agama, studi ini mendapati sejumlah temuan; pertama, salah satu persoalan krusial di tengah pemberlakuan kebijakan new normal Covid-19 adalah mengemukanya praktik fundamentalisme atas nama agama. Di banyak tempat, problem fundamentalisme agama di era new normal terjadi dalam bentuk aktivitas keramaian dan kerumunan keagamaan yang dalam pelaksananya tidak mengikuti aturan protokol kesehatan; kedua, bahaya besar praktik fundamentalisme di tengah penerapan new normal, itu bukan saja karena aktivitas sosial keagamaan mereka yang seringkali melangar protokol kesehatan, namun juga karena paradigma keagamaan mereka yang identik dengan kekerasan dan anarkisme, sehingga tak jarang memicu gejolak sosial keagamaan di tengah masyarakat; ketiga, munculnya fenomena fundamentalisme agama di era new normal saat ini melahirkan tantangan tersendiri bagi masa depan moderasi agama di seluruh dunia. Tantangan tersebut ada pada paradigma keagamaan mereka yang seringkali menonjolkan sikap, perilaku, dan cara berpikir yang fanatik, tekstual, dan eksklusif. Sikap ini jelas jauh bersebrangan dengan moderatisme yang selama ini senantiasa menitikberatkan pada nilai keadilan universalitas seperti (al- adâlah), tengah-tengah (al-tawassut),  keseimbangan (al-tawâzun), dan toleran (al-tasâmuh)
- …