227 research outputs found

    Weed Communities on Monoculture and Intercropping Cultivation Techniques

    Full text link
    Monoculture and intercropping systems are techniques of controlling weeds in technical culture (ecology). Change in cropping system from monoculture to intercropping may affect the growth of weed species which cause different interaction between weed and plant competition. This research aimed to determine the composition of the weed community on the cultivation of monoculture and intercropping systems between maize, peanuts and cowpea. Treatment tested were G0= without crops (weedy), G1 = maize with planting distance of 80 x 25 cm, G2= maize with planting distance of 100 x 25 cm, G3 = maize with planting distance of 80 x 25 cm (+3 row of peanut), G4 = maize with planting distance of 100 x 25 cm (+ 4 row of peanut), G5= maize with planting distance of 80 x 25 cm (+3 row of cowpea), G6 = maize with planting distance of 100 x 25 cm (+ 4 row of cowpea), G7 = peanut with planting distance of 25 x 25 cm, and G8 = cowpea with planting distance of 25 x 25 cm. The results showed that based on Sum Dominance Ratio (SDR) analysis, the weeds in this study consisted of 17 species, i.e. 11 species of broadleaf weeds, 3 species of sedges weeds, and 3 species of grasses weeds. The intercropping system of maize with planting distance of 100 x 25 cm (+ 4 rows of cowpea) gave lower weed communities than the other treatments. Coefficient Community (C) that ranged from 4.54 to14.64 showed differences of weeds and weed communities when the coefficient was under 75% or communities weed species had equality species in the community compared. Shannon-Wienner Index (H\u27) showed the diversity of weed communities the H\u27 value ranged between 1.29 and 2.18. Weed control in intercropping system with cowpea reduced weed dry weight. While intercropping systems of G3, G4, G5 and G6 suppressed weed dry weight by 15.38, 27.69, 55.38, and 53.85% compared with G2, respectively

    Kajian Jenis Dan Bagian Sulur Pada Pertumbuhan Stek Cabe Jamu (Piper Retrofractum Vahl.)

    Get PDF
    Produksi tanaman cabe jamu (Piper retrofractum Vahl.) di Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan potensi produksinya. Potensi produksi tanaman cabe jamu pada tahun 2012 sebesar 3,45 ton ha-1, sedangkan rata-rata produksi masih mencapai 0,47 ton ha-1 (Direktorat Jendral Perkebunan, 2013). Rata-rata produksi yang rendah dan kegiatan eks-plorasi yang dilakukan menjadikan komoditas ini memiliki peluang yang cukup bagus untuk dikembangkan di Indonesia. Kegiatan eksplorasi tanpa adanya budidaya secara intensif dapat mengakibatkan ke-punahan. Keberhasilan budidaya ditentukan oleh bahan tanam. Tanaman cabe jamu biasa diperbanyak dengan stek sulur, yaitu sulur panjat dan sulur tanah. Bahan tanam yang digunakan, masing-masing memiliki keunggulan yang berbeda sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan awal tanaman. Penelitian bertujuan untuk (1) mem-bandingkan pertumbuhan stek tanaman cabe jamu yang berasal dari sulur panjat dan tanah serta bagian sulur yang berbeda dan (2) mendapatkan bahan tanam cabe jamu yang unggul (daya hidup tinggi dan cepat tumbuh). Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2014, di Desa Banjarsari, Selorejo Blitar. Penelitian meng-gunakan rancangan acak kelompok (RAK), yang di-ulang 4 kali. Hasil penelitian me-nunjukkan bahwa bahan tanam yang di-gunakan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Stek sulur tanah menunjukkan pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan stek sulur panjat yang ditunjukkan oleh persentase tanaman hidup, jumlah daun, jumlah akar dan panjang akar. Sulur tanah bagian tengah (STT) dan atas (STA) menunjukkan pertumbuhan paling cepat. Sulur tanah bagian tengah (STT) me-nunjukkan pertumbuhan lebih cepat pada persentase tanaman hidup. Sulur tanah bagian atas (STA) menunjukkan jumlah daun lebih banyak

    Pertumbuhan Jenis Mata Tunas Pada Okulasi Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg)

    Full text link
    Permasalahan dalam perkebunan karet disebabkan beberapa faktor yaitu peng-gunaan bahan tanam yang bukan klon unggul dan kurang tersedianya kebun entres. Penelitian bertujuan mengetahui tingkat keberhasilan dan pertumbuhan okulasi jenis mata tunas beberapa klon batang atas pada batang bawah PR 300. Percobaan dilaksanakan pada bulan Janu-ari sampai Juni 2013 di Kebun Karet Getas Salatiga menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang terdiri dari 8 perlaku-an, 4 kali ulangan. Perlakuan tersebut terdiri dari : mata tunas prima + klon PB 340 (P(PB340)), mata tunas prima + klon PB 260 (P(PB260)), mata tunas prima + klon IRR 118 (P(IRR118)), mata tunas prima + klon IRR 112 (P(IRR118)), mata tunas sisik + klon PB 340 (S(PB340)), mata tunas sisik + klon PB 260 (S(PB 260)), mata tunas sisik + klon IRR 118 (S (IRR118)), dan mata tunas sisik+klon IRR 112 (S(IRR112)). Tingkat keberhasilan okulasi klon PB 260, PB 340, IRR 118 dan IRR 112 tidak dipengaruhi oleh jenis mata tunas. Perlakuan okulasi pada klon IRR 118 yang menggunakan mata tunas prima mem-berikan hasil yang paling baik pada parameter tinggi tunas. Hasil okulasi yang menggunakan mata tunas prima mengalami pemecahan mata tunas yang lebih cepat daripada mata tunas sisik

    Uji Potensi Hasil 12 Galur Padi (Oryza Sativa L.) Hibrida Pada Dataran Medium Dengan Ketinggian 505 Mdpl

    Get PDF
    Padi (Oryza sativa L.) merupakan sumber makanan pokok bagi hampir seluruh rakyat Indonesia. Kebutuhan beras dalam negeri masih terus meningkat seiring dengan pe-ningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsi yang masih tinggi. Salah satu upaya untuk meningkatkan jumlah produksi dan memperbaiki rata-rata jumlah produksi dalam suatu kawasan adalah melalui per-baikan mutu dan produktifitas tanaman dengan teknologi hibrida. Tujuan penelitan mempelajari karakter hasil dan komponen hasil 12 galur padi hibrida baru dan mem-pelajari potensi hasil 12 galur padi hibrida baru dibandingkan kontrol. Penelitian di-lakukan pada bulan Juli sampai September 2013 di Malang. Penelitian ini meng-gunakan Rancangan Acak Kelompok deng-an 3 kali ulangan, setiap perlakuan di-tanam dalam plot dengan ukuran 4 x 5 m dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Pengamatan dilakukan pada karakter kuantitatif, tinggi ta-naman, jumlah anakan produktif per rumpun, umur bunga, panjang malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, berat 1000 biji gabah dan hasil gabah kg ha-1. Data pengamatan yang diperoleh dianalisis de-ngan menggunakan analisis sidik ragam (uji F) dengan taraf 5% untuk mengetahui pengaruh perlakuan, jika terdapat beda nyata, maka dilanjutkan dengan uji BNT de-ngan taraf 5%. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada uji 11 galur dan satu varietas lokal sebagai pembanding, umur tanaman galur M3 lebih genjah dibandingkan dengan varietas Ciherang. Galur M5 memiliki hasil per satuan luas (t ha-1) lebih tinggi 6.12 % dibandingkan dengan varietas ciherang

    Pengaruh Umur Transplanting Benih Dan Pemberian Berbagai Macam Pupuk Nitrogen Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Jagung Manis (Zea Mays L. Saccharata Sturt.)

    Full text link
    Jagung manis memiliki kandungan gula dan kelembaban biji yang tinggi, sehingga dapat menyebabkan infeksi pathogen dan mengurangi vigor benih. Semai pada media semai dilakukan untuk mengurangi dampak negatif lingkungan terhadap perkecambah-an benih. Salah satu sumber daya dalam tanah yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah keter-sediaan unsur hara nitrogen. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur pindah tanam benih dan pengaruh pemberi-an berbagai macam pupuk nitrogen ter-hadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis. Penelitian dilaksanan bulan Maret sampai Juni 2013 di kebun percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Desa Jatikerto, Malang. Peneliti-an ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 12 kombinasi perlakuan dan 3 kali ulangan. Umur pindah tanam sebagai perlakuan pertama terdiri dari umur pindah tanam 0, 10, 13 dan 16 hari, sedangkan perbedaan pemupukan nitrogen sebagai perlakuan kedua yaitu urea, amonium sulfat dan kalium nitrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pe-mupukan nitrogen dalam berbagai bentuk pada penanaman biji langsung, menghasil-kan komponen biomasa lebih baik dari pada pemupukan berbagai macam nitrogen pada perlakuan pindah tanam. Kombinasi perlakuan penanaman biji langsung, pindah tanam umur 10 dan 16 hari dengan pe-mupukan berbagai macam pupuk nitrogen menunjukkan hasil panen segar yang tidak berbeda nyata, tetapi umur pindah tanam 10 hari memberikan kualitas biji lebih baik

    Pengaruh Posisi Dan Waktu Defoliasi Daun Pada Pertumbuhan, Hasil Dan Mutu Benih Jagung (Zea Mays L.) Var. Bisma

    Get PDF
    Produksi jagung (Zea mays L.) mempunyai peranan yang penting dalam pengembang-an industri di Indonesia. Komoditi jagung menjadi bahan baku industri pengolahan pangan dan industri pakan ternak. Pada umumnya petani melakukan defoliasi seluruh daun dan menyisakan satu daun di bawah tongkol dengan tidak memperhitung-kan umur tanaman. Padahal, penurunan translokasi asimilat pada tanaman dapat mengurangi pertumbuhan, hasil dan mutu benih, apabila defoliasi daun tidak mem-perhatikan posisi, jumlah dan waktu defoliasi daun yang tepat. Pada penelitian ini dilakukan defoliasi daun pada beberapa posisi daun dan waktu defoliasi untuk mengetahui kombinasi perlakuan yang tepat guna meningkatkan pertumbuhan hasil dan mutu benih jagung. Bahan yang digunakan adalah benih jagung varietas Bisma, kertas merang, insektisida dan pupuk. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Agustus 2014 di UPT Pengembangan Benih Palawija, Singosari-Malang. Sedangkan metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada komponen pertumbuhan dan hasil. Pada perlakuan defoliasi daun di atas dan bawah tongkol pada 77 HST atau perlakuan DAB 77 menunjukkan hasil berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan kontrol (D0). Perlakuan DAB 77 berpengaruh nyata pada akhir pengamatan 109 hari setelah tanam yang mampu meningkatkan berat kering total tanaman dari 343,3 g tan-1 menjadi 392,3 g tan-1 atau dapat meningkat-kan sebesar 12,49% dibandingkan D0. Pada hasil panen perlakuan DAB 77 mampu meningkatkan 6,901 t ha-1 menjadi 8,898 t ha-1 pipilan kering atau dapat meningkatkan hasil panen sebesar 22,44% dibandingkan D0. Sementara viabilitas benih bertahan baik dengan lama pe-nyimpanan selama 3 bulan dengan kadar air benih 9-12%

    Yield Response of Ten Varieties of Sweet Potato (Ipomoea Batatas L.) Cultivated on Dryland in Rainy Season

    Full text link
    Sweet potato is a tuber commodity and one of alternative crops in Indonesia. The demand of sweet potato in Indonesia continues to increase. However, the supply of sweet potatoes for consumption estimated is 2020 in Indonesia will be deficit. Low production of sweet potato is basically due to the decrease of land area as cultivation production and also sweet potatoes have a low yield when planted in rainy season. Based on the high utilization of sweet potato make demand for this commodities continues to increase.Therefore, several strategies to increase crop yields of sweet potato needs to be done. This study aimed to elucidate various sweet potato varieties that can cultivated on dry land in the rainy season. This study was conducted from November 2016 until March 2017 using a randomized block design with treatments of ten varieties of sweet potato consisting of (V1) Papua Solossa variety, (V2) Jago variety, (V3) Kidal variety, (V4) Antin-1variety, (V5) Sari variety, (V6) Sawentar variety, (V7) Beta-2variety, (V8) Antin-2variety, (V9) Antin-3 variety, (V10) Beta-1variety. The results showed different responses of each variety.The vegetative growth was high as shown by the LAI value of 7.23 at 90 days after planting. In conclusion, the sweet potato leaves had to be prune to boost the agronomic yield. Yields of ten varieties of sweet potato crops ranged from 8.86 to 44.76 t/ha. Some varieties such as Sari, Papua Salosa and Beta-2 varieties showed high yield although they were planted in moorland conditions in the rainy season
    corecore