19 research outputs found

    Irigasi Tirtayasa: Teknik Pengelolaan Air Kesultanan Banten Pada Abad Ke-17 M

    Get PDF
    Abstract. Irrigation of Tirtayasa: Water Management Technique of the Sultanate of Banten in the 17th century. This paper presents the results of archaeological research that revealed the agricultural sideview of the Sultanate of Banten, based on the findings of the irrigation features of the 17th century. It has been recorded in history that an engineering done to build a water management system in a large scale for intensive agricultural purposes in the coastal region of Banten. The opening of the agricultural land was initiated by Sultan Ageng also known epithet of honor as Tirtayasa. Variety of finding features include former canals, artificial embankments, bridges, water gates and water control building. Human adaptation and environmental approaches used to describe the ability of the technology to build the water system, which is an actions and consequences of efforts to solve problems of the local environmental situation, then put it together in a large system. The hydraulics engineering, held in support of food security. All the evidence, showing toughness engineered water management system, at that time. Abstrak: Tulisan ini menyajikan hasil penelitian arkeologi yang mengungkap sisi agraris dari Kesultanan Banten, berdasarkan peninggalan irigasi dari abad ke 17. Tercatat dalam sejarah bahwa sebuah rekayasa dilakukan untuk membangun tata air dalam skala besar untuk pertanian intensif di pesisir Banten. Pembangunan itu diprakarsai Sultan Ageng yang bergelar Tirtayasa. Melalui pendekatan excavasi bukti-bukti jejak hidro-arkeologi ditemukan kembali, tersebar di antara SungaiCiujung, Sungai Cidurian dan Sungai Cipasilihan. Ragam peninggalan antara lain berupa bekas kanal-kanal, tanggul buatan, jembatan, pintu air, dan bangunan pengontrol air. Pendekatan adaptasi manusia dan lingkungan digunakan untuk menjelaskan kemampuan teknik membangun tata air, yang merupakan tindakan dan konsekuensi dari upaya mengatasi problem situasi lingkungan setempat, danmenyatukannya dalam sebuah sistem besar. Rekayasa teknologi hidrolika ini, diselenggarakan untuk mendukung kebutuhan pangan. Bukti-bukti itu, menunjukan ketangguhan rekayasa pengelolaan tata air, pada masa itu

    Bencana & Peradaban Tambora 1815

    Get PDF
    Buku pengkayaan yang memuat tentang Bencana dan Peradaban Tambora 1815 yang merupakan Bagian dari misi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional memasyarakatkan hasil penelitian bagi public melalui program Rumah Peradaban. Maksudnya tidak lain agar masyarakat dapat mengaskes informasi tentang Tambora, tetapi lebih dari itu agar masyarakat mendapatkan wawasan dan pada Gilirannya mencintai , dan melestarikan warisan budaya di daerahnya sendiri, hususnnya bagi mereka yang tinggal di wilayah Nusa Tenggara Barat

    BERITA PENELITIAN ARKEOLOGI NO. 48

    Get PDF

    BERITA PENELITIAN ARKEOLOGI NO. 39

    Get PDF

    Kota Rentang, Sumatra Utara: Jalur Perdagangan Pantai Timur Sumatra

    Get PDF
    Kota Rentang, North Sumatra: Trade Route on the East Coast of Sumatra. KotaRentang is a new site, which was discovered in Muara/Belawan (Belawan Estuary) area, Medan,in 2008. In this article will be presented archaeological evidences found during excavations. In the context of Muara Belawan area, the discovery of this site is important because in this area there is also a quite famous site, which is Kota Cina, a habitation site that contains Song-Yuan ceramics, and Paya Pasir, where there is an old shipwreck. Ceramics analysis is the important device in retracing trade sites in Muara Belawan and finding out when Kota Rentang was first involve in trade network. In this study comparisons are also made between the variability and chronology of ceramics from the sites of Kota Rentang, which are located in a network of coastal-interior river system. It is hoped that results of this study will provide better understanding about the emergence of centers of coastal cities, which were involved in regional trade network during 12th – 16th centuries AD along the east coast of the northern part of Sumatra, particularly Muara Belawan area

    Paths to Power in the Early Stage of Colonialism: An Archaeological Study of the Sultanate of Banten, Java, Indonesia, the Seventeenth to Early Nineteenth Century

    Get PDF
    This article discusses the results of our archaeological research at an important global pepper-trading center located in west Java, Indonesia, to examine the sultan’s power and the transition processes from the year 1682 when the Dutch East India Company effectively took political and economic control over the sultanate, until the official end of the Sultanate of Banten in 1813. Through the study of prestige goods and food used at the court, we critically explore power relationships in this early stage of colonialism. The results of our study suggest that European cultural influence was limited to the public domain and most aspects of the sultan’s daily life largely remained unchanged. However, the changing political structure was one factor in the eventual decline of the sultan’s power. The archaeological focus on foodways in the study presented here reveals a more nuanced understanding of these gradual political changes than has been suggested by previous archaeological research primarily based on monumental architecture and major historical events

    KALPATARU Majalah Arkeologi vol. 23 nomor 1

    Get PDF
    Perkembangan Budaya Akhir Pleistosen-Awal Holosen di Nusantara Oleh: Bagyo Prasetyo, Pusat Arkeologi Nasional Sejak dasawarsa terakhir ini eksplorasi untuk mengetahui jejak-jejak manusia dan budaya akhir Pleistosen-awal Holosen makin meluas. Wilayah pengamatan telah menjangkau Aceh, Pulau Nias, pedalaman Sumatera Selatan, pesisir Pantai Barat Kalimantan Barat dan Barito Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Tengah, Halmahera, Ponorogo dan Pacitan (Jawa Timur), Wonosari (Yogyakarta), Klungkung (Bali), Rotendao, Flores, dan Kupang. Makalah ini merupakan kompilasi data dari sejumlah hasil penelitian yang menyangkut budaya akhir Pleistosen-awal Holosen, dalam upaya mencari informasi baru jejak-jejak perkembangan munculnya manusia sapiens yang menyangkut distribusi situs dan kronologinya. Melalui tulisan ini diperoleh sumbangan data berupa tambahan jumlah hasil pertanggalan dan persebaran situs-situs serta teknologi budaya manusia sapiens pada akhir Pleistosen-awal Holosen di Indonesia. Awal Pengaruh Hindu Buddha di Nusantara Oleh: Agustijanto Indradjaja, Endang Sri Hardiati Pusat Arkeologi Nasional Berbicara tentang awal pengaruh Hindu Buddha di Nusantara sejauh ini selalu dimulai pada sekitar abad ke-5 M. yang ditandai oleh kehadiran kerajaan Kutai dan Tārumanāgara di Nusantara dan masih sedikit perhatian terhadap periode sebelum itu. Padahal periode awal sampai dengan abad ke-5 M. adalah periode krusial bagi munculnya kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di Nusantara. Penelitian terhadap periode awal sejarah dimaksudkan untuk mengungkapkan dinamika sosial ekonomi yang terjadi di masyarakat Nusantara sehingga mampu menerima dan menyerap unsur-unsur budaya asing (India) yang pada puncaknya memunculkan sejumlah kerajaan bersifat Hindu-Buddha di Nusantara. Metode analisis yang dipakai adalah metode analisis tipologis dan kontekstual serta beberapa analisis C-14 atas temuan diharapkan dapat menjelaskan kondisi masyarakat Nusantara pada masa lalu. Hasil penelitian ini dapat mengidentifikasikan sejumlah tinggalan arkeologi seperti sisa tiang rumah, sisa perahu, keramik, tembikar, manik-manik, alat logam, dan sejumlah kubur yang diidentifikasi berasal dari periode awal sejarah. Berdasarkan tinggalan tersebut dapat direkonstruksi kondisi sosial-ekonomi masyarakat Nusantara dan peranannya di dunia internasional di Kawasan Asia Tenggara. Jejak-jejak Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara Oleh: Titi Surti Nastiti, Pusat Arkeologi Nasional Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan kuna di Indonesia pada abad ke-4-5 M. dan berakhir pada awal abad ke-16iM. Adapun maksud dan tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui peradaban Hindu-Buddha secara komperhensif di Nusantara, berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional dan Balai-Balai Arkeologi di seluruh Indonesia, sejauh yang dapat dijangkau oleh penulis. Metode yang dipakai lebih kepada pengumpulan data dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional dan Balai-Balai Arkeologinya, ditelaah, dan dibuat suatu ikhtisar yang menggambarkan jejak-jejak peradaban Hindu-Buddha di Nusantara. Hasil kajian memperlihatkan adanya berbagai aspek kehidupan masyarakat pada masa Hindu-Buddha yang mendukung maju-mundurnya suatu peradaban seperti aspek sosial, politik, ekonomi, agama, kesenian (sastra, arsitektur, arca), ilmu pengetahuan dan teknologi, serta aspek tata ruang tempat di mana masyarakat itu hidup. Aspek-aspek Kajian Islam di Nusantara: Langkah Meniti Peradaban Oleh: Sonny C. Wibisono, Pusat Arkeologi Nasional Tulisan ini merupakan sebuah tinjauan atas zaman pengaruh Islam di Nusantara, sebuah rentang zaman yang menandai salah satu perubahan budaya di Nusantara. Maksud dari tinjauan ini adalah menemukan sebuah kerangka tentatif yang dapat digunakan untuk mengungkap aspek-aspek yang diharapkan dapat diajukan dalam penelitian arkeologi. Aspek-aspek yang dimaksud antara lain diaspora Islam, negeri kesultanan, jaringan perniagaan, permukiman dan perkotaan, teknologi dan produksi, literasi dan keagamaan, dan kesenian. Tersedianya bahan teks merupakan bagian untuk memahami konteks peristiwa dari fragmentasi data arkeologi dari zaman ini. Studi literatur dan kasus penelitian berkaitan dengan topik ini digunakan sebagai bahan dalam tulisan ini

    KALPATARU Majalah Arkeologi vol. 23 nomor 1

    Get PDF
    Perkembangan Budaya Akhir Pleistosen-Awal Holosen di Nusantara Oleh: Bagyo Prasetyo, Pusat Arkeologi Nasional Sejak dasawarsa terakhir ini eksplorasi untuk mengetahui jejak-jejak manusia dan budaya akhir Pleistosen-awal Holosen makin meluas. Wilayah pengamatan telah menjangkau Aceh, Pulau Nias, pedalaman Sumatera Selatan, pesisir Pantai Barat Kalimantan Barat dan Barito Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Tengah, Halmahera, Ponorogo dan Pacitan (Jawa Timur), Wonosari (Yogyakarta), Klungkung (Bali), Rotendao, Flores, dan Kupang. Makalah ini merupakan kompilasi data dari sejumlah hasil penelitian yang menyangkut budaya akhir Pleistosen-awal Holosen, dalam upaya mencari informasi baru jejak-jejak perkembangan munculnya manusia sapiens yang menyangkut distribusi situs dan kronologinya. Melalui tulisan ini diperoleh sumbangan data berupa tambahan jumlah hasil pertanggalan dan persebaran situs-situs serta teknologi budaya manusia sapiens pada akhir Pleistosen-awal Holosen di Indonesia. Awal Pengaruh Hindu Buddha di Nusantara Oleh: Agustijanto Indradjaja, Endang Sri Hardiati Pusat Arkeologi Nasional Berbicara tentang awal pengaruh Hindu Buddha di Nusantara sejauh ini selalu dimulai pada sekitar abad ke-5 M. yang ditandai oleh kehadiran kerajaan Kutai dan Tārumanāgara di Nusantara dan masih sedikit perhatian terhadap periode sebelum itu. Padahal periode awal sampai dengan abad ke-5 M. adalah periode krusial bagi munculnya kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di Nusantara. Penelitian terhadap periode awal sejarah dimaksudkan untuk mengungkapkan dinamika sosial ekonomi yang terjadi di masyarakat Nusantara sehingga mampu menerima dan menyerap unsur-unsur budaya asing (India) yang pada puncaknya memunculkan sejumlah kerajaan bersifat Hindu-Buddha di Nusantara. Metode analisis yang dipakai adalah metode analisis tipologis dan kontekstual serta beberapa analisis C-14 atas temuan diharapkan dapat menjelaskan kondisi masyarakat Nusantara pada masa lalu. Hasil penelitian ini dapat mengidentifikasikan sejumlah tinggalan arkeologi seperti sisa tiang rumah, sisa perahu, keramik, tembikar, manik-manik, alat logam, dan sejumlah kubur yang diidentifikasi berasal dari periode awal sejarah. Berdasarkan tinggalan tersebut dapat direkonstruksi kondisi sosial-ekonomi masyarakat Nusantara dan peranannya di dunia internasional di Kawasan Asia Tenggara. Jejak-jejak Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara Oleh: Titi Surti Nastiti, Pusat Arkeologi Nasional Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan kuna di Indonesia pada abad ke-4-5 M. dan berakhir pada awal abad ke-16iM. Adapun maksud dan tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui peradaban Hindu-Buddha secara komperhensif di Nusantara, berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional dan Balai-Balai Arkeologi di seluruh Indonesia, sejauh yang dapat dijangkau oleh penulis. Metode yang dipakai lebih kepada pengumpulan data dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional dan Balai-Balai Arkeologinya, ditelaah, dan dibuat suatu ikhtisar yang menggambarkan jejak-jejak peradaban Hindu-Buddha di Nusantara. Hasil kajian memperlihatkan adanya berbagai aspek kehidupan masyarakat pada masa Hindu-Buddha yang mendukung maju-mundurnya suatu peradaban seperti aspek sosial, politik, ekonomi, agama, kesenian (sastra, arsitektur, arca), ilmu pengetahuan dan teknologi, serta aspek tata ruang tempat di mana masyarakat itu hidup. Aspek-aspek Kajian Islam di Nusantara: Langkah Meniti Peradaban Oleh: Sonny C. Wibisono, Pusat Arkeologi Nasional Tulisan ini merupakan sebuah tinjauan atas zaman pengaruh Islam di Nusantara, sebuah rentang zaman yang menandai salah satu perubahan budaya di Nusantara. Maksud dari tinjauan ini adalah menemukan sebuah kerangka tentatif yang dapat digunakan untuk mengungkap aspek-aspek yang diharapkan dapat diajukan dalam penelitian arkeologi. Aspek-aspek yang dimaksud antara lain diaspora Islam, negeri kesultanan, jaringan perniagaan, permukiman dan perkotaan, teknologi dan produksi, literasi dan keagamaan, dan kesenian. Tersedianya bahan teks merupakan bagian untuk memahami konteks peristiwa dari fragmentasi data arkeologi dari zaman ini. Studi literatur dan kasus penelitian berkaitan dengan topik ini digunakan sebagai bahan dalam tulisan ini

    KALPATARU Majalah Arkeologi vol 23 nomor 2

    Get PDF
    Sriwijaya for Our Nation Oleh: Truman Simanjuntak, Pusat Arkeologi Nasional Srivijaya Kingdom that centered in South Sumatera is one of the highest peak of culture in the Indonesian Archipelago. The kingdom evolved from 71n to 131n Century AD. Several achievements that made Srivijaya Kingdom become a great maritime country and very influential in South East region are as follows, commanded the trade route in Malaka Strait and Sunda Strait; had a trade relations with China, India, Arab, Persia, and Madagascar; built a strategic area as a maritime base for commercial interest and sovereignty protection; built a Buddhist and Sanskrit center; and also built tolerance to religions in society. Srivijaya is not just a knowledge from the past, it should bring benefits to Indonesia as a nation. The spirit of actualization, the greatness, and the culture and historical values should inspire and motivate Indonesian people to build a great archipelagic nation. The knowledge of Srivijaya could be inherited through formal and informal education, and social activities such as sports activities, arts activities, and cultural activities. Another strategic way is to build "Rumah Peradaban Sriwijaya" (House of Srivijaya Civilization). Rumah Peradaban Srivijaya is a building complex that embodies a research and information center, museum as an educational and social facility, and also public space. Hunian "Pra-Sriwijaya" di Daerah Rawa Pantai Timur Sumatera Oleh: Nurhadi Rangkuti, Balai Arkeologi Nasional Keberadaan Sriwijaya di Sumatera ditandai oleh adanya prasasti-prasasti dari abad ke-7 M. di Palembang, Jambi dan Larnpung. Sebagian besar prasasti dan situs­situs arkeologi dari masa Sriwijaya (abad ke-7-13 M.) terdapat di daerah lahan basah sebagai bagian dari wilayah pantai timur Sumatera. Penelitian arkeologi selama dua puluh tahun terakhir di daerah tersebut berhasil menemukan situs-situs arkeologi pada masa pra-Sriwijaya antara lain berupa situs kubur tempayan dan situs hunian. Penemuan situs-situs masa pra-Sriwijaya itu menunjukkan bahwa sebelum Sriwijaya berkembang di Palembang dan Jambi, daerah rawa telah dimukimi oleh komuniti-komuniti kuno. Penelitian mengkaji lebih jauh pola hidup masyarakat kuna tersebut dalam berinteraksi dengan lingkungan rawa. Penelitian dilakukan dengan pendekatan "landscape archaeology", survei dan ekskavasi untuk pengumpulan data, serta analisis carbon dating (C-14) dan tipologi artefak untuk mengetahui pertanggalan situs. Hasil penelitian memberikan gambaran mengenai pola persebaran situs antara situs kubur tempayan dan situs bunian di daerab rawa. Makara Pada Masa Sriwijaya 0/eh: Sukawati Susetyo, Pusal Arkeologi Nasional Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar di Indonesia pada abad ke-7-12 M. Tinggalan bangunan suci dari masa Sriwijaya tersebar di beberapa kawasan, yaitu Muara Jambi di Jambi, Muara Takus di Riau, Bumiayu di Sumatera Selatan, hingga beberapa kelompok bangunan suci Padang Lawas di Sumatera Utara. Makara merupakan salah satu unsur bangunan candi yang biasanya berpasangan dengan kala. Tujuan penulisan ini adalah ingin mengetahui ciri-ciri makara dari masa Sriwijaya dengan cara membandingkannya dengan makara-makara dari candi masa Mataram Kuno. Dari basil penelitian selama ini diketahui bahwa makara Sriwijaya mempunyai ciri tersendiri, meskipun tidak mena:fikan adanya beberapa kesamaan dengan makara dari masa Mataram Kuno tersebut. The Structure of Stiipas at Muara Jambi 0/eh: Hariani Santiko, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia In the vicinity of Muara Jambi are found a lot of archaeological remains, among others a group of brick monuments believed to date from the 9m to 13m Century AD, among others are Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Gedong I and II, Candi Kedaton, Candi Astano. These monuments are Buddhist, because the majority of the finds in this area are Buddhist statues, many bricks with "bija mantra" inscriptions and drawing such as padma motives on them. The structures of the main temple, except Candi Gumpung, are generally square in plan with projecting portico on the east or north, and terrace platform that may well served for the enthronement of the big stiipa like the one at Candi Tinggi. The type of this stiipa structure is called the terrace-stiipa, known for the first time in the Gandharan regions from pre­Kushana period. In Indonesia terrace-stiipas are found at Muara Takus (Candi Tua) and also candi Borobudur in Central Jawa. Candi Gumpung has different structure, a square ground plan measuring 18 x 18 metres without any trace of an inner-room (garbhagrha). Boechari in 1985 read the inscriptions found in the deposit boxes found inside the temple floor. He recognized the plan of Vajradhatu-ma1;H;iala found in the base of candi Gumpung. It means that candi Gumpung is a Vajrayana temple and it embodies the mru;i9ala of the five Tathagath as with Wairocana in the centre. So I assume that the first can di Gumpung in the 9-1 om Century was a square platform with five stiipas on it to form the Vajradhatu-mru;i9ala. By studying the archaeological data from Muara Jambi and comparing them with the monuments from Muara Takus and Biaro Bahal, I consider the remains of brick monuments at Muara Jambi belonged to stilpas, especially the terrace-stiipas. Invasi Sriwijaya ke Bhiimijawa: Pengaruh Agama Buddha Mahayana dan Gaya Seni Nalanda di Kompleks Percandian Batujaya Oleh: Hasan Djafar, Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta Paper ini membahas pengaruh invasi Sriwijaya ke Bhumijawa (Tarumanagara) pada akhir abad ke-7 M. Fokus pembahasan adalah pengaruh Agama Buddha Mahayana dan gaya seni Nalanda di kompleks percandian Batujaya, Karawang, Jawa Barat. Hasil penelitian di Batujaya selama periode 1985-2006 telah menghasilkan beberapa buk:ti baru penyebaran Agama Buddha Mahayana dan gaya seni Nalanda di Kompleks percandian Batujaya. Arkeologi Natuna: Koridor Maritim di Perairan Laut Cina Selatao Oleh: Sonny C. Wtbisono, Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta Salah satu episode sejarah yang menarik untuk dicermati selama masa pertumbuhan dan perkembangan Sriwijaya adalah berlangsungnya kegiatan niaga jarak jauh. Dalam kronik Cina cukup jelas dicatat, kerajaan yang pusatnya di Sumatera ini, telah mengirimkan lebih dari dua puluh misi perniagaan ke Cina antara abad ke-10-13 M., demikian pula sebalik:nya. Kawasan perairan Laut Cina Selatan, merupakan jalur yang semakin intensif dilalui pada masa itu. Permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam tulisan ini tentang studi arkeologi di wilayah kepulauan khususnya di Laut Cina Selatan yang dipandang patut diteliti untuk menelusur jejak jalur perniagaan jarak jauh antara Cina dan Nusantara, terutama hubungannya deogan masa Sriwijaya. Di samping penelitian terhadap bandar-bandar di sepanjang pantai Benua Asia Tenggara Daratan, pada kenyataan banyak kepulauan kecil yang sangat mungkin menjadi ''batu loncatan" dalam perjalanan niaga yang selama ini luput dari perhatian seperti Kepuluan Paracel, Spratley, Anambas, dan Natuna. Pulau ini merupakan salah satu gugusan pulau-pulau kecil yang berhadapan dengan Laut Cina Selatan, menempati posisi persilangan jalur untuk memasuki perairan Malaka, Sumatera, dan Kalirnantan. Dalam tulisan ini akan disajikan bukti-bukti arkeologis, dari basil survei dan ekskavasi Natuna tahun 2012-2014, termasuk data situs dan artefaktual. Keramik sebagai indikator perniagaan dianalisis khusus (kualitatif dan kuantitatif) untuk perbandingan
    corecore