22 research outputs found

    Kebebasan Berekspresi dan Ujaran Kebencian: Kajian Filsafat Hukum Terapan

    Get PDF
    To speak and to communicate is a form of freedom of expression protected as a human right. The main justifications for freedom of speech are philisophical, political, and individual reasons. Hate speech, is a name for speech intended to insult and stigmatized others based on race, gender, sexual orientation, or other forms of group membership. In Indoensia, hate speech symbolyzes the evolution of freedom of expression considering that so many hate speeches are carried out openly. This is facilitated by the presence of online media. With an Applied Legal Philosophy Approach, this paper examines John Stuart Mill’s thougts on freedom of expression as a manifestation of human rights, namely as a means to find the truth, and the limits of hate speech within the framework of human rights as well. The background of the emergence of the freedom of expression and the emergence of hate speech can be traced from developed countries such as Europe and America, where the context of regulating hate speech is that it prohibits racial discrimination. In Indonesia, this is not the main reason, so that the regulation of hate speechin various provisions is more about prohibitions so as not to interfere with religious values, morality, order, pubic interest, and the integrity of nation. This is further clarified by the publication of the Regulatory Norm Standar (Standar Norma Pengaturan/SNP) Number 5 concerning the Right to Freedom of Opinion and Expression stipulated by National Commission of Human Rights which is expected to be a guide for a number of important points in the lige of expression because it regulates speech and political, religious, artistic, symbolic expressions, rights on the protection of personal data, as well as freedom of the press, which does not eliminate the principles and character of Indonesia itself. Online intermediary platform that facilitates freedom of expression – incuding facilitates hate speech – need to be the object of state regulation as well as the speakers and recipients of the hate speech. Key words: freedom of expression; hate speech; applied legal philosohpy Abstrak Berujar dan berkomunikasi merupakan salah satu wujud kebebasan berekspresi yang dilindungi sebagai hak asasi manusia (HAM). Justifikasi kebebasan berbicara adalah alasan filosofis, politis, dan individual. Berujar yang bermuatan kebencian, dinamai dengan ujaran kebencian, merupakan julukan bagi ujaran yang ditujukan untuk menghina dan menstigmatisasi berdasarkan ras, gender, orientasi seksual, atau bentuk-bentuk lain keanggotaan kelompok. Di Indonesia, ujaran kebencian menyimbolkan evolusi kebebasan berpendapat mengingat begitu banyaknya ujaran yang mengandung kebencian dilakukan secara terbuka. Hal ini diperlancar dengan keberadaan media online. Dengan pendekatan Filsafat Hukum Terapan, tulisan ini mengkaji pemikiran John Stuart Mill tentang kebebasan berekspresi sebagai wujud dari HAM, yakni sebagai sarana untuk menemukan kebenaran, dan batas-batas ujaran kebencian dalam kerangka HAM juga. Latar belakang munculnya kebebasan berekspresi dan munculnya ujaran kebencian ditelusur dari negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika, yang konteks pengaturan ujaran kebenciannya adalah bersifat larangan diskriminasi ras. Di Indonesia, hal ini bukan menjadi alasan utama, sehingga pengaturan ujaran kebencian dalam berbagai ketentuan lebih pada larangan-larangannya agar tidak mengganggu nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Hal ini diperjelas lagi dengan diterbitkannya Standar Norma Pengaturan (SNP) Nomor 5 dari KOMNAS HAM tentang Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, yang diharapkan menjadi pedoman bagi sejumlah poin penting dalam kehidupan berekspresi karena mengatur pidato dan ekspresi politik, ekspresi keagamaan, ekspresi seni, ekspresi simbolis, hak atas perlindungan data pribadi, serta kebebasan pers, yang tidak menghilangkan prinsip dan karakter Indonesia itu sendiri. Media intermediari online yang memfasilitasi kebebasan berekspresi, termasuk ujaran kebencian, perlu menjadi objek pengaturan negara juga selain peng-ujar dan penerima ujaran kebencian. Kata kunci : Kebebasan berekspresi; ujaran kebencian; filsafat hukum terapan

    TAKING OMNIBUS LAW SERIOUSLY

    Get PDF
    Abstract:This article tries to understand the Omnibus Law on Job Creation and its relation to the Sustainable Development Goals/ SDGs as an aspect of the protection of human rights as the responsibility of the state.  The research approach is a normative legal research using a hermeneutical circle analysis. The main object (material object) is the norms in UUCK and related statutes which have been amended, added, or substituted by the Law on Job Creation. The norms studied are stated in the articles of the Law on Job Creation, especially norms that deal with environment and sustainable development. Hermeneutical analysis, from the linguistic and phenomenological point of view,  isused in order to  find the meaning of law from the linguistic and historical point of view, and the nature of the State as the protector of citizens’ human right. The findings are divided into 3 points. First, in terms of the process, this law is a tactical and political response from decision makers to complex and dynamic situations that can in fact lead to complicated derivative problems if the responses are not based on a framework based on the principles and basic values of the state. Dealing with the growth agenda in SDGs, the Law on Job Creation still calls into question whether the Law enshrines the easiness of business and full employment and decent work as human rights obligations of the state, or merely as benefits of economic growth. So it still presents both opportunities for human rights monitoring and accountability.   Keywords: Omnibus Law, Job Creation, Sustainable Development Goals   Abstrak:Tulisan ini mencoba untuk memahami Omnibus Law Cipta Kerja dalam kaitannya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Goals/SDGs) sebagai suatu aspek dari perlindungan HAM yang merupakan tanggung jawab negara. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian ilmu hukum normatif menggunakan analisa lingkar hermeneutika. Obyek utamanya adalah norma dalam Undang-undang Cipta Kerja dan peraturan perundang-undangan terkait yang telah diubah, ditambahkan atau digantikan oleh undang-undang ini. Norma yang dikaji dimuat dalam pasal-pasal Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya aturan-aturan mengenai lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Analisa hermeneutika dari sudut pandang bahasa dan fenomologi, digunakan dengan maksud untuk menemukan makna hukum dari aspek linguistik dan sejarah, serta hakekat Negara sebagai pelindung HAM warga negaranya. Hasil temuan dalam kajian ini dibagi dalam tiga poin. Pertama, dalam hal proses, undang-undang ini merupakan respon penentu kebijakan yang bersifat taktis dan politis terhadap situasi yang kompleks dan dinamis yang pada kenyataannya justru membawa pada permasalahan derifativ yang kompleks jika  tindakan pemerintah tersebut tidak didasarkan pada kerangka kerja yang menjadi prinsip-prinsip dan nilai-nilai fundamental Negara. Mengacu pada agenda SDGs, Undang-Undang Cipta Kerja perlu untuk dikaji lebih dalam apakah aturan-aturan di dalamnya memperkuat kemudahan usaha dan kewajiban negara menjamin hak asasi pekerja secara penuh, atau hanya bermanfaat untuk pertumbuhan ekonomi. Hal ini masih memberikan kesempatan untuk pengawasan HAM dan akuntabilitas. Kata Kunci: Omnibus Law, Cipta Kerja, Sustainable Development Goal

    Pemberdayaan Komunitas Batik Tulis Difabel Bhakti Luhur Di Kota Malang

    Get PDF
    Tim Program Kemitraan Masyarakat (PKM) Universitas Katolik Widya Karya memilih mitra Kelompok Pembatik Tulis Difabel Bhakti Luhur (BTBL) di Kota Malang. Pertimbangan pemilihan mitra adalah, pertama, kaum difabel merupakan masyarakat yang perlu diberdayakan sebagai konsekuensi atas penghormatan HAM. Kedua, batik tulis merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan. Kegiatan ini bertujuan memberikan solusi atas permasalahan di bidang produksi, keuangan dan pemasaran. Di bidang produksi, permasalahan mitra terkait dengan keterbatasan dana membeli bahan baku, kurangnya peralatan, bahan baku yang sulit dicari, dan belum adanya perlindungan kekayaan intelektual. Dalam bidang ini, tim membantu mitra melalui pemberian barang dan alat teknologi, pendidikan masyarakat mengenai pengurusan hak cipta, serta inovasi pada pengemasan produk. Di bidang keuangan, BTBL diberdayakan melalui pelatihan pembukuan/akuntansi untuk tujuan pelaporan keuangan. Di bidang pemasaran, keterbatasan pasar dan belum dimanfaatkannya teknologi diberdayakan melalui pelatihan pemasaran digital untuk memperluas pasar. Fokus kegiatan ini adalah memperbaiki manajemen melalui peningkatan aset, optimasi manajemen pemasaran, dan melindungi produk dengan hak cipta. Metode pelaksanaan kegiatan dimulai dari konsultasi kemudian pendidikan masyarakat, pelatihan, dan di saat yang bersamaan juga termasuk substitusi ipteks. Mahasiswa dilibatkan dalam berkegiatan dan masing-masing direkognisi untuk mata kuliah Manajemen Pemasaran dan Kewirausahaan Digital. Hasil PKM adalah peningkatan alat produksi dan teknologi, inovasi kemasan produk yang ramah lingkungan, memunculkan rasa kemanusiaan, dan estetis; sertifikat pencatatan ciptaan, laporan keuangan (laba rugi dan posisi keuangan), serta pemasaran produk melalui metode pemasaran digital

    Partialities in the Methods of Legal Interpretation

    Get PDF
    This topic will respond the following fundamental problems: First, theoretical one, concerning the theoretical basis of the legal-interpretation method. Its questions would be: (a) Why are there many differences and partialities in interpreting the same legal text? (b) Can any of all existing methods of legal interpretation provide us a comprehensive legal-interpretation? Following the fundamental problems, the research then aims firstly at finding the advantage and the weakness of each method of legal interpretation. Keywords: partial, methods of legal interpretation

    The Problem of Copyright for Traditional Cultural Expression in Indonesia: The Example of the “Malang Masks”

    Get PDF
    Folklore, as a part of traditional cultural expression (TCE), has captured the interest of experts in many spheres, including the legal, social, and anthropological. The difficulties exist in attempting to include folklore into copyright regime, as has been done in Indonesian Law Number of 2002 on Copyright. This article will focus on the ambiguity in formulating moral and economic rights of Indonesia’s Copyright Law Number 19 of 2002 which implies various problems in folklore as the object of copyright system. A sui generis law on intangible cultural heritage and a national bank of cultural heritage to protect TCE is needed. Key words: folklore, copyright, cultural heritage

    Traditional Cultural Expressions and Intellectual Property Rights in Indonesia

    Get PDF
    Protection of traditional culture and knowledge has been a concern in Indonesia. Efforts that have been made to legally protect Indonesian traditional expressions and knowledge usually involve intellectual property (IP) laws. However, the protection provided by IP laws may be inadequate for Indonesian traditional communities that care more about the survival and maintenance of their culture and knowledge than the legal exclusivity of their works. This study uses a normative legal approach with the perspective of hermeneutic circle to look at various studies and legal documents to find reasons why IP laws may not be entirely suitable for the Indonesian context and how an IP-based law can be designed to suit the actual needs of Indonesian traditional expression holders. The results obtained affirm that Indonesian traditional cultural expressions cannot be contained by laws that exclusively limit the usage of those expressions and thus a ‘sui generis’ law is needed to give a more appropriate protection

    LEGAL PROTECTION ON CULTURAL HERITAGE IN MALANG CITY

    No full text
    Abstract Protection of cultural heritage is a nation's commitment to protect its cultural heritage. This study aims at finding the relationship between the law on cultural preservation and the law of traditional cultural expression in copyright law, especially about cultural richness and its juridical consequences and to know the application of law on cultural heritage in Malang as mandated by Law Number 11 of 2010 on Cultural Heritage. To achieve these objectives, juridical research was conducted with the orientation of two approaches, namely normative juridical to achieve the first objective, and empirical juridical to achieve the second goal. The normative approach was carried out with the stage of conducting a positive law inventory and its historical context, classification, and semantic, syntactic and phenomenological analysis. Empirical juridical research was conducted by examining how the practice of implementing the cultural heritage law in the field, namely in the city of Malang. Primary data obtained through observation and interviews with informants. Secondary data obtained from the document of education and culture of Malang City, books and related journals. Data analysis was done by triangulation with experts in the field of cultural preservation, presented in the form of description and tables. The results showed that: 1) there is an unconformity between the laws governing cultural heritage and copyright law, especially Traditional Cultural Expression. 2) In the city of Malang, the protection of cultural heritage has not been fully done since there is no Culture Preservation Ethic, Cultural Heritage Team of Malang City that can not work optimally. Keywords: Cultural Reserve, Traditional Cultural Expressions, Cultural Heritag

    TAKING OMNIBUS LAW SERIOUSLY

    Full text link
    Abstract:This article tries to understand the Omnibus Law on Job Creation and its relation to the Sustainable Development Goals/ SDGs as an aspect of the protection of human rights as the responsibility of the state.  The research approach is a normative legal research using a hermeneutical circle analysis. The main object (material object) is the norms in UUCK and related statutes which have been amended, added, or substituted by the Law on Job Creation. The norms studied are stated in the articles of the Law on Job Creation, especially norms that deal with environment and sustainable development. Hermeneutical analysis, from the linguistic and phenomenological point of view,  isused in order to  find the meaning of law from the linguistic and historical point of view, and the nature of the State as the protector of citizens’ human right. The findings are divided into 3 points. First, in terms of the process, this law is a tactical and political response from decision makers to complex and dynamic situations that can in fact lead to complicated derivative problems if the responses are not based on a framework based on the principles and basic values of the state. Dealing with the growth agenda in SDGs, the Law on Job Creation still calls into question whether the Law enshrines the easiness of business and full employment and decent work as human rights obligations of the state, or merely as benefits of economic growth. So it still presents both opportunities for human rights monitoring and accountability.&#x0D;  &#x0D; Keywords: Omnibus Law, Job Creation, Sustainable Development Goals&#x0D;  &#x0D; Abstrak:Tulisan ini mencoba untuk memahami Omnibus Law Cipta Kerja dalam kaitannya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Goals/SDGs) sebagai suatu aspek dari perlindungan HAM yang merupakan tanggung jawab negara. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian ilmu hukum normatif menggunakan analisa lingkar hermeneutika. Obyek utamanya adalah norma dalam Undang-undang Cipta Kerja dan peraturan perundang-undangan terkait yang telah diubah, ditambahkan atau digantikan oleh undang-undang ini. Norma yang dikaji dimuat dalam pasal-pasal Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya aturan-aturan mengenai lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Analisa hermeneutika dari sudut pandang bahasa dan fenomologi, digunakan dengan maksud untuk menemukan makna hukum dari aspek linguistik dan sejarah, serta hakekat Negara sebagai pelindung HAM warga negaranya. Hasil temuan dalam kajian ini dibagi dalam tiga poin. Pertama, dalam hal proses, undang-undang ini merupakan respon penentu kebijakan yang bersifat taktis dan politis terhadap situasi yang kompleks dan dinamis yang pada kenyataannya justru membawa pada permasalahan derifativ yang kompleks jika  tindakan pemerintah tersebut tidak didasarkan pada kerangka kerja yang menjadi prinsip-prinsip dan nilai-nilai fundamental Negara. Mengacu pada agenda SDGs, Undang-Undang Cipta Kerja perlu untuk dikaji lebih dalam apakah aturan-aturan di dalamnya memperkuat kemudahan usaha dan kewajiban negara menjamin hak asasi pekerja secara penuh, atau hanya bermanfaat untuk pertumbuhan ekonomi. Hal ini masih memberikan kesempatan untuk pengawasan HAM dan akuntabilitas.&#x0D; Kata Kunci: Omnibus Law, Cipta Kerja, Sustainable Development Goals</jats:p

    SUMBER DAYA GENETIK SEBAGAI POTENSI KEKAYAAN INTELEKTUAL KOMUNAL

    No full text
    Mengantisipasi krisis energi yang diperkirakan cadangan energi fosil pada tahun 2050 akan habis, sumber daya domestik hendaknya dioptimalkan. Indonesia kaya akan sumber daya genetik atau keanekaragaman hayati. Namun demikian, hal ini menghadapi masalah praktik pembajakan hayati atau biopiracy dengan dipindahkannya sumber daya genetik oleh pihak asing melalui program penelitian dan eksploitasi.  Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hukum positif Indonesia yang mewadahi kekayaan komunal tersebut. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan pendekatan lingkar hermeneutika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia telah mewadahi pengaturan tentang sumber daya genetik dalam UUD 1945, ratifikasi beberapa konvensi internasional, dan hukum paten.  Hal yang masih harus dilakukan adalah konkretisasi akses terhadap sumber daya genetik dan pembagian yang adil demi kemakmuran rakyat, khususnya aturan teknis pelaksanaannya, serta optimalisasi teknologi informasi untuk pendataan sumber daya genetik Indonesia.
    corecore