71 research outputs found
Persamaan dan perbedaan unsur logam benda-benda perunggu Sumatera bagian utara dengan benda-benda perunggu Jawa Tengah
Kebudayaan India (Hindu-Buddha) masuk ke Nusantara membawa sejumlah perubahan dalam kebudayaan penghuni kepulauan tersebut. Salah satu unsur budaya yang terpengaruh adalah konsep-konsep religi yang berasal dari agama Hindu dan
Buddha. Unsur religi tersebut diwujudkan dalam bentuk-bentuk seperti bangunan sakral (candi), alat-alat upacara (arca, genta, khakhara dll), maupun pertulisan (prasasti dan naskah). Salah satu bahan pembentuk hasil budaya material itu adalah logam, yang salah satu jenisnya adalah perunggu. Ketika kebudayaan India masuk ke kawasan kepulauan, para penghuni Nusantara tidak serta-merta mengadopsi konsep pembuatan benda-benda perunggu dari India. Melalui analisis XRF (X Ray Fluorescence) terhadap benda-benda perunggu dari masa pengaruh kebudayaan India di Pulau Jawa dan
Sumatera bagian utara diketahui, bahwa tidak satupun artefak perunggu dari kedua pulau
itu yang unsur penyusunnya berpedoman pada kaidah dari India (utara maupun selatan)
yang dikenal sebagai astadhatu dan pancaloha. Penerapan pengaruh dari India terlihat
pada upaya pemenuhan konsep religi yang melatarbelakangi ujud dari objek perunggu
yang dibuat, khususnya yang berupa arca. Hal itu terlihat pada pemilihan jenis logam
tertentu sebagai unsur dominan penyusun arca perunggu. Hal lain yang berhasil
diungkap adalah sejumlah persamaan dan perbedaan unsur-unsur penyusun antara
artefak perunggu dari Sumatera bagian utara dibanding objek sejenis dari Pulau Jawa
Arkeologi di bagian barat laut provinsi Sumatera Barat
Catatan sejarah menunjukkan bahwa setidak-tidaknya pesisir barat Pulau Sumatera telah berkembang sejak abad ke-14, ketika Kerajaan Pagaruyung diperintah oleh Adityawarman. Seiring perjalanan waktu, kebudayaan di sana berkembang silihberganti, dari masa prasejarah ke masa Hindu/Buddha, kemudian masa pengaruh Islam, dan kelak masa pengaruh kolonial Belanda. Perkembangan kebudayaan itu juga bergulir pada masa pendudukan Jepang, dan dilanjutkan pada zaman kemerdekaan. Jelas bahwa panjangnya sejarah masa hunian di daerah pesisir barat Sumatera itu meninggalkan sisa-sisa kebudayaan yang masih ada sampai saat ini
PERANG KESULTANAN ARU MENGHADAPI KESULTANAN ACEH DI ABAD XVI M: [Aru Sultanate War Facing The Aceh Sultanate in The XVI M]
Aru Sultanate was a state in Sumatra Island cited by numerous local and international sources between 13th and 16th centuries CE. In the middle of 16th century CE, the sovereignty of Aru was threatened by Aceh Sultanate’s aggression to its neighbouring states in Sumatra. Aru Sultanate’s strategic moves to deal with that aggression is the subject matter of this article. The discussion of such strategies is aimed at revealing what options came to surface by the defensive side to counter the aggressor. Historical reviews of two main records of the Portuguese Tomé Pires and Ferna-O Mendes Pinto revealed the potential strength and strategies adopted by Aru Sultanate to repel Aceh Sultanate’s attack. The presence of the fort as a supporting defensive factor allows Aru Sultanate to deploy a defensive strategy in Aru War I. The defensive stance, however, turned into offensive one in Aru Wars II and III as a strong ally, Johor Sultanate came to assist. Despite more alliances were formed with more states, victory ultimately belonged to Aceh Sultanate.
Kesultanan Aru adalah salah satu negeri di Pulau Sumatera yang disebut oleh sumber-sumber tertulis lokal dan mancanegara sejak abad ke-13 – ke-16 M. Pada pertengahan abad ke-16 M, kedaulatan Kesultanan Aru terancam oleh agresi Kesultanan Aceh ke negeri-negeri tetangganya di Pulau Sumatera. Langkah-langkah strategis apa yang ditempuh oleh Kesultanan Aru dalam menghadapi agresi Kesultanan Aceh, merupakan permasalahan yang diulas dalam karya tulis ini. Pembahasan tentang strategi yang dipakai oleh Kesultanan Aru dalam menghadapi agresi Kesultanan Aceh bertujuan mengungkap pilihan strategi yang diterapkan oleh pihak yang bertahan dalam menghadapi agresi dari luar. Melalui kajian historis terhadap data utama berupa dua catatan bangsa Portugis yakni Tome Pires dan Ferna-O Mendes Pinto, diungkap potensi kekuatan dan strategi yang diterapkan oleh Kesultanan Aru dalam menghadapi serangan Kesultanan Aceh. Keberadaan benteng sebagai salah satu unsur kekuatan negara, membuat Kesultanan Aru memilih strategi yang defensif pada Perang Aru I. Strategi Kesultanan Aru berubah dari defensif menjadi ofensif -saat Perang Aru II dan Perang Aru III- setelah memperoleh sekutu yang kuat yakni Kesultanan Johor. Meskipun jalinan persekutuan telah dibentuk oleh Kesultanan Aru dengan sejumlah negeri, namun kejayaan akhirnya menjadi milik Kesultanan Aceh
Berita Penelitian Arkeologi No. 20: subfosil dan bangkai perahu di Pesisir Timur Sumatera Utara
Beberapa tempat di wilayah Provinsi Sumatera Utara mempunyai potensi yang berkaitan engan keberadaan data arkeologi. Hal tersebut merupakan bukti aktivitas manusia yang terjadi pada masa lampau. Keberadaan data arkeologi sendiri diketahui lewatbeberapa sumber. Selain melalui
dokumentasi penelitian terdahulu, dan survei, juga melalui
informasi/ temuan masyarakat. Partisipasi masyarakat
menunjukkan antusiasme terhadap keberadaan data arkeologi di lingkungannya. Data arkeologi temuan masyarakat yang ditindaklanjuti dengan peninjauan ar keologisdi Sumatera Utara, diantaranya adalah temuan subfosil di Sipare-pare, Air Putih, Kabupaten Asahan pada tanggal 23 Juni 1999;bangkai perahu di Desa Besar II Terjun, Kecamatan
Pantaicermin, Kabupaten Serdang Bedagai, pada awal bulan Februari 2003; bangkai perahu di Sungai Padang, Lingkungan II, Kelurahan Tanjungmarulak, Kecamatan Rambutan, Kota
Tebing Tinggi di awal bulan Mei 2006; dantemuan bangkai perahu di Desa Bogak, Kecamatan Tanjungtiram, Kabupaten Batubara, pada awal bulan Januari 200
Berita penelitian arkeologi: situs dan objek arkeologi di Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara
Penelitian arkeologis di wilayah Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara adalah pelaksanaan program kegiatan Balai Arkeologi Medan melalui dana Tahun Anggaran 2007. Kegiatan ini merupakan upaya pengenalan potensi sumberdaya arkeologi di sebagian wilayah Propinsi Sumatera Utara, dalam rangkaian studi untuk mengungkap berbagai aspek kehidupan masyarakat di daerah tersebut dari
masa ke masa. Hasil yang diharapkan adalah peta sebaran kepurbakalaan daerah tersebut yang kelak menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya, maupun kepentingan lain berkenaan dengan pemanfaatan aset budaya itu. Begitu pula dengan pemahaman mengenai aspek kehidupan masyarakatnya di masalalu, sebagai bagian masyarakat yang hidup di wilayah itu
Teknologi Dalam Arkeologi
Pada penerbitan kali ini kita berbicara tentang teknologi dalam kajian arkeologi.
Sejak masa prasejarah manusia menunjukkan kemampuan dalam
memanfaatkan bahan-bahan yang disediakan oleh alam. Awalnya segala
peralatan untuk menunjang kehidupan manusia dibuat dengan sederhana
sekedar memenuhi tujuan penggunaannya seperti kapak batu untuk berburu.
Teknologi manusia pada tingkat awal mengutamakan segi praktis, makin lama
makin meningkat sehingga bentuknya makin sempurna. Peralatan yang dibuat
juga semakin variatif untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Tidak hanya
senjata untuk berburu saja yang diciptakan, tetapi juga peralatan lain seperti
pakaian dari kulit kayu, anyam-anyaman, serta tembikar untuk memasak dan
menyimpan makanan. Ketika manusia sudah mengenal logam sebagai bahan,
maka berbagai peralatan juga diciptakannya untuk menunjang kehidupannya,
tidak hanya peralatan yang berfungsi praktis tetapi juga peralatan yang
berfungsi sakral. Berbagai peralatan untuk sarana upacara religi dan perhiasan
juga dibuat dengan bahan logam seperti perunggu dan emas
Varieties and Origins of Kampai Island Glass Beads
Manik-manik kaca yang ditemukan di berbagai situs arkeologi di Asia Selatan dan Asia Tenggara antara abad 1 dan 13 umumnya disebut sebagai manik-manik kaca Indo-Pasifik. Berbagai bentuk dan warna manik-manik kaca ditemukan di Pulau Kampai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Data yang dikumpulkan dari manik-manik kaca diperoleh dari penggalian arkeologi di Pulau Kampai. Dalam menganalisis varietas manik-manik kaca, penelitian ini mengkarakterisasi varietas manik-manik kaca Pulau Kampai berdasarkan tipologi dan frekuensi, yaitu manik-manik kaca polos dan manik-manik kaca berlekuk. Sejumlah manik-manik kaca ini dianalisis di laboratorium untuk mengidentifikasi komposisi bahan. Dalam menentukan asal produksi manik-manik kaca, penelitian ini menggunakan metode komparatif pada beberapa penelitian yang terpublikasi. Melalui perbandingan temuan limbah manik-manik kaca dari pusat produksi Arikamedu dan manik-manik kaca di Papanaidupet (India) dan Gudo (Indonesia), hasilnya diketahui bahwa Pulau Kampai adalah tempat produksi manik-manik kaca di wilayah Selat Malaka antara abad ke-11 hingga ke-14. Munculnya pulau Kampai sebagai tempat produksi manik-manik kaca pada abad ke-11 kemungkinan disebabkan oleh kondisi geopolitik. Tradisi pembuatan manik-manik kaca menyebar ke Pulau Kampai karena pengaruh Kerajaan Caka meningkat di wilayah Selat Malaka setelah ekspansinya ke beberapa tempat di wilayah tersebut.
The glass beads discovered in various archaeological sites in South Asia and Southeast Asia between the 1st and 13th centuries were generally referred to as Indo-Pacific glass beads. Various shapes and colors of glass beads are found on Kampai Island, Langkat Regency, Sumatera Utara. Collected data of glass beads were obtained from archaeological excavations in Kampai Island. In analyzing varieties of glass beads, this study characterizes the variety of Kampai Island glass beads based on their typology and frequency, i.e., drawn glass beads and wound glass beads. A number of these glass beads were analyzed in the laboratory to identify the composition of the ingredients. In determining the origin of glass beads production, this study used a comparative method on some published research. Through comparison of the findings of glass beads wastes from Arikamedu and glass beads production centers in Papanaidupet (India) and Gudo (Indonesia), the result finds that Kampai Island was a glass beads production site in the Malacca Strait region between 11th–14th centuries. The emergence of Kampai island as a glass beads production site in the 11th century was likely a result of geopolitical conditions. Glass bead making traditions spread to Kampai Island as Cōla Kingdom influences rose in Malacca Strait region after its expansion to several places in that region
Fauna Dalam Arkeologi
Balai Arkeologi medan adalah Unit Pelaksana Teknis di lingkungan
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan
. Balai Arkeologi Medan mempunyai tugas melaksanakan penelitian di bidang arkeologi
di wilayah kerjanya
yang meliputi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kepulauan Riau, Riau,
Sumatera Barat, dan Provinsi Sumatera Utara. Dalam melaksanakan tugas dimaksud, Balai Arkeologi
Medan menyelenggarakan fungsi: a. melakukan pengumpulan, perawatan, pengawetan, dan peny
ajian
benda yang bernilai budaya dan ilmiah yang berhubungan dengan penelitian arkeologi; b. Melakukan
urusan perpustakaan, dokumentasi, dan pengkajian ilmiah yang berhubungan dengan hasil penelitian
arkeologi; c. memperkenalkan dan menyebarluaskan hasil p
enelitian arkeologi; d. melakukan
bimbingan edukatif kultural kepada masyarakat tentang benda yang bernilai budaya dan ilmiah yang
berhubungan dengan arkeologi. Berkenaan dengan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa bidang
garapan Balai Arkeologi Medan a
dalah peninggalan budaya dan situsnya dengan tujuan sejarah dan
nilai sejarah budaya bangsa.Untuk mencapai itu maka metode/prosedur kerjanya dalam penelitian
adalah pengumpulan dan analisis data serta interpretasi sejarah. Adapun keluaran yang diharapkan
b
erupa proposisi sejarah budaya bangsa dan layanan informasi arkeologis yang diharapkan mampu
dipergunakan bagi berbagai kepentinga
- …
