16 research outputs found
Rice Market Integration in Indonesia: a Cointegration Analysis
IndonesianTulisan ini mencoba melihat integrasi pasar beras dengan menggunakan uji kointegrasi (cointegration test). Pendugaan kointegrasi pada bivariate sistem dilakukan dengan memperlakukan setiap peubah sebagai peubah endogenous dan exogenous secara bergantian (dua arah). Pada analisis ini digunakan model Engle dan Granger yang disebut Cointegrating Regression Durbin Watson (CRDW) dan Augmented Dickey Fuller (ADF). Selanjutnya analisis sebab-akibat Granger diterapkan pada pasar-pasar yang berkointegrasi untuk menentukan pasar sentral dan pasar regional. Hasil pengujian stationarity menunjukkan bahwa pada umumnya harga beras stationar pada order 1, sedangkan hasil uji kointegrasi memperlihatkan bahwa tidak semua pasar yang letaknya berdekatan berintegrasi satu sama lain. Dari 56 kombinasi hanya terdapat 26 kombinasi pasar yang berkointegrasi. Data harga beras yang digunakan adalah harga perdagangan besar dari tahun 1979-1995. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa kebijakan kontrol harga yang dilaksanakan oleh BULOG tidak dapat mencegah terjadinya segmentasi pasar.EnglishThis article analyzes integration of rice markets using co integration test. The co integration bivariate system were estimated in both directions. Cointegration analysis based on the Engle and Granger model, namely CRDW and ADF, is applied. Granger (cause) analysis applied to co integrated markets, to find central and regional markets. Test results show that most of rice prices are stationary of order 1. It is concluded that there seems to be long run relationships between markets which are relatively close to each other. Percentage of cointegrated market for rice is 46 percent out of 56 combinations. This high cointegration mainly due to marketing system of rice which is strongly controlled by the government. Hence rice price is subject to a controlled trade regime and floor/ceiling price. Rice prices is represented by monthly wholesale price. The periode covered in this study is 1979-1995. It was concluded that BULOG\u27s Policies in controlling rice market to avoid market segmented did not work as expected
Integrasi Gender dalam Penguatan Ekonomi Masyarakat Pesisir
To implement gender mainstreaming activity in relation to regional development,mainly for coastal development, a study on gender mainstreaming had been carried intwo districts, namely Buton in Southeast Sulawesi and Cirebon in West Java out fromJune to December 2003. Data and information were collected using Focused GroupDiscussion approach as well as village level profiles and monograph. Gender analysisusing Harvard Framework was implemented, covering profiles of participation, access,control and influencing factors. The study results showed that in Buton, labor divisionbetween man and woman in sea weed farming was relatively balanced. Participation rateof the household members, both in domestic, public and social sector in both studiedlocations was relatively similar. The role of Women Empowerment Division of TheAgency for Society Empowerment (ASE) in Cirebon has not been optimal and stilllearning to find out suitable activities to meet its mandates. In Buton District, there was acoordination problem in implementing gender mainstreaming program, because therewere two institutions both claimed responsible in implementing gender mainstreamingprogram. One important thing that has never been conducted in the two districts was tocreate collaboration among institutions responsible for the gender mainstreamingimplementation. In the future, The District Level Marine and Fishery Service Officeshould work in collaboration with the ASE and they have to discuss how to incorporategender aspects in coastal development including in Economic Empowerment for CoastalCommunity
Gender Mainstreaming in Research and Development Within the Iaard
Bank Dunia mendeteksi rendahnya tingkat adopsi teknologi di lingkup BadanPenelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal ini menyebabkan digunakannya pendekatanpartisipatif; masyarakat memerlukan teknologi dan hendaknya pemerintah memperhatikanlebih baik aspek-aspek sosial dari para pengguna teknologi. Pembentukan tim inti SocioeconomicAnd Gender Analysis (SAGA) merupakan permulaan program sosialisasi daninstitusionalisasi tentang SAGA di lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Pertaniandan tujuan utama program ini untuk mewujudkan kapasitas pemahaman tentang SAGA bagipara pengkaji.Data dikumpulkan dari delapan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)dengan menggunakan pedoman wawancara baik terstruktur maupun semi-terstruktur dandengan diskusi kelompok. Semua responden merupakan alumni lokakarya SAGAsebelumnya. Pelatihan berjenjang diselenggarakan dari tahun 2000 β 2002, yang dimulaidengan pelatihan bagi pelatih utama, pelatih dan staff. Jumlah alumni pelatih utama, pelatihdan staf masing-masing adalah 18, 124 dan 416 orang.Dari segi jumlah tampak sangat menjanjikan, tetapi bukan dari segi kualitas.Pelatihan secara berjenjang belum memberikan hasil seperti diharapkan. Masing-masingalumni diharapkan sebagai focal point SAGA dan mampu mewujudkan jaringan kerja dimasing-masing wilayah. Penyebab utamanya adalah tidak semua alumni mampumenyebarluaskan pendekatan SAGA di masing-masing unit kerja. Kurang optimalnyakinerja alumni pelatih utama menyebabkan sulitnya mengupayakan adanya terbentuknyajejaring SAGA tingkat regional. Hal ini dapat ditunjukkan oleh tingginya tingkatketergantungan pelatih utama pada tim inti SAGA. Hal ini juga mempengaruhi kualitasalumni dari pelatihan untuk pelatih dan pelatihan untuk staff. Demikian pula kurangnyapemahaman fasilitator terhadap materi SAGA menyebabkan juga kurangnya pemahamanpeserta pelatihan. Berbagai hasil Monev menunjukkan pelembagaan SAGA di lingkupBadan Penelitian dan Pengembangan Pertanian tidak seperti yang diharapkan sebelumnya.Hal ini tercermin dari rendahnya nilai Monev dari BPTP yang di Monev
Analisis Dampak Pengkajian Teknologi Pertanian Unggulan Spesifik Lokasi Terhadap Produktivitas Kasus: Bptp Nusa Tenggara Timur
Impact Analysis of Improved and Location Specific Agricultural Technologieson Productivity, AIAT East Nusa Tenggara Case. By selecting six topics ofimproved research and assessments (R&A), impact analysis on productivity hadbeen carried out in 2002 fiscal year. However, only four out of six topics wereanalyzed, because the other two were still in adaptive level. Application of introducedtechnologies, in fact, resulted in some additional yield. The highest production andproductivity were experienced by R&A of Backyard Farming System, i.e. 569.63percent, then followed by Milk Fish Culture, Bisma Corn Based Agribusiness, BeefCattle Based Agribusiness 482.10 percent, 284.76 percent and 45.0 percent,respectively. Corn Agribusiness gave the largest impact area of 1,365 ha, while itsimpact on production was also excellent, by adding production of 2,319,308.33kg/planting season. Milkfish culture, on the other hand gave the highest income/haper production cycle. Based on relatively high MBCRs, all analyzed topics werefeasible to be developed in the future. Milkfish culture on brackish water was themost profitable business, reflected by the highest MBCR of 14,08. MBCR figures forBackyard Farming, Beef Cattle Agribusiness and Bisma Corn Agribusiness were1.38, 6.24 and 8.61, respectively. Cost and price ratio of each topics were 0.47; 0.21;0.22 and 0.33 for Backyard Farming System, Bisma Corn Agribusiness, Milk FishCulture and Beef Cattle Agribusiness, respectively. The smallest adoption cost perKg product was indicated by Backyard Farming System (Rp 935.85), followed byBisma Corn Agribusiness (Rp 1,028.30) and Milk Fish Culture (Rp 2181.32), whilethe highest was for Beef Cattle Agribusiness (Rp 9,770.03)
Analisis Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM): Kasus Pengembangan Usaha Ternak Sapi Di Provinsi Sulawesi Selatan
Tulisan ini merupakan hasil identifikasi kinerja kelompok peternak penerima program Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM) di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Barru, Bantaeng, Sinjai. Beberapa kelompok cukup mempunyai prospek untuk berkembang, sedangkan kelompok lainnya tampak sulit berkembang. Distribusi BPLM dengan jangkauan yang cukup luas, disambut dengan antusias oleh semua pihak. Secara umum, aspek teknis budidaya pemeliharaan sapi sudah dikuasai dengan baik oleh anggota kelompok. Perkembangan suatu kelompok erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia (SDM). Terdapat kecenderungan bahwa anggota yang lebih maju dan inovatif memperoleh manfaat yang lebih besar dari program BPLM tsb. Hal ini disebabkan oleh kualitas SDM mereka yang relatif lebih baik dibanding dengan anggota lainnya, sehingga mereka umumnya mempunyai prakarsa yang lebih baik. Terdapat variasi dalam pelaksanaan BPLM di tingkat daerah, sebagai dampak positif dari otonomi daerah. Namun demikian diperlukan monitoring dan evaluasi terus menerus agar tujuan program tercapai. Meskipun hampir semua kelompok menyatakan bahwa modal sebagai kendala utama, tetapi beberapa kelompok justru menyimpan dana kelompok di bank. Aplikasi berbagai teknologi, perlu mendapat prioritas dari pelaksana BPLM, agar nilai tambah USAha ternak sapi meningkat. Konsekuensinya adalah adanya program pelatihan kader lokal melalui kegiatan yang bersifat learning by doing. Program BPLM semestinya memiliki tim fasilitator sendiri yang mampu melatih pelaksana BPLM di daerah dalam penguatan kelompok. Aspek ini merupakan aspek terlemah yang ditemukan dalam program BPLM. Ditemukan perbedaan pengertian tentang sistem pengembalian antara kelompok dengan Dinas Peternakan, sehingga sebelum distribusi bantuan dimulai, penyiapan kelompok perlu lebih matang, sekaligus mengakomodasi kebutuhan kelompok melalui dialog yang partisipatif. Pola seleksi kelompok secara transparan perlu dikembangkan agar kelompok yang terpilih betul-betul kelompok yang siap melaksanakan program BPLM. Perlu ditambahkan bahwa program BPLM tidak hanya sekedar memberi bantuan kepada masyarakat, tetapi termasuk manajemen tindak lanjutnya
Pemanfaatan Teknologi Pascapanen untuk Pengembangan Agroindustri Perdesaan di Indonesia
EnglishPostharvest handling application is one of the ways to increase agricultural commodity's added value. In addition, it also can reduce agricultural yield loss. Technology application is started with dissemination and socialization activity and then followed by technology adoption. The process of dissemination and adoption of the introduced technologies is a crucial part of the efforts to apply technology at the end user's level. Various influencing factors on the process of dissemination and adoption are associated with the technology, dissemination process, and technology beneficiaries. This paper describes an analysis of post-harvest technology transfer process mainly for food crops and estate crops, and community development in various regions of Indonesia. A concept of zero waste development policy is enhanced in the process of disseminating postharvest technology toward development of rural agro-industry. With that action, it is expected that farmers' income and agricultural commodity competitiveness could be improved.IndonesianPenerapan teknologi pascapanen merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian. Selain itu, aplikasi teknologi pascapanen juga dapat menekan kehilangan hasil panen. Penerapan teknologi diawali dengan diseminasi teknologi, selanjutnya terjadi adopsi teknologi. Proses diseminasi dan adopsi teknologi ini merupakan bagian penting dalam pemanfaatan teknologi bagi pengguna. Berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses diseminasi dan adopsi teknologi terkait dengan teknologi, proses diseminasi, dan penerima manfaat teknologi tersebut. Tulisan ini mendeskripsikan proses alih teknologi pascapanen produk tanaman pangan dan tanaman perkebunan serta pemberdayaan masyarakat pengguna teknologi pascapanen di berbagai daerah di Indonesia. Dalam proses mendiseminasikan teknologi pascapanen menuju pengembangan agroindustri di perdesaan dikembangkan konsep kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani dan daya saing komoditas pertanian
Masa Depan Pertanian Perdesaan Di Bali Dalam Perspektif Perencanaan Pembangunan Daerah
Tulisan ini menjelaskan bahwa sektor pertanian tradisional di Bali berada pada simpang jalan; di satu sisi masih dianggap sebagai bagian esensial tubuh kehidupan masyarakat Bali, namun di sisi lain ada indikasi dinilai (oleh perancang kebijakan pembangunan) tidak responsif terhadap investasi yang bersumber dari anggaran pembangunan daerah (APBD). Hingga saat ini sebagian besar kemajuan pertanian di Bali lebih banyak disebabkan oleh peran pelaku USAha setempat, dan sedikit sekali dilatar-belakangi oleh keberpihakkan penganggaran pemerintah daerah yang bersumber dari APBD. Dengan visi pemikiran progresif, pertanian tradisional di Bali masih dapat dijadikan tulang punggung peningkatan daya saing dan stabilitas tatanan ekonomi masyarakat Bali secara inklusif. Berkaitan dengan hal itu, strategi perencanaan pembangunan daerah di Bali perlu difokuskan pada percepatan transformasi ke arah industrialisasi pertanian di perdesaan, dengan mengakomodasi kekuatan sektor pariwisata. Slogan keberpihakkan (kebijakan) politik untuk kemajuan pertanian di perdesaan perlu ditransmisikan dalam bentuk penetapan sistem perencanaan pembangunan daerah untuk kemajuan (industrialisasi pertanian) dalam perspektif jangka panjang (15-20 tahun) dan menengah (5-10 tahun). Perencanaan pembangunan daerah di Bali harus dilandaskan pada pembahasan ulang secara intensif yang melibatkan berbagai kalangan yang memiliki integritas, kompetensi dan visi kemajuan pertanian industrial di perdesaan yang lebih meyakinkan
Inkorporasi Perspektif Gender dalam Pengembangan Rekayasa Alat dan Mesin Pertanian
Incorporation of Gender Perspective in Agricultural Machinery Engineering. Development isbasically gender neutral. However, gender bias often occurs in the developmentimplementation and it leads to gender inequity and gender inequality. This implies that onlyone gender side (mostly men) accesses and takes a part in the various development programs,including agricultural development. In addition, they also control and benefit its output andoutcomes. In this reform era, agricultural sector still plays an important role in the Indonesia\u27seconomy. Agribusiness and smallholders would be successful if all discrimination forms foragribusiness agent\u27s empowerment is eradicated and market mechanism fairness could beserved. Due to cultural bias existence, roles of women in economic aspects are often takenfor granted. Therefore, dissemination of Republic Indonesia\u27s Act No 7/1984 especially inthe articles 11 and 14 to all stakeholders responsible for agricultural developmentimplementation in various sectors at rural areas is required so that that woman would benefitfrom labor saving technology skill. Social and institutional constraints should be overcome, inorder that woman farmers needs skill on operating and repairing simple agriculturalmachineries to lighten they daily drudgery