5 research outputs found
Sugarcane Production Efficiency: A Case Study on PTPN X Partner Farmers
The low production and productivity of sugarcane is a problem for the sugar industry in Indonesia, while the demand for sugar increases yearly. One of the efforts to increase sugarcane productivity is improving the efficiency of sugarcane farming. Appropriate farming efficiency and identification of inefficient resources can increase farming productivity. PTPN X, as a company engaged in the sugarcane plantation and sugar industry, obtains most raw materials from partner farmers. This study aimed 1) to determine the technical, allocative, and economic efficiency of sugarcane farming and 2) to analyze the managerial characteristics of farmers that affect the technical inefficiency of sugarcane farming. This study uses the stochastic frontier Cobb-Douglas production function approach and the dual frontier cost function. The results show that the average level of sugarcane farming's technical, allocative, and economic efficiency are 0.762; 1.315; and 0.976, respectively. The average level shows that sugarcane farming has been technical, allocative, and economically efficient. Farmers' managerial characteristic that affects technical inefficiency is the farmer's education level. The study suggests reducing the effect of inefficiency by taking higher education. Farmers with a low technical efficiency value can adopt the use of inputs by farmers with a higher value.
Keywords: technical efficiency, allocative, economic, sugarcan
Analisis Fiqh Siyasah Dusturiyah Mahkamah Konstitusi sebagai negatif legislator dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia
Skripsiinimerupakanhasilpenelitiandenganjudul āAnalisis Fiqh SiyÄsah DustÅ«riyah Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagai Negatif Legislator Dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesiaā Skripsi ini di tulis untuk menjawab pertanyaan yang dituangkan dalam dua rumusan masalah yaitu: Mengapa Mahkamah Konstitusi sebagai Negatif Legislator dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia? Bagaimana analisis Fiqh SiyÄsah DustÅ«riyah Mahkamah Konstitusi sebagai Negatif Legislator dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia? Skripsi ini merupakan penelitian pustaka (library research) atau hukum normatif yang meneliti sumber-sumber pustaka yang pandang relevan dengan menggunakan sumber data berupa buku-buku, jurnal, artikel, dan hukum-hukum lainnya. Selanjutnya data yang berhasil dikumpulkan dianalisis oleh penulis dengan menggunakan teori Fiqh SiyÄsah yakni SiyÄsah DustÅ«riyah Al-Qadhaāiyyah untuk ditarik sebuah kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator fungsi utamanya yaitu mengadili undang-undang yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi juga tidak boleh terlibat atau dilibatkan dalam pembentukan undang-undang hal ini penting dikarenakan proses pembentukan undang-undang adalah proses politik. Sebagai negative legislator produk politik inilah yang nantinya akan dinilai oleh Mahkamah Konstitusi melalui pelaksanaan judicial review apakah bertentangan dengan konstitusi ataukah tidak, baik proses pembentukannya maupun substansi atau materi muatannya. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi dalam memutus putusannya yang bersifat final dan mengikat harus berdasarkan pertimbangan hukum in casu pertimbangan yang di dasarkan atas penafsirannya terhadap konstitusi. Sejalan dengan penelitian di atas, maka lembaga Mahkamah Konstitusi, masyarakat dan pembentuk UU dari pembahasan Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, mahkamah konstitusi harus memuat pernyataan dalam putusan untuk memastikan pembentuk UU mendapatkan kejelasan dalam melaksanakan putusan dan terhindar dari dalih serta pemaknaan berbeda. Serta untuk mewujudkan relasi kooperatif, Mahkamah Konstitusi sebagai penguji UU maupun DPR dan presiden selaku pembentuk UU harus menyadari hakikat, makna, dan tujuan keberadaannya dalam sistem kenegaraan Indonesia, yakni sama-sama berkewajiban menegakkan UUD 1945 guna mencapai visi dan tujuan nasional
Analisis Pengendalian Persediaan Kedelai, Minyak Goreng, dan Kemasan Menggunakan Metode Material Requirements Planning (MRP) (Studi Kasus Pada UKM Karya Perdana Jombang
Sektor perindustrian merupakan sektor yang cukup diandalkan dalam perekonomian Indonesia, terutama yang berasal dari sektor industri pengolahan hasil pertanian. Komoditas kedelai merupakan salah satu hasil pertanian yang masih banyak dimanfaatkan, seperti pada pembuatan tahu. Berdasarkan survei sosial ekonomi nasional 2009-2013 mengenai konsumsi rata-rata per kapita setahun tahu, terdapat kecenderungan peningkatan, sehingga mendorong produsen tahu untuk meningkatkan jumlah produksi. UKM Karya Perdana merupakan UKM penghasil tahu mentah dan tahu goreng, dimana dalam proses produksi dibutuhkan bahan berupa kedelai, minyak goreng dan kemasan yang ketersediaan nya harus dijaga agar tidak mengganggu proses produksi. Namun, dalam perkembangannya terdapat permasalahan, yakni sistem pengendalian persediaan bahan yang tidak terstruktur. Tujuan penelitian ini adalah menganilisis sistem pengendalian persediaan kedelai, minyak goreng, dan kemasan yang optimal dan menentukan alternatif teknik pengendalian persediaan bahan yang dapat diterapkan pada UKM Karya Perdana. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah material requirements planning (MRP) yang bertujuan untuk mengidentifikasi kapan dan berapa banyak bahan yang harus dipesan. Penentuan ukuran lot (lot sizing) menggunakan teknik lot sizing Economic Order Quantity (EOQ), Lot For Lot (LFL), dan Part Period Balancing (PPB). Pemilihan teknik lot sizing dilakukan dengan membandingkan ketiga teknik tersebut. Teknik yang dipilih yakni teknik yang menghasilkan biaya persediaan terkecil. Hasil pengeplotan data menunjukkan metode peramalan yang bisa digunakan yakni ARIMA dan Winter. Perhitungan teknik lot sizing menyatakan bahwa total biaya persediaan menggunakan LFL untuk kedelai sebesar Rp. 45.711.238, minyak goreng sebesar Rp. 6.144.926, dan kemasan sebesar Rp. 3.210.334; total biaya persediaan menggunakan EOQ untuk kedelai sebesar Rp. 55.882.465, minyak goreng sebesar Rp. 5.712.065, dan kemasan sebesar Rp. 2.589.247; dan total biaya persediaan menggunakan PPB untuk kedelai sebesar Rp. 43.904.091, minyak goreng sebesar Rp. 4.656.186, dan kemasan sebesar Rp. 2.120.355. Berdasarkan nilai error terkecil, metode peramalan yang dipilih yakni Winter Exponential Smoothing karena memiliki nilai error berupa MAPE, MAD, dan MSD terkecil; apabila berdasarkan kriteria biaya persediaan terkecil, teknik lot sizing yang dipilih yakni PPB karena menghasilkan total biaya persediaan terkecil
Studi Etnobotani dan Pemanfaatan Jenis-Jenis Bambu oleh Masyarakat di Desa Pandansari, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.
Indonesia merupakan negara yang memiliki bambu lebih dari 100 spesies. Bambu berpotensi sangat besar untuk digunakan sebagai bahan makanan, kerajinan tangan, untuk membuat alat musik, dan untuk membuat peralatan dapur. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui jenis-jenis tanaman bambu di Desa Pandansari, Kecamatan Poncokusumo dan mengetahui pemanfaatan bambu bagi masyarakat Desa Pandansari, Kecamatan Poncokusumo. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan etnobotani dengan melalui survey identifikasi jenis-jenis bamboo dan wawancara semi terstruktur. Survey identifikasi jenis jenis bamboo dilakukan di wilayah Desa Pandansari. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik snowball sampling. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif disajikan dalam bentuk deskripsi, sedangkan data kuantitatif dianalisis berdasarkan indeks botani menggunakan rumus Relative Frequency of Citation (RFC) dan Relative Important Indeks (RI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Desa Pandansari memiliki 8 jenis bambu antara lain Bambu Apus (Gigantochloa apus), Bambu Jabal (Schizostachyum brachycladum), Bambu Rampal (Schizostachyum zollingeri), Bambu Jajang (Giganthocloa nigrocillata), Bambu Petung (Dendrocalamus asper), Bambu Ampel (Bambusa vulgaris), Bambu Ori (Bambusa blumeana), dan Bambu Kuning (Bambusa vulgaris var. Striata). Manfaat masing - masing bambu tersebut sangat beragam antara lain untuk kegiatan spiritual, bahan makanan, perabotan rumah tangga, dan bahan bangunan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa RFC dari 8 spesies bambu hampir sama yaitu sebesar 1 kecuali pada bambu kuning nilai RFC-nya sebesar 0,09. Nilai RI tertinggi yaitu bambu apus sebesar 1,18, sedangkan yang terendah yaitu bambu kuning sebesar 0,56
Farmerās willingness to accept the sustainable zoning-based organic farming development plan: A lesson from Sleman District, Indonesia
Zoning-based organic farming has become increasingly attractive in Indonesia for producing healthy food, improving the quality of land and the environment, and increasing the welfare of farmers. The problem is that organic farming areas should be certified by a legal agency called the National Standardization Agency and the cost should be paid by farmers in those areas. Zoning allows the farmers to jointly manage farming areas, including payment of certification costs. However, the success of zoning-based organic farming implementation depends on farmersā acceptability. This study aims to analyse perceptions and knowledge regarding zoning-based organic farming plans, measure the level of farmersā willingness to accept (WTA) zoning-based organic farming plans and determine the effect of economic, ecological, and social support factors, as well as other factors towards WTA the zoning-based organic farming system. This study found that the majority of farmers perceive zoning-based organic farming as economically viable and ecologically and socially supported compared to conventional farming since most of the farmers have good knowledge regarding the importance of zoning. Although the farmers have long been experiencing conventional farming, the number of WTA farmers in zoning-based organic farming is very high. The study confirmed that the ecological aspect is the most influential in accepting zoning-based organic farming. Economic factors have a very strong influence on increasing farmersā WTA zoning-based organic farming. This study also suggests that the implementation of zoning-based organic farming needs to be sustainably supported by the community