11 research outputs found
METODE TRANSFER PENGETAHUAN PADA PERUSAHAAN KELUARGA DI INDONESIA
This study aims to explore the intergenerational knowledge transfer mechanism in family frms. Using the case study method, this qualitative research examines 14 family frms. Data were obtained through semi-structured inter views with participants, and then analyzed by using content analysis. Visual mapping and temporal bracketing techniques were also used for data analysis. Data source triangulation and member checking methods were utilized to test the validity and reliability of the data. The fndings show that interpersonal relationship between the predecessor (parents) and the successor (children) is needed in the knowledge transfer process. The physical presence of the predecessor and the direct involvement of the successor in the business are two important elements in the knowledge transfer process, wherein the successor obtains information from inside and outside the frm. The intergenerational knowledge transfer process allows the successor to get real experiences and to run their own experiments. Learning-by-doing is a knowledge transfer method that is commonly used in family firms.Keywords: family business company, predecessor, successor, transfer knowledge
Transfer pengetahuan terencana dan tidak terencana pada proses regenerasi perusahaan keluarga di Indonesia
Penelitian ini bertujuan menggali transfer pengetahuan yang terencana dan tidak terencana pada perusahaan keluarga. Penelitian ini merupakan bersifat kualitatif dengan multiple-case study. Ukuran sampel berjumlah 14 perusahaan keluarga yang terdiri dari 23 partisipan. Data digali dengan wawancara mendalam dengan pertanyaan semi terstruktur. Analisa data menggunakan metode content analysis dan kemudian diolah menggunakan metode peta visual dan temporal bracketing. Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber dan member checking sebagai validitas dan reliabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa elemen yang mempengaruhi proses transfer pengetahuan terencana atau tidak adalah: 1) Kesadaran pendahulu untuk melakukan transfer pengetahuan kepada penerus, 2) Adanya inisiator untuk melakukan proses transfer pengetahuan. 3) Orientasi pendahulu, apakah pendahulu memiliki orientasi jangka panjang ataukah pendek, dan 4) ekspektasi pendahulu kepada penerus, apakah pendahulu memiliki ekspektasi bahwa penerus akan melanjutkan usahanya. Transfer pengetahuan yang direncanakan akan berjalan secara sistematis, sedangkan yang tidak terencana akan berjalan mengalir. Dimulainya transfer pengetahuan bisa diinisiasi oleh pendahulu maupun penerus. Pada perusahaan yang merencanakan proses transfer pengetahuan, inisiasi dilakukan oleh pendahulu. Pada perusahaan yang tidak melakukan proses transfer pengetahuan, inisiasi dimulainya proses tersebut cenderung dilakukan atas desakan kebutuhan melakukan proses regenerasi
Transfer pengetahuan terencana dan tidak terencana pada proses regenerasi perusahaan keluarga di Indonesia
Penelitian ini bertujuan menggali transfer pengetahuan yang terencana dan tidak terencana pada perusahaan keluarga. Penelitian ini merupakan bersifat kualitatif dengan multiple-case study. Ukuran sampel berjumlah 14 perusahaan keluarga yang terdiri dari 23 partisipan. Data digali dengan wawancara mendalam dengan pertanyaan semi terstruktur. Analisa data menggunakan metode content analysis dan kemudian diolah menggunakan metode peta visual dan temporal bracketing. Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber dan member checking sebagai validitas dan reliabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa elemen yang mempengaruhi proses transfer pengetahuan terencana atau tidak adalah: 1) Kesadaran pendahulu untuk melakukan transfer pengetahuan kepada penerus, 2) Adanya inisiator untuk melakukan proses transfer pengetahuan. 3) Orientasi pendahulu, apakah pendahulu memiliki orientasi jangka panjang ataukah pendek, dan 4) ekspektasi pendahulu kepada penerus, apakah pendahulu memiliki ekspektasi bahwa penerus akan melanjutkan usahanya. Transfer pengetahuan yang direncanakan akan berjalan secara sistematis, sedangkan yang tidak terencana akan berjalan mengalir. Dimulainya transfer pengetahuan bisa diinisiasi oleh pendahulu maupun penerus. Pada perusahaan yang merencanakan proses transfer pengetahuan, inisiasi dilakukan oleh pendahulu. Pada perusahaan yang tidak melakukan proses transfer pengetahuan, inisiasi dimulainya proses tersebut cenderung dilakukan atas desakan kebutuhan melakukan proses regenerasi
INNOVATION CHALLENGES OF VILLAGE-OWNED ENTERPRISES
The research intended to explore the innovation challenge of village-owned enterprises. The challenge focus on managerial and innovation capabilities of village owned enterprises. This study uses a Community-Based Research (CBR). This approach is used to find out how far from the community at the micro, mezzo, and macro level that can help the village as a whole. To collect the data, this research used observation, personal in-depth interview, and focus group discussion. The village-owned enterprises need innovation for their sustainability. This research found 3 major challenges for the village-owned enterprises innovation. The challenges are a) Lack of Knowledge and skills, b) Financial and infrastructure limitation, c) Social – professional conflict. Human factor is the main challenge that needs to be solved by village-owned enterprises. The village-owned enterprises should overcome these challenges hence they can be spared from Innovation myopia. This research conducted in the village-owned enterprises which dominated by Javanese culture. This research also conducted in the service sector. In the future, exploring innovation challenge in the village-owned enterprise which has different culture would be interesting. The future research also can explore innovation challenge in the manufacturer village-owned enterprises. This paper shows the innovation challenge in village-owned enterprises which has unique characteristic.Keywords: Badan Usaha Milik Desa, Bumdes, innovation challenges, sustainability, village-owned enterprise
The Artpreneurship: Innovate to Overcome the Challenge
This community engagement program aimed to improve the innovation of artpreneurs, a combination of artistic qualities with business sense in cultural sectors, overcoming the impact of the disruptive moment, such as the COVID-19 pandemic. This program used the Asset-Based Community Development method to explore the needs of the community. The exploration process used an appreciative inquiry approach to determine strengths, opportunities, aspirations, and results based on the inquiry from the community. This program was conducted in Ngestiharjo Village, Yogyakarta, Indonesia, as a part of the community service learning program Wiradesa conducted by the students and organized by Universitas Atma Jaya Yogyakarta. The participants were five artpreneurs who were members of the Ngestiharjo art community and own small and medium-sized enterprises. This community engagement program successfully defined the potential resources of the Ngestiharjo artpreneurs. The potential resources are intangible (network, cohesion, experiences, creativity, and quality) and tangible (venue and digital equipment) assets. These potential assets become an important element in developing a program using the Theory of Change (ToC). The results of this community engagement program are expressed in the ToC scheme which could be a guide for the members of the Ngestiharjo art community to improve their capacity to achieve their goals. Despite its limitations, this method of community development is replicable for communities with similar situations, striving toward innovations in maximizing arts and culture
Green Innovation Adoption in Indonesian SMEs
Purpose – The research intended to explore the underlyig factors of Green innovation adoption on Indonesian SMEs.
Design/methodology/approach –This study used qualitative approach with multiple case studies. In-depth interview conducted to 10 SMEs owner who are already implementing green innovation. Triangulation technique and member checking use in this research to ensure validity. The data were analyzed using content analysis method.
Findings – This research identified the underlying factors of green innovation adoption decision. The factors are: 1) Religious Values, 2) Personnal interest of the company’s owner, 3) Family tradition, 4) Self – awareness (environment sustainability and healthy living), 5) Market, 6) Regulation
Research Limitation / implication – This research explore the underlying factors of green innovation in SMEs without considering to what degree green innovation has been implemented in the participants company. In the future, the research can specify the exploration
of the green innovation in the SMEs based on the four categories: green managerial innovation, green product innovation, green process innovation, and green technological innovation. The future research also can use quantitative method to define the most significant factor which influence the green innovation decision.
Originality/value – This paper shows the underlying factors that encourage SMEs in Indonesia
adopted green innovation
Innovation Challenges of Village-owned Enterprises
This research is dedicated to improve the innovation capabilities of village-owned
enterprises. Innovation is critical for the sustainable success of Village-owned enterprises.
Companies, including Village-owned enterprises, need competitive advantage to survive in
the long term, and innovation is one of the key drivers of sustainable competitive advantage.
This research in line with Universitas Atma Jaya Yogyakarta research focuses on adaptive to
global needs.Krisnadewar
Pendampingan pengembangan unit usaha untuk kemandirian lembaga
Kemandirian lembaga, terutama dalam hal kemandirian finansial merupakan faktor penting dalam hal keberlangsungan hidup lembaga. Lembaga non profit, dalam hal ini Yayasan SATUNAMA membutuhkan adanya suatu unit usaha sebagai income center yang bisa mendukung secara finansial. Keberadaan unit usaha ini selain berkaitan dengan keberlangsungan hidup lembaga, namun juga terkait dengan kemandirian dan independensi lembaga.
Suatu lembaga yang biasa bergerak dalam sektor non profit perlu menyusun rencana matang dalam membentuk unit usaha ini. Tantangan yang muncul adalah perbedaan cara
pengelolaan unit usaha ini dengan unit – unit lain yang bersifat non profit. Permasalahan yang harus dibenahi dalam pengelolaan ini terfokus pada pembenahan sumber daya manusia dan pemaksimalan penggunaan aset lembaga yang dimiliki.
Perencanaan unit usaha ini memerlukan suatu metode yang memudahkan lembaga untuk merencanakan unit usahanya. Pendampingan yang dilakukan oleh tim dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta berfokus pada tahap ini. Perencanaan yang dilakukan adalah dengan menyusun kanvas bisnis (Osterwalder dan Pigneur, 2010) dan perencanaan Bisnis. Metode kanvas bisnis berdasarkan pada bisnis model yang akan dipilih oleh unit usaha. Metode ini memetakan model
bisnis dalam sembilan komponen, yaitu: Costumer Segment, Value proposition, Channel, Customer Relationship, Revenue Stream, Key Resources, Key Activities, Key Partnership, dan Cost Structure. Seluruh komponen tersebut akan memudahkan dalam membentuk sebuah usaha
dikarenakan metode tersebut memetakan mulai dari sisi konsumen, finansial, operasional, dan mengidentifikasi semua stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan usaha.
Yayasan SATUNAMA memiliki sumber daya aset yang bisa dikelola menjadi suatu unit usaha dan juga memiliki sumber daya manusia yang bisa dikaryakan dalam unit usaha tersebut.
Sumber daya manusia menjadi kunci dari pelaksanaan unit usaha, namun tantangan terbesar juga muncul dari sumber daya ini. Tantangan tersebut berupa skill yang masih harus diperbaiki, perubahan cara bekerja, dan juga peningkatan kualitas layanan. Tantangan terbesar adalah
resistensi terhadap perubahan, dimana karyawan merasa enggan untuk mendapat beban tambahan untuk meningkatkan kemampuannya. Tantangan finansial juga menjadi salah satu
faktor yang harus dipikirkan. Secara finansial, unit usaha ini memiliki beban yang besar terutama
dalam segi pembiayaan sehingga harus mampu meningkatkan okupansi dari wisma dan menciptakan training yang inovatif untuk mendatangkan pemasukan bagi lembaga