13 research outputs found

    VISUALISASI MASKULINITAS PADA DUA ARCA RAKSASA DARI CANDI TAPAN, KABUPATEN BLITAR, PROVINSI JAWA TIMUR

    Get PDF
    This study discussed the archaeological remains, Two Raksasa Statues of Candi Tapan from a gender perspective, especially the masculinity concept. Two Raksasa Statues of Candi Tapan is giant shapes with hair carvings on the head, face and body. The presence of hair, especially on the face and body, is an element of the statue that is rarely found and that is important to discuss. The method used is the archaeological method, consisting of stages of description, iconographic analysis, and interpretation with masculinity theory. The results show that the depiction of hair in ancient civilizations has a function as an indication of the masculinity concept from people from that period. The visualization of masculinity through the carving of facial and body hair in the Two Raksasa Statues of Candi Tapan related to the concept of masculinity and fertility, as well as the function of the giant statue as a guardian and danger repellent of sacred buildings.     Kajian ini menelaah tinggalan Arkeologi berupa Dua Arca Raksasa dari Candi Tapan dari perspektif gender khususnya maskulinitas. Dua Arca Raksasa dari Candi Tapan digambarkan dalam bentuk raksasa yang dilengkapi dengan pahatan rambut pada bagian kepala, wajah, serta tubuh. Keberadaam rambut, khususnya pada bagian wajah dan tubuh merupakan unsur arca yang jarang ditemui dan penting untuk dibahas. Metode yang digunakan adalah metode arkeologi, terdiri dari tahapan deskripsi, analisis ikonografi, dan interpretasi dengan teori maskulinitas yang berkaitan erat dengan teori gender. Hasilnya menunjukkan bahwa penggambaran rambut pada tinggalan peradaban-peradaban kuno memiliki fungsi sebagai petunjuk tentang konsep maskulinitas yang dianut oleh masyarakatnya. Visualisasi maskulinitas melalui pemahatan rambut wajah dan tubuh pada dua Arca Raksasa Candi Tapan dapat dikaitkan dengan konsep maskulinitas dan kesuburan serta fungsi Arca Raksasa sebagai makhluk penjaga bangunan suci dan penolak bahaya.This study discussed the archaeological remains, Two Raksasa Statues of Candi Tapan from a gender perspective, especially the masculinity concept. Two Raksasa Statues of Candi Tapan is giant shapes with hair carvings on the head, face and body. The presence of hair, especially on the face and body, is an element of the statue that is rarely found and that is important to discuss. The method used is the archaeological method, consisting of stages of description, iconographic analysis, and interpretation with masculinity theory. The results show that the depiction of hair in ancient civilizations has a function as an indication of the masculinity concept from people from that period. The visualization of masculinity through the carving of facial and body hair in the Two Raksasa Statues of Candi Tapan related to the concept of masculinity and fertility, as well as the function of the giant statue as a guardian and danger repellent of sacred buildings.     Kajian ini menelaah tinggalan Arkeologi berupa Dua Arca Raksasa dari Candi Tapan dari perspektif gender khususnya maskulinitas. Dua Arca Raksasa dari Candi Tapan digambarkan dalam bentuk raksasa yang dilengkapi dengan pahatan rambut pada bagian kepala, wajah, serta tubuh. Keberadaam rambut, khususnya pada bagian wajah dan tubuh merupakan unsur arca yang jarang ditemui dan penting untuk dibahas. Metode yang digunakan adalah metode arkeologi, terdiri dari tahapan deskripsi, analisis ikonografi, dan interpretasi dengan teori maskulinitas yang berkaitan erat dengan teori gender. Hasilnya menunjukkan bahwa penggambaran rambut pada tinggalan peradaban-peradaban kuno memiliki fungsi sebagai petunjuk tentang konsep maskulinitas yang dianut oleh masyarakatnya. Visualisasi maskulinitas melalui pemahatan rambut wajah dan tubuh pada dua Arca Raksasa Candi Tapan dapat dikaitkan dengan konsep maskulinitas dan kesuburan serta fungsi Arca Raksasa sebagai makhluk penjaga bangunan suci dan penolak bahaya

    Variasi Gapura Masa Kesultanan Islam: Sebuah Tinjauan Pendahuluan Hubungan Religi dan Kekuasaan

    Get PDF
     Penelitian ini membahas mengenai 5 gapura peninggalan masa Islam di Nusantara, yaitu Gapura Sendang Duwur, Gapura Masjid Kudus, Gapura Asta Tinggi Sumenep, Gapura Masjid Jami’ Sumenep, dan Gapura Labhang Mesem. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kuasa dari Michel Foucault yang dikorelasikan dengan aspek religi yang tercermin pada gapura yang menjadi objek penelitian. Pembahasan dan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelima gapura tersebut terdapat relasi antara religi dan kekuasaan yang kuat, namun kadar dari korelasi itu berbeda-beda

    Karakteristik Bangunan Suci Bercorak Hindu-Buddha di Gunung Penanggungan dan Gunung Wajak: Sebuah Tinjauan Perbandingan

    Get PDF
    This is a comparison research between the sacred buildings at Penanggungan Mountain and the Wajak Mountain. There are two purposes of this research. Firstly, this study tries to reconstruct the cultural history of the Hindu-Buddhist period which is associated with religious elements on Penanggungan and Wajak Mountain. Secondly, this study aims to reveal the life of the Hindu-Buddhist. This study employs a qualitative approach. The data are obtained from the field and literature. The results show that religious elements at Penanggungan and Wajak Mountains can be seen from the shape of the building as well as the function of the building. The unique characteristic of sacred buildings located at both mountains associated with natural factors and the community. Religious elements can be seen by comparing various elements of religious background, surrounding environment, religious community, and relationships between buildings and historical figures.Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan dan membahas Gunung Penanggungan dan Gunung Wajak sebagai tempat dibangunnya banguna-bangunann suci bercorak Hindu-Buddha. Ada dua masalah yang dibahas dalam penelitian ini.  Pertama, mengenai unsur religi dibalik corak bangunan suci bercorak Agama Hindu dan Buddha di Gunung Penanggungan dan Gunung Wajak. Kedua, mengenai perbandingan karakteristik unsur religi bangunan suci bercorak Agama Hindu dan Buddha di Gunung Penanggungan dan Gunung Wajak. Tujuan penelitian ini adalah mencoba merekonstruksi sejarah kebudayaan masa Hindu-Buddha terutama yang berkaitan dengan unsur religi serta mengungkapkan kehidupan kaum agamawan pada masa Hindu-Buddha terutama yang melaksanakan kegiatan ritualnya di wilayah pegunungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh dari hasil studi lapangan dan studi pustaka. Studi lapangan dilakukan dengan melakukan kunjungan ke beberapa situs di Gunung Penanggungan dan Gunung Wajak sedangkan studi pustaka dilakukan dengan menelusuri penelitian terdahulu dan referensi yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Gunung Penanggungan dan Gunung Wajak unsur religi dapat terlihat dari bentuk bangunan dan perkiraan fungsi bangunannya. Bangunan-bangunan suci yang berada di Gunung Penanggungan dan Gunung Wajak memiliki karakteristik tersendiri yang berhubungan dengan faktor alam dan karakter masyarakat pembuatnya. Unsur religi dapat dilihat melalui perbandingan berbagai unsur antara lain unsur latar keagamaan, lingkungan sekitar bangunan suci, masyarakat pengguna bangunan, dan hubungannya dengan tokoh sejarah

    PRASASTI-PRASASTI SAPATHA SRIWIJAYA: KAJIAN PANOPTISISME FOUCAULT

    Get PDF
    Kajian ini dilakukan guna menelaah prasasti-prasasti sapatha Sriwijaya melalui perspektif panopticon Michel Foucault. Tujuannya adalah untuk menganalisis latar belakang pencantuman kutukan atau sapatha pada prasasti-prasasti tertua Sriwijaya dan hubungannya dengan pemikiran Foucault mengenai panoptisisme. Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, pertama pencantuman sapatha pada prasasti-prasasti tertua Sriwijaya bertujuan sebagai upaya melakukan kontrol terhadap wilayah dan penduduk yang berada di wilayah Sriwijaya. Kedua, sapatha pada prasasti-prasasti tertua Sriwijaya dapat dikaitkan dengan upaya mempertahankan wilayah-wilayah strategis dengan menempatkan pihak-pihak yang dikuasai sebagai subjek yang selalu diintai sapatha jika melakukan kejahatan dan pengkhianatan

    Clothing Motifs Identification of the Guardian Statues in the Padang Lawas Temple Compounds

    Get PDF
    Sejumlah arca penjaga baik utuh maupun fragmentaris merupakan bagian dari banyak peninggalan periode klasik di Padang Lawas. Sejumlah objek arca penjaga yang ditemukan di area ini diketahui diwujudkan mengenakan jenis pakaian dengan motif yang beragam. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi variasi motif pakaian arca-arca penjaga dari Kompleks Kepurbakalaan Padang Lawas. Metode penelitian yang diterapkan adalah metode kualitatif yang digabungkan dengan studi komparasi terhadap busana arca sejenis dan motif tekstil lokal Sumatra Utara. Lokasi pengumpulan data penelitian merupakan lokasi asal dari ditemukannya arca-arca penjaga yang tersebar di Situs Bahal, Candi Sitopayan, dan Candi Sipamutung. Hasil penelitian menunjukkan motif busana arca penjaga dari Padang Lawas lebih beragam dari arca sejenis dari wilayah lain di Sumatra dan Jawa. Busana arca penjaga dikelompokkan menjadi tiga jenis motif, motif busana A dan B terdapat di Kompleks Bahal dan Candi Sitopayan, dan motif busana C terdapat pada busana arca penjaga dari Candi Sipamutung. Berdasarkan analisis komparasi yang dilakukan terdapat kemiripan busana arca penjaga dari Padang Lawas dengan motif tekstil dari India dan Jawa serta motif dasar ulos dari Sumatra Utara khususnya Batak Angkola-Mandailing. Both intact and fragmentary, guardian statues are part of the many relics from the classical period in Padang Lawas. The guardian statues in this area are depicted wearing various types of clothing with diverse motifs. This research aims to identify variations in the clothing motifs of guardian statues from the Padang Lawas Temple Compounds. The research method applied is a qualitative method combined with a comparative study of similar sculpture clothing and local textile motifs of Sumatra Utara. The location of research data collection is the origin of the discovery of guardian statues scattered at the Bahal Site, Sitopayan Temple, and Sipamutung Temple. The research results showed that the clothing motifs of the guardian statues from Padang Lawas were more diverse than similar statues from other regions in Sumatra and Java. The clothing of the guardian statues is grouped into three motifs: motifs A and B from the Bahal Site and the Sitopayan Temple, and motifs C are shown on the clothing of guardian statues from the Sipamutung Temple. Based on the comparative analysis, there are similarities in the clothing of the guardian statues from Padang Lawas with textile motifs from India and Java and the basic motifs of ulos from Sumatra Utara, especially the Angkola-Mandailing Batak

    Karakteristik Kepala Kala di Sumatra: Tinjauan Arkeologi Seni

    Get PDF
    in Hindu-Buddhist temples. The problem was, there were differences on Java with other areas, Kala head in Sumatra were located not only in the lintel but also in other part of sacred objects. The purpose of this research was to discuss characteristic of Kala head in Sumatra based on its components and art styles. Based on the problem this research reveals  characteristics  of  Kala  head  from  Padanglawas,  Padangroco,  and  South Sumatra. This research also discussed a comparative study of Kala head from Java, Southeast Asia (especially Khmer), and India. This research employed Archaeological Method  ranging  from  observation,  data  gathering,  analysis,  and  interpretation.  The results showed Sumatra Kala head has different concept background. The dissimilarities contained  in  the  different  location,  between  a  sacred  building  and  sacred  objects (stambha, stone base, and statue), different size, and decoration. Kala head in Sumatra is an independent figure without other figures (gods or makara) and other parts of bodies such as hand or claws on the Kala head from Sumatra. In conclusion, there were local Kala head art styles in Sumatra such as Padanglawas I, II, III, and Bumiayu.

    Pengembangan Potensi Batik Berbasis Tinggalan Arkeologi di Kelurahan Legok Kota Jambi

    Get PDF
    Artikel ini ditulis berdasarkan Program Pengabdian Kepada Masyarakat yang dilaksanakan pada tahun 2020. Kegiatan ini dilaksanakan atas dasar keberadaan salah satu tinggalan arkeologi di Kelurahan Legok, Kota Jambi, yaitu Candi Solok Sipin serta situs-situs lain di sekitarnya. Berdasarkan tinjauan terkini, Candi Solok Sipin berada dalam kondisi yang terancam kelestariannya. Salah satu faktor yang menjadi ancaman terhadap kelestarian Situs Candi Solok Sipin adalah kurangnya kepedulian masyarakat sekitar terhadap keberadaan situs tersebut. Oleh karena itu kegiatan Program Pengabdian Kepada Masyarakat yang dilakukan di Kelurahan Legok Kota Jambi sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan keberadaan Situs Candi Solok Sipin. Potensi yang dimiliki Kelurahan Legok antara lain adalah keberadaan Rumah Batik dan kelompok pembatik. Program Pengabdian Kepada Masyarakat ini bertujuan untuk memberikan pendampingan bagi masyarakat Kelurahan Legok sebagai upaya pelestarian dan pemanfaatan tinggalan arkeologi di kawasan tersebut melalui kegiatan pengembangan motif batik. Di Situs Candi Solok Sipin terdapat tinggalan arkeologi yang memiliki relief dan ornamen yang dapat dikembangkan menjadi motif batik. Target khusus yang ingin dicapai yaitu meningkatnya kesadaran masyarakat di Kelurahan Legok untuk berperan aktif dalam menjaga kelestarian situs Candi Solok Sipin. Metode pendampingan dilaksanakan dalam tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan evaluasi. Kegiatan pengabdian yang telah dilaksanakan menghasilkan 5 motif baru yang terinspirasi dari relief dan motif tinggalan arkeologi Situs Solok Sipin. Diharapkan motif-motif baru ini dapat menjadi kebanggaan dan ciri khas Kelurahan Legok. Untuk jangka panjang diharapkan motif batik yang telah tercipta menjadi produk unggulan Kelurahan Legok Kota Jambi

    PENGEMBANGAN MOTIF BATIK BERBASIS TINGGALAN ARKEOLOGI KELURAHAN LEGOK KOTA JAMBI TAHAP II

    Get PDF
    This program is a continuation of the activities in the previous year. The newest batik motifs were inspired by ornaments and archaeological remains from the Situs Candi Solok Sipin. In 2020, batik tulis, the Makara Ekikarana motif has been produced. In 2021, the team try to make batik cap inspired by the Yaksa figure on the Makara and Stupa from the Situs Candi Solok Sipin. The batik cap is related to the purpose of preparing products at affordable prices, it's hoping that the batik is marketed more broadly. In addition, this new motif can also enrich the batik repertoire at the Rumah Batik Kelurahan Legok. The method is held in stages; the first stage is the preparation. During the preparation stage, we make motif design and make coordination with the Kelurahan Legok dan Rumah Batik. After the batik cap motif is ready, the next step is to make a stamp. After the preparation stage was completed, the next step is to produce a batik cap in 3 (three) days. On the last day, we make a product launch, the products are ready to be marketed. The results achieved include the creation of the Yaksa Stupa motif which is applied to cloth and masks

    GAYA ARSITEKTUR GUA SELOMANGLENG TULUNGAGUNG SEBAGAI PERTAPAAN MASA MATARAM KUNO JAWA BAGIAN TIMUR DAN MUATAN PENDIDIKANNYA

    No full text
    ABSTRAK   Izza, Nainunis Aulia. 2014. Tinjauan Gaya Arsitektur Gua Selomangleng di Kabupaten Tulungagung Sebagai Pertapaan Masa Mataram Kuno Jawa Bagian Timur dan Muatan Pendidikannya. Skripsi, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang. Pembimbing: Deny Yudo Wahyudi, S.Pd., M.Hum.   Kata Kunci: gua selomangleng, arsitektur, pertapaan   Gua Selomangleng Tulungagung adalah salah satu gua buatan di antara gua-gua alami di Kabupaten Tulungagung. Situs Gua Selomangleng Tulungagung dibangun dari monolith yang menghasilkan Ceruk I, Ceruk II, dan Batur. Masing-masing bangunan ini telah diidentifikasikan sebagai bangunan bercorak Hindu. Namun, mengenai masa pembuatannya serta pemanfaatannya masih diperdebatkan. Adanya gua buatan yang berbentuk unik diantara gua-gua alami dan perdebatan mengenai masa pembuatan, pemanfaatan serta muatan pendidikan yang ada di dalamnya menjadikan Gua Selomangleng Tulungagung menarik untuk dikaji. Berkaitan dengan itu, maka diperlukan pembahasan mengenai permasalahan-permasalahan yang ada di Gua Selomangleng Tulungagung. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui: (1) latar sejarah Gua Selomangleng Tulungagung; (2) gaya arsitektur Gua Selomangleng Tulungagung; dan (3) muatan pendidikan yang terdapat di Gua Selomangleng Tulungagung. Penelitian ini termasuk jenis penelitian arkeologi dan sejarah. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data artefaktual dan tekstual. Sumber data artefaktual diperoleh dari survei permukaan. Sumber tekstual antara lain adalah data teks yang relevan dengan topik penelitian ini. Semua data yang diperoleh selanjutnya diidentifikasi dan dianalisis dengan cara menghubungkan berbagai sumber data yang diperoleh. Berdasarkan hasil analisis tersebut, diperoleh tiga simpulan sebagai berikut: pertama, bangunan ini mulai dibangun pada masa Airlangga yang bertahta di Kerajaan Mataram Kuno Jawa bagian timur di abad XI M dan digunakan sampai dengan masa Kerajaan Majapahit. Gua Selomangleng Tulungagung difungsikan sebagai tempat bertapa para penganut Agama Rsi. Kedua, Gua Selomangleng Tulungagung memiliki gaya arsitektur yang sederhana dan unik. Gaya arsitektur Gua Selomangleng Tulungagung menggambarkan gaya masa transisi dimana satu sisi mencerminkan gaya Mataram Kuno Jawa bagian tengah dan sisi lain mencerminkan gaya Mataram Kuno Jawa bagian timur. Selain itu, terdapat gaya Majapahit yang tercermin pada ceruk I. Kepala kala dan figur di pintu ceruk I menunjukkan gaya Majapahit. Sedangkan relief yang ada di ceruk I menunjukkan gaya transisi dimana unsur-unsur Mataram Kuno Jawa bagian tengah lebih kuat, dibuktikan dengan kedalaman pemahatan relief dan gaya pemahatan figur-figur dalam relief. Berdasarkan hasil pembahasan Relief Arjunawiwaha di dinding Gua Selomangleng Tulungagung dapat dilihat dari sisi sejarah, seni, edukasi, dan makna yang terkandung di dalamnya. Muatan pendidikan yang dapat diambil dari latar sejarah dan gaya arsitektur Gua Selomangleng Tulungagung antara lain: (1) Pemanfaatan untuk tahapan kehidupan Wanaprasta  mengandung muatan pendidikan bahwa setiap orang harus menjalankannya setiap tahap kehidupannya dengan sebaik-baiknya; (2) Perdebatan mengenai tahun pembuatan dan pemanfaatan Gua Selomangleng Tulungagung mengandung makna untuk selalu kritis dan saling menghargai perbedaan pendapat; (3) Gua Selomangleng Tulungagung yang dibuat pada batu-batu besar yang dimodifikasi mengandung muatan pendidikan mengenai pentingnya kreativitas; (4) Pemilihan busana Arjuna yang sederhana memberikan pelajaran bahwa dalam rangka menuntut ilmu seorang pelajar seharusnya bersikap sederhana dan fokus, artinya tidak boleh tergoda dengan hal-hal negatif yang berpotensi mengganggu aktivitas menuntut ilmu; (5) Relief yang menggambarkan Arjuna bersama lelaki tua mengandung muatan pendidikan untuk menghormati orang yang lebih tua
    corecore