29 research outputs found
KEWENANGAN DAERAH DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
Pasca berlakunya Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang didalamnya menghapus, mengubah, dan melakukan pengaturan baru terhadap Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang berpengaruh terhadap kewenangan daerah dalam melaksanakan perijinan usaha yang perlu dilaksanakan dengan memperhatikan dampak lingkungan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis bahan hukum dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan, teori, dan studi pustaka yang didukung dengan pendapat para ahli dibidangnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis tentang kewenangan daerah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pasca berlakunya undang-undang cipta kerja yang di dalamnya telah merubah ketentuan Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada substansi perizinan lingkungan, serta mengambil alih kewenangan untuk menetapkan kebijakan yang seharusnya kewenangan pemerintah daerah menjadi kewenangan pemerintah pusat
Kebijakan Pengelolaan Tambang dan Masyarakat Hukum Adat yang Berkeadilan Ekologis
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimana kebijakan pengelolaan sumber daya pertambangan berdasarkan undang-undang pertambangan mineral dan batubara? Kedua, bagaimana kebijakan pengelolaan sumber daya pertambangan perspektif masyarakat hukum adat yang berkeadilan ekologis? Metode penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama, kebijakan pengelolaan sumber daya pertambangan berdasarkan undang-undang pertambangan mineral dan batubara saat ini hendaknya disesuaikan dengan putusan-putusan mahkamah konstitusi dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam konteks perizinan. Pemerintah daerah provinsi sekarang ini mengambil alih kewenangan pemerintah kabupaten/kota untuk mengeluarkan izin tambang berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 yang sebenarnya masih bersifat semi sentralistik dan secara kewilayahannya dalam konteks tambang masih berada di kabupaten, sementara pemerintah provinsi sebagai wakil dari pemerintah pusat; kedua, Kebijakan pengelolaan sumber daya pertambangan perspektif masyarakat hukum adat yang berkeadilan ekologis terletak pada konsep kearifan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam, dalam hal ini tambang yang menjadi hak penguasaan negara. Terdapat hubungan timbal Balik antara manusia dengan alam, dimana masyarakat hukum adat selalu menempatkan keseimbangan alam dalam pengelolaan lingkungan (participerend cosmisch), sehingga keadilan ekologis dapat dirasakan semua unsur alam, selain manusia.The problems in this paper are: first, what are the mining resource management policies based on mineral and coal mining laws? and second, how is the mining resource management perspective of the ecological justice community indigenous people? This research method uses normative legal research with the classification of secondary data including primary legal materials including legislation in the fields of mineral and coal mining, environmental protection and management, and regional government. Secondary legal material in the form of books and journals, while secondary legal material in the form of online news. Data analysis using qualitative juridical analysis. The results of this study are first, current mining resource management policies based on mineral and coal mining laws should be adjusted to the decisions of the constitutional court and Law No. 23 of 2014 concerning Regional Government in the context of licensing. The provincial government is currently taking over the authority of the district / city government to issue mining permits under Law No. 23 of 2014 which are actually still semi-centralistic and in the territory in the context of mines still in the district, while the provincial government is the representative of the central government; secondly, the policy of managing mining resources from the perspective of indigenous peoples with ecological justice lies in the concept of indigenous peoples' wisdom in managing natural resources, in this case mining which is the state's right of control. There is a reciprocal relationship between humans and nature, where customary law communities always place natural balance in environmental management (participerend cosmisch), so that ecological justice can be felt by all elements of nature, other than humans
The Sustainable Environmental Protection Deregulation Concept During the Covid-19 Pandemic
The economic recession due to the Covid-19 pandemic has forced several countries to deregulate environmental protection. In response to such policy, many environmental activists and environmentalists worry that deregulation will cause a negative impact on the mitigation of climate change’s effects. Therefore, it is necessary to examine whether or not the deregulation of environmental protection in Indonesia is in line with the objectives of sustainable development. The provisions of the deregulation of environmental protection in Indonesia aims to encourage and accelerate investment through the simplification of licensing procedures, eradicating corruption in the licensing sector, increasing economic growth and gross domestic product, encouraging equitable development, and providing employment opportunities. This study concludes that Indonesia’s deregulation policy does not violate the minimum tolerance standard of environmental protection. It also does not eliminate the precautionary principle and environmental impact analysis as a preventive measure. In addition, it does not revoke environmental quality standards and damage quality standards as monitoring, control, and enforcement instruments. The deregulation accordingly still adheres to the three pillars of sustainable development.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v8n3.a4
ASPEK HUKUM PENATAAN RUANG: PERKEMBANGAN, RUANG LINGKUP, ASAS, DAN NORMA
ABSTRAKPerkembangan hukum tata ruang tidak secepat perkembangan hukum lingkungan, hal itu dikarenakan masyarakat mengenal hukum tata ruang sebagai bagian dari masalah tata ruang kota terkait keindahan dan kenyamanan, bukan sebagai instrumen pelestarian lingkungan. Untuk itu perlu diteliti dan dirumuskan sejarah perkembangan, batasan dan ruang lingkup, prinsip-prinsip, dan pengaturannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yang disajikan dalam deskriptif analitis. Data penelitian diperoleh dari studi literatur dan studi lapangan. Selanjutnya, data dianalisis secara yuridis kualitatif dengan interpretasi secara historikal, gramatikal, dan sistematikal. Hukum penataan ruang ternyata telah dipraktikkan oleh masyarakat adat Indonesia ribuan tahun sebelum Negara Indonesia terbentuk. Ruang lingkup penataan ruang meliputi: Perencanaan kota; Desain perkotaan; Perencanaan regional; Perumahan dan Permukiman; Tata Guna Tanah; Tata Ruang Air; dsb. Secara empiris pada masyarakat adat, prinsip-prinsip hukum penataan ruang meliputi: Prinsip keseimbangan alam; Prinsip beradaptasi dengan alam; Pemanfaatan ruang sesuai fungsi dan peruntukan; Prinsip pemanfaatan secukupnya; Prinsip Tidak boleh bermegah-megahan; Keadilan lintas mahluk; dan Prinsip Comuun.Kata kunci: kearifan lokal; penataan ruang; pelestarian lingkungan; tata guna tanah; tata guna udara; tata guna laut.ABSTRACTDevelopment of spatial law not as fast as development of environmental law, this is because the society knows the spatial law as an urban spatial issue related to beauty and comfort, not as an environmental conservation instrument. Therefore, it necessary to research and formulate the history of development, limits and scope, principles, and regulations. This study uses a juridical normative and empirical juridical approach which is presented in an analytical descriptive. The research data were obtained from literature studies and field studies. Furthermore, the data were analyzed in a qualitative juridical manner with historical, grammatical, and systematic interpretations. Spatial law has been practiced by Indonesian indigenous peoples thousand years ago before the Indonesian State was formed. The scope of spatial law includes: Urban Planning; Urban Design; Regional Planning; Housing and Settlement; Land Use; Water Spatial Planning; etc. Empirically on Adat Community, spatial planning principles include: The balance of nature; Principle humans adapt to nature; Utilization based function and designation; The principle of adequate use; Principles should not boast; The principle of commuun; The principle of justice across beingsKeywords: air use planning; environmental conservation; local wisdom; land use; marine use planning; spatial law
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENERAPAN ASAS ULTIMUM REMEDIUM DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
ABSTRAK
Penyidikan perkara tindak pidana lingkungan hidup yang dijadikan dasar hukum dalam penegakan hukum sebagai upaya menjamin kelestarian lingkungan hidup, yang dalam praktek sering ditemukan hasil penyidikan tidak diterima oleh Jaksa Penuntut Umum dan juga ingin mengetahui penerapan asas ultimum remedium yang dijadikan dasar dalam penegakan hukum.bagi perkara tindak pidana lingkungan hidup Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, yaitu mengkaji Peraturan perundang-undangan dan literatur yang terkait dengan penegakan hukum, dan penelitian ini lebih menitik-beratkan kepada penelitian kepustakaan. Data yang telah diperoleh tersebut dikaji dan di analisis yang diperoleh dari literatur maupun sumber lain, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan cara melakukan penggabungan data hasil studi literatur atau kepustakaan dan studi lapangan. Berdasarkan analisis yang dilakukan dapat disimpulkan: (1) Perkara yang tidak diterima oleh Jaksa atas dasar tidak cukup bukti, sehingga terjadi bolak balik berkas perkara bisa dilakukan penghentian penyidikan dengan alasan atau dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dengan tetap melakukan koordinasi yang baik dan harus bersikap professional. (2) Penerapan asas ultimum remedium ini hanya terbatas dan baru dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali, dan tidak memiliki itikad baik lagi.Kata kunci: asas ultimum remedium; penghentian penyidik.
ABSTRACT
Investigation of environmental crime cases which are used as the legal basis in law enforcement as an effort to ensure environmental sustainability, which in practice is often found that the results of investigations are not accepted by the Public Prosecutor and also want to know the application of the ultimum remedium principle which is used as the basis for law enforcement. for environmental crime cases. The method used in this research is the normative juridical method, which examines statutory regulations and literature related to law enforcement, and this research focuses more on library research. The data that has been obtained are reviewed and analyzed obtained from literature and other sources, then analyzed qualitatively by combining data from literature or literature studies and field studies. Based on the analysis carried out, it can be concluded: (1) Cases that are not accepted by the Prosecutor on the basis of insufficient evidence, so that case files go back and forth, the investigation can be terminated on grounds or grounds that can be legally accountable while maintaining good coordination and must behave professional. (2) The application of the ultimum remedium principle is only limited and can only be imposed if the administrative sanctions that have been imposed are not complied with or the violation is committed more than once, and there is no longer good faith.Keywords: cessation of investigation; Principle ultimum remedium
Critical Review of Indonesian Government Legal Policies on The Conversion of Protected Forests and Communal Lands of The Indigenous Batak People around Lake Toba
The Development Plan of Sibisa Lake Toba Tourism Area as The National Strategic Area for Tourism by performing a land conversion on protected forests and communal lands had stirred up a problem dilemma regarding the resistance from indigenous people around Toba Lake. It is crucial to be questioned, whether the conversion policy of protected forests and communal lands by the Indonesian Government to develop Sibisa Danau Toba Tourism Area is in accordance with related laws and regulations? As the answer, it can be concluded that the mentioned policy opposes: Article 18b of the 1945 Constitution; Article 15 of the Law of 2009 Number 32 on Environmental Protection and Management; Presidential Regulation Number 81 of 2014 on The Spatial Planning of Lake Toba Area; The Law of 1999 Number 39 on Human Rights; The Law of 2016 Number 6 on Village Government, and lastly, the United Nation Declaration on Human Rights of Indigenous People (UNDHRIP).Telaah Kritis atas Kebijakan Hukum Pemerintah Indonesia terkait Alih Fungsi Hutan Lindung dan Tanah Ulayat Masyarakat Adat Batak di sekitar Danau Toba AbstrakRencana Pembangunan Kawasan Pariwisata Sibisa Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Nasional Kepariwisataan dengan melakukan alih fungsi hutan lindung dan tanah ulayat telah menimbulkan permasalahan yang dilematis karena mendapat perlawanan dari masyarakat adat di sekitar Danau Toba. Terhadap kebijakan tersebut penting untuk dipertanyakan apakah kebijakan alih fungsi hutan dan tanah ulayat oleh Pemerintah Indonesia untuk pembangunan Kawasan Pariwisata Sibisa Danau Toba telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang terkait? Sebagai jawaban atas permasalahan, penulis menyimpulkan bahwa kebijakan telah bertentangan dengan: Pasal 18b UUD 1945; Pasal 15 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pemerintahan Desa, dan bertentangan dengan United Nations Declaration on Human Rights of Indigenous Peoples (UNDHRIP)Kata Kunci: Alih Fungsi Lahan, Hak Ulayat, Masyarakat Hukum AdatDOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v6n3.a