18 research outputs found

    POLITIK HUKUM PELEMBAGAAN KOMISI-KOMISI NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

    Get PDF
    During the 32 years of the New Order government certainly has its advantages and disadvantages, in terms of the development of infrastructure and supra-structure growing rapidly, but the journey has decreased function of government and its role even stagnant. Therefore, there was the Reform of 1998 in a variety of fields. In reply funsgi decline and the role of government under the Constitution of 1945, there was an opinion with the formation of a new organization outside the government. Gagsan ideas are realized with the establishment of committees that do not require the State budget a little, sometimes a clash of authority between committees also with government agencies. Committees should not be separated from the politics of law. Keywords: Institutionalization of Political Law, Commissions of the State, State Administration Syste

    Hukum lembaga negara

    Get PDF
    x.; 182 hal.; ill.; 19 c

    DIMENSI PEMILU DALAM SISTEM DISTRIK DAN PROPORSIONAL

    Get PDF
    The electoral system is regulated in statutory regulations containing three main variables, namely voting, electoral district, and electoral formula. As stated in the Election Law, the objective of the electoral system is to exercise people's sovereignty. A provision which is in line with the universal democratic principle of the rulers directs this goal to build legitimacy for a stable and strong government in mobilizing the masses. democratically Election, namely balancing these operational objectives with their use as a means of fighting for the interests of the people through political participation and political socializatio

    URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PEMANTAU PEMILIHAN SEBAGAI PENGAWAL SUARA KOLOM KOSONG

    Get PDF
    This study aims to examine and analyze the active participation of the people as the holder of the highest sovereignty in the implementation of the Regional Head Election (Pilkada) in order to run with justice, with full responsibility and avoid elements of violations. This study uses the juridical normative method with the consideration that the research undertaken seeks to determine the extent to which the reality of the application of a rule. The results of this study conclude that the arrangement regarding the Election Monitoring Institution (LPP) in the Pilkada seems to be positioned as mere informants without sufficient strength, besides that there is also a real condition that if the fate of the LPP is indeed in intersection, they are encouraged to stay alive but are only given a few resources, so that strengthening the LPP is an absolute prerequisite for realizing justice in Pilkada

    POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

    Get PDF
    Abstract: This paper aims to analyze the process of forming the Draft Law on the Elimination of Sexual Violence (RUU Elimination of KS) from the perspective of Islamic law and analyze the political configuration in the formation of the law. The method used is descriptive analysis with the type of normative-empirical research. This method is considered able to answer all the main problems in this study. The results show that, in Islamic law a leader is obliged to maintain the soul, mind, dignity and worth of his people. Islam does not justify violence against women, Islam commands that every human being can give love and affection to women without violence as stated in QS. Ar-Rum (30): 21. To prevent sexual violence against women and uphold moral values, the leader must form a regulation as a form of responsibility from a leader to his people. These regulations must be obeyed and implemented by all his people, this is explained in (QS. An -Nisa, (04); 59. In the formation of the Draft Law on the Elimination of KS, there was a tug of war. Since 2016 until now, the Bill on the Elimination of KS has been in and out of the National Legislative Council (Prolegnas) however, until now it has not been ratified for various reasons given until it was clashed with religious beliefs The ratcheting up of the ratification of the KS Abolition Bill shows the reluctance of the legislature to provide legal protection to the public.Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis proses pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Penghapusan KS) ditinjau dari perspektif hukum Islam dan menganalisis konfigurasi politik dalam pembentukan Undang-Undang tersebut. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan jenis penelitian normatif-empiris yang dianggap mampu menjawab semua pokok permasalahan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hukum Islam seorang pemimpin wajib menjaga jiwa, akal, harkat dan martabat dari rakyatnya. Islam tidak membenarkan adanya kekerasan terhadap perempuan, Islam memerintahkan agar setiap manusia dapat memberikan kasih dan sayang kepada perempuan tanpa adanya kekerasan sebagaimana tertuang dalam QS.Ar-Rum (30):21. Untuk menjaga agar tidak adanya kekerasa seksual terhadap perempuan dan menjunjung tinggi nilai moralitas, maka pemimpin harus membentuk suatu peraturan sebagai bentuk tanggung jawab dari seorang pemimpin kepada rakyatnya. Peraturan tersebut wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh semua rakyat­nya, hal ini dijelaskan dalam (QS. An-Nisa, (04);59. Dalam pembentukan RUU  Penghapusan KS terjadi tarik ulur. Sejak tahun 2016 hingga saat ini, RUU  Penghapusan KS telah berapa kali keluar masuk Prolegnas, namun sampai saat ini belum kunjung disahkan dengan berbagai alasan yang diberikan sampai dibentrokan dengan keyakinan agama. Tarik ulur pembahasan RUU Penghapusan KS menunjukan, keengganan dari badan legislatif dalam memberikan payung hukum kepada masyarakat

    PELAKSANAAN PENYELESAIAN HAK ATAS TANAH EX EIGENDOM VERPONDING 2044 DI DESA NAGRAK KECAMATAN CIATER KABUPATEN SUBANG

    Get PDF
    Dalam peraturan undang-undang tanah Hak Milik (eigendom verponding) merupakan tanah yang terkuat dan turun termurun untuk  dinikmati dengan sepenuhnya dan menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya, kepemilikan atas suatu tanah tidak bisa hilang tanpa ada sebab hapusnya kepemilikian tanah tersebut. Meski begitu masih ada saja permasalahan dalam lingkup hak kepemilikan tanah, seperti halnya permasalahan yang terjadi atas tanah yang saat ini digunakan oleh PTPN yang memiliki hak guna usaha dengan M. Fatkhi yang menganggap bahwa tanah tersebut berada dibawah kepemilikannya yang berstatus eigendom verponding. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan Pasal 20 UUPA yang seharusnya tanah tersebut tidak bisa digunakan oleh siapapun tanpa ada izin dari pemiliknya. Bagaimana duduk permasalahan hak atas tanah ex eigendom verponding 2044 dihubungkan dengan Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)?; Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur kepastian hak atas tanah di hubungkan dengan ex eigendom 2044 di Desa Nagrak Kecamatan Ciater Kabupaten Subang?; Bagaimana para pihak dapat menyelesaikan sengketa hak atas tanah yang semula merupakan hak eigendom verponding?; Tujuan penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui duduk permasaahan hak atas tanah ex eigendom verponding 2044 dihubungkan dengan Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA); 2) Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur kepastian hak atas tanah dihubungkan dengan ex eigendom verponding 2044 di Desa Nagrak Kecamatan Ciater Kabupaten Subang; 3) Untuk mengetahui para pihak dapat menyelesaikan sengketa hak atas tanah yang semula merupakan hak eigendom verponding. Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode deskriptif-analisis yaitu memberikan gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yang artinya adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundaang-undangan. Hasil dari penelitian yang dilakukan bahwa tanah ex eigendom verponding 2044 yang di klaim oleh M. Fatkhi berdasarkan data yang dimilikinya masih dikuasai oleh PTPN VIII dan hal itu bertentangan dengan UUPA. Berdasarkan UUPA dan PP No.40 tahun 1996 Para pihak yang bersengketa harus memberikan bukti kuat dengan menunjukan data-data atau dokumen hukum untuk menyatakan kepemilikan tanah. Upaya yang dapat dilakukan oleh Para pihak dalam menyelesaikan permasalahan sengketa pertanahan yaitu melalui jalur litigasi ataupun non litigasi dengan dengan merujuk UU No.30 tahun 1999 yang memiliki kewenangan dan akan memberikan keputusan yang seadil-adilnya untuk para pihak dengan mendapatkan kepastian hukum

    KEWENANGAN DESA DALAM PENATAAN RUANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DESA

    Get PDF
     AbstrctThis research is in the background by article 69 paragraph (4) of Law No. 6 of 2014 about Village Juncto Article 8 Regulation of the Minister of Villages, development of disadvantaged regions, and transmigration number 1 year 2015 about the Authority guidelines based on rights of origin and local authority of the village scale that gives authority to the village to arrange its own space based on the right of origin Although this rule has long been applied, in fact it is very rare that villages make village regulations on spatial planning. Village authority in the arrange­ment of space implemented based on the right of origin of the village and local authority of the village scale arranged in reference to the village's Medium term development plan (RPJM Des), the Village deve­lop­ment work plan (RKP Des). This authority is the original autho­rity mandated by the village LAW. This authority has not been effective due to lack of human resources; No technical guidance to the village gover­nment; The amount of budget required; And the absence of regulations governing the authority of the village and the mechanism for the arran­ge­ment of rural spaces is clearer. The arrangement of this Regulation in fact is difficult to implement because there is no technical guidance on the village government because the district government considers the village does not need its own space arrangement; The absence of coor­di­nation with the District government; and unavail­abi­lity of human re­sour­ces.  The authority of this village room arrangement can acco­mmo­date the aspirations of the village community in accor­dance with local culture but if the coordination is not going well it will cause various problems. AbstrakPenelitian ini dilatar belakangi oleh Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa juncto Pasal 8 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa yang memberikan kewenangan kepada desa untuk mengatur penataan ruangnya sendiri berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Meskipun peraturan ini sudah lama diterapkan, nyatanya sangat jarang sekali desa yang membuat peraturan desa mengenai tata ruang. Kewenangan desa dalam penataan ruang dilaksanakan berdasarkan hak asal usul desa dan kewenangan lokal berskala desa yang disusun mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des), Rencana Kerja Pem­bangunan Desa (RKP Des). Kewenangan ini merupakan kewe­nangan asli yang diamanatkan oleh UU Desa. Kewenangan ini belum berjalan efektif karena kurangnya sumber daya manusia; belum adanya bimbingan teknis terhadap pemerintah desa; besarnya anggaran yang dibutuhkan; serta belum adanya peraturan yang mengatur kewenangan desa dan meka­nisme penyusunan penataan ruang desa yang lebih jelas. Penyu­sunan peraturan ini nyatanya sulit dilaksanakan karena belum ada­nya bim­bingan teknis terhadap pemerintah desa karena pemerintah keca­matan menganggap desa belum memerlukan pengaturan ruangnya sendiri; belum adanya koordinasi bersama pemerintah kabupaten; dan tidak tersedianya sumber daya manusia.  Kewenangan penataan ruang desa ini dapat menampung aspirasi masyarakat desa sesuai dengan budaya lokalnya akan tetapi jika koordinasi tidak berjalan dengan baik maka akan menimbulkan berbagai permasalahan

    KEDUDUKAN TANAH ADAT AKUR SUNDA WIWITAN DI CIGUGUR KUNINGAN SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 779K/Pdt/2017

    Get PDF
    Hukum adat yang berlaku pada masyarakat adat AKUR (Adat Karuhun Urang) Sunda Wiwitan di Wilayah Cigugur Kuningan pemahaman tentang tanah adalah sebuah ikatan yang tidak dapat diputuskan antara ikatan spiritual, magis, religius dan tidak dapat dibagi wariskan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penguasaan tanah adat, kedudukan atau status tanah setelah putusan Mahkamah Agung Nomor: 779K/Pdt/2017, dan upaya apakah yang dilakukan oleh masyarakat adat AKUR dalam mempertahankan kepemilikan tanah adat. Metode penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang diharapkan dapat memperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang diteliti. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris merupakan pendekatan kepustakaan yang berpedoman kepada peraturan-peraturan, dokumen putusan, buku-buku, literatur-literatur hukum, dan bahan-bahan hukum lainnya yang memiliki hubungan permasalahan dan pembahasan dalam penelitian skripsi ini dan mengambil data langsung pada objek peneliti. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dari sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui dan menghormati hak atas tanah adat (hak ulayat); Kedudukan/status hukum tanah adat AKUR Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan secara yuridis putusan sudah inkracht dimenangkan oleh ahli waris tetapi secara de facto kenyataanya konflik ini belum tuntas dikarena adanya perlawanan dari masyarakat adat AKUR untuk mempertahankan. Upaya hukum yang ditempuh oleh Mayarakat adat AKUR dalam mempertahankan kepemilikan tanah sudah dilakukan melalui jalur litigasi maupun non litigasi secara maksimal tetapi tidak berhasil

    Fortifying Democracy: Deploying Electoral Justice for Robust Personal Data Protection in the Indonesian Election

    Get PDF
    Elections stand as a cornerstone of democracy, yet the burgeoning integration of technology and personal data underscores the pressing need for safeguarding individual privacy within the electoral process. This study endeavors to scrutinize the efficacy of the Electoral Justice System in fortifying the protection of personal data throughout the registration, verification, and adjudication phases of political party participation in the forthcoming 2024 elections. Through an empirical juridical methodology, this research delves into the practical application of the Electoral Justice System across diverse national contexts, elucidating its role in mitigating the perils of data misuse and upholding electoral integrity. The findings underscore the imperative of imbuing the Electoral Justice System with structural robustness, substantive fidelity, and a conducive legal culture to ensure the seamless functioning of electoral processes. Additionally, stringent regulations, robust data verification protocols, independent oversight mechanisms, and punitive measures emerge as indispensable facets of effective Electoral Justice System implementation, essential for curtailing infringements of the exploitation of personal data and fostering accountable electoral practices
    corecore