34 research outputs found
Strategi Menuju Kampus Berkelanjutan (Studi Kasus: Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret)
Pembangunan berkelanjutan menjadi acuan dalam arah pembanguna kota yang kemudian didetailkan dalam tujuh belas tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals). Perguruan Tinggi merupakan salah satu elemen dalam sarana perkotaan yang memiliki peran strategis dalam mencapai tujuan pembangunan keberlanjutan melalui konsep kampus berkelanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis penerapan konsep kampus berkelanjutan yang dilakukan Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret (FT UNS). Metode yang digunakan adalah mengidentifikasi potensi dan masalah baik internal maupun eksternal yang dihadapi oleh FT UNS dalam penerapan enam komponen kampus berkelanjutan (setting and infrastructure, waste, water, transportation, energy and climate change dan education) dan perumusan strategi dengan menggunakan metode analisis SWOT. Hasilnya adalah perlu adanya perhatian pada ketiga hal sebagai berikut: (1) peningkatan pada anggaran untuk mewujudkan infrastruktur kampus ramah lingkungan (green building) dan dukungan aktivitas P2M, (2) Perbaikan pada aspek transportasi, yaitu dengan perbaikan pada sistem parkir, dan alternatif moda transportasi masal atau ramah lingkungan, (3) Pelibatan seluruh civitas akademik dalam setiap kegiatan terkait pembangunan berkelanjutan
AIR HUJAN SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER AIR BAKU DI DAERAH PERKOTAAN (Studi Kasus Kelurahan Tandang, Kota Semarang)
Kebutuhan air bersih di perkotaan semakin meningkat seiring dengan bertambah
pesatnya jumlah penduduk dan tingginya tingkat urbanisasi. Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) sebagai penyedia pelayanan air bersih perkotaan ternyata belum mampu
memenuhi secara keseluruhan kebutuhan air bersih masyarakat. Kesenjangan supply dan
demand air bersih ini berusaha untuk diatasi melalui upaya penyediaan air bersih yang
bersumber pada sumber daya lokal. Asian Cities Climate Change Resilience Network
ACCCRN) melihat bahwa Kota Semarang merupakan salah satu kota di Indonesia yang
entan terhadap perubahan iklim
Pengaruh perkembangan aktivitas mina wisata terhadap fungsi lahan di Desa Janti dan Desa Wunut, Kabupaten Klaten
Kawasan minapolitan memiliki berbagai kegiatan mina bisnis, salah satunya mina wisata. Mina wisata merupakan bentuk wisata yang memanfaatkan produksi perikanan sebagai atraksi wisata. Desa Janti dan Desa Wunut merupakan dua desa di Kabupaten Klaten yang telah ditetapkan dalam pengembangan kawasan minapolitan Kabupaten Klaten sebagai sentra pemasaran dan sebagai peruntukan pariwisata buatan pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Klaten Tahun 2011-2031. Kedua desa ini memiliki atraksi berupa warung makan produk ikan, pemandian, dan pemancingan. Mina wisata di Desa Janti dan Desa Wunut terus mengalami perkembangan, pada tahun 2009 hingga 2020 terdapat penambahan 11 objek wisata baru. Perkembangan aktivitas mina wisata di kedua desa ini memberikan pengaruh terhadap perubahan fungsi lahan di sekitarnya. Banyak lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi usaha wisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perkembangan mina wisata terhadap fungsi lahan di Desa Janti dan Desa Wunut. Metode yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif yang kemudian dilakukan analisis spasial untuk mengetahui pengaruh dan perubahan yang dihasilkan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perkembangan aktivitas mina wisata mendorong adanya penyediaan atraksi mina wisata, aksesibilitas, serta sarana prasarana penunjang mina wisata yang memerlukan lahan. Adanya kebutuhan akan penyediaan lahan mendorong terjadinya perubahan pada penggunaan lahan, salah satunya pada perubahan fungsi lahan. Pada Desa Janti dan Desa Wunut penambahan fungsi lahan terbesar pada pariwisata sebesar 9,5 ha
Creative Kampong and the Promotion of Sustainable Development Knowledge in Urban Grassroots: The Case of Surakarta
As the global trend is going into circular economy paradigm. The trend encourages business entities to focus on the production of durable, efficient, and reusable commodities to promote sustainable development. On the demand side, the market also gradually adjusts its preferences to commodities with sustainability values. With limited scale of capital, networks, and technology, Small and Medium Enterprises (SMEs) are usually lagged behind in catching new knowledge, especially those exchanged internationally. Sustainability, which is as an important knowledge under the circular economy trend, has caused serious problem for SMEs because those unable to catch the knowledge will be incompetent to serve the new market preferences and vulnerable to survive. Urban planning practices introduce the business district as one of spatial concepts to mediate the problem. It encourages enterprises with business linkages to locate next to each other and share activities and facilities. In Indonesia, the creative kampong is a local translation of business district concept, which emerges as a national hype. This research aims at studying the empirical case of the creative kampong and its knowledge transfer effectiveness for SMEs. By using the logic of Actor Network Theory (ANT) and focusing on the case study of four creative kampongs in Surakarta, we unravel the level of understanding of SMEs towards sustainability. Our data are based on stakeholder interviews and documentary reviews. The findings reveal that the majority of SMEs were understand of sustainability, and the creative kampong provided a significant contribution to ease the transfer knowledge process
Dampak perkembangan permukiman relokasi Kelurahan Mojosongo, Kota Surakarta terhadap perubahan spasial kawasan sekitarnya
Banjir besar di Kota Surakarta pada tahun 2007 menenggelamkan 1.571 rumah ilegal yang terletak di sempadan Sungai Bengawan Solo. Menanggapi persoalan tersebut, Pemerintah Kota Surakarta melakukan program relokasi dengan memindahkan permukiman terdampak ke lokasi yang aman. Salah satu lokasi tujuan relokasi yaitu Kelurahan Mojosongo Kota Surakarta. Sebagian besar masyarakat terdampak mendiami lokasi yang baru pada tahun 2010. Dalam kurun tahun 2010-2020, permukiman relokasi di Kelurahan Mojosongo mengalami perkembangan pada aspek fisik, sosial, maupun ekonomi masyarakat. Perkembangan tersebut akan memicu konsentrasi spasial pada kawasan sekitarnya, salah satunya yaitu tumbuhnya permukiman baru yang berdampak pada meningkatnya lahan terbangun pada kawasan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak perkembangan permukiman relokasi Kelurahan Mojosongo terhadap perubahan spasial kawasan sekitarnya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif, menggunakan teknik analisis skoring, overlay, dan deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perkembangan permukiman relokasi yang ditandai dengan meningkatnya luas hunian, berkembangnya kondisi infrastruktur permukiman, bertambahnya kegiatan sosial masyarakat, dan meningkatnya kondisi ekonomi masyarakat. Terjadinya perkembangan pada kawasan relokasi berdampak pada perubahan penggunaan lahan, peningkatan kepadatan bangunan, serta peningkatan kondisi prasarana pada kawasan sekitar. Sementara itu, perkembangan permukiman relokasi Kelurahan Mojosongo tidak memiliki kaitan dengan terjadinya perubahan transportasi umum pada kawasan sekitar
Perubahan karakteristik aktivitas perdagangan sebelum dan saat pandemi Covid-19 (studi kasus : kawasan perdagangan jasa Pasar Kliwon, Surakarta)
Kawasan Pasarkliwon merupakan salah satu pusat pelayanan kota di Surakarta dengan fokus kegiatan perdagangan seperti diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta tahun 2016-2021. Aneka ragam kegiatan perdagangan yang ada di kawasan Pasarkliwon, dari toko kelontong, swalayan, dealer, toko khusus, dan lainnya. Pada bulan Maret 2021, Indonesia dilanda wabah pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap seluruh aktivitas manusia, termasuk aktivitas perdagangan. Sebelum pandemi Covid-19, terdapat 63% penduduk menjadi pedagang dan saat pandemi meningkat menjadi 65%. Secara spasial, perubahan terjadi mulai dari ragam sarana perdagangan, jangkauan, luas lantai, jumlah pelaku, cara belanja, dan cara pembayaran. Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan seluruh karakteristik perdagangan kawasan Pasarkliwon mengalami perubahan karena harus beradaptasi dengan kebijakan pemerintah. Regulasi yang berdampak terhadap aktivitas perdagangan adalah pembatasan kegiatan masyarakat. Kebijakan lain yang berdampak terhadap jangkauan konsumen yang semakin meluas adalah adanya regulasi untuk melakukan aktivitas jual beli secara daring saat pandemi Covid-19. Selain itu, pedagang juga memfasilitasi konsumen untuk dapat melakukan belanja secara daring, termasuk cara pembayaran yang beraneka ragam untuk memudahkan transaksi pembayaran. Perubahan tersebut merupakan adaptasi pedagang dalam menghadapi pandemi dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi masyarakat luas
ECOCULTURAL CITY – HOW ACTUAL IS THIS CONCEPT IN THE ERA OF DISRUPTION OF PANDEMIC COVID 19?
This research explored the implementation of concept of Surakarta ecocultural city platform in the era of Pandemic Covid-19 in 2 case study areas of Balekambang Park as the Natural and Heritage Park and Jayengan Jewelry Kampung (JKP) as Heritage Creative Industry-based Kampung Tourism. Eco city is basically the concept to create new urban development to be more ecologically, liveable and Sustainable, while the cultural city refers to the city, which focusing on cultural and performance for branding the city. Ecocultural city is mainly related to connectivity among people, place and culture and this concept is mostly applicated in the tourism world, where to maintain this sustainably, this has to address people, place and its cultural relationship with biophysical aspects. Therefore, in the era of disruption of COVID-19, the ecocultural based of tourist destination areas are highly affected due to the loss of tourists visiting the areas. The research found that the model of People, place, technology and government proposes for increasing adaptability of people to the disruption condition, initiating resilient, creative, healthy and smart places, exhalating technology for added value of tourism product and improving resilience government to adapt, absorb the change, collaborating multi stakeholder partnership
Jejak karbon mahasiswa: perbandingan sebelum dan saat diberlakukan kebijakan belajar dari rumah
Pandemi Covid-19 telah mengubah pola mobilitas masyarakat. Pembatasan pergerakan harian diperkirakan akan mengubah banyak aspek dalam kehidupan manusia, termasuk diantaranya persepsi pada interaksi dan aktivitas secara daring, penggunaan kendaraan umum, maupun pola konsumsi. Penelitian ini mengonfirmasi bahwa secara umum terjadi reduksi jejak karbon setelah pandemi Covid-19 menyerang. Penelitian ini fokus pada kelompok mahasiswa yang mengalami perubahan karakteristik aktivitas perkuliahan semenjak pandemi. Data tentang frekuensi pergerakan, penggunaan peralatan listrik, dan konsumsi makanan dikumpulkan dari populasi mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Sebelas Maret sebagai dasar perhitungan perubahan jejak karbon mahasiswa sebelum dan saat implementasi kebijakan belajar dari rumah. Analisis dengan metode kuantitatif menunjukkan bahwa jejak karbon mahasiswa berkurang, baik pada aspek kegiatan harian, aktivitas akademik maupun transportasi. Persentase terbesar pada aspek akademik ditunjukkan dengan lebih dari 80% pengurangan penggunaan kertas. Perubahan lingkungan tinggal mahasiswa menunjukkan bahwa mahasiswa yang kembali ke rumah mencatat penurunan jejak karbon yang lebih besar ketimbang mahasiswa yang masih bertahan untuk tinggal di kost di sekitar kampus UNS. Perubahan kebiasaan dalam aktivitas harian mahasiswa selama pandemi menunjukkan bahwa pandemi membawa efek positif dalam pengurangan jejak karbon. Penelitian ini merekomendasikan kolaborasi pembelajaran dalam jaringan dengan luar jaringan pada saat pandemi berakhir untuk mengurangi jejak karbon mahasiswa dalam jangka waktu yang lebih lama
Strategi Menuju Kampus Berkelanjutan (Studi Kasus: Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret)
Modal sosial dalam upaya pengelolaan sampah berkelanjutan di Kampung Iklim Joyotakan Surakarta
Keterbatasan lahan dalam penyediaan prasarana persampahan menjadi salah satu tantangan dalam pengelolaan sampah. Sampah juga turut menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca yang berimplikasi pada perubahan iklim. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia mencanangkan program kampung iklim sebagai bentuk peningkatan kapasitas mitigasi terhadap perubahan iklim melalui serangkaian kegiatan, salah satunya adalah pengelolaan sampah berkelanjutan. Pergeseran paradigma pengelolaan sampah konvensional menuju konsep berkelanjutan dengan prinsip reuse, reduce, dan recycle (3R) mulai diimplementasikan. Modal sosial menjadi salah satu aspek penting keberhasilan program yang berbasis pada partisipasi masyarakat. Wilayah studi dalam penelitian ini adalah Kampung Iklim Joyotakan yang ditetapkan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Surakarta pada tahun 2017. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana modal sosial dalam upaya pengelolaan sampah di Kampung Iklim Joyotakan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari empat aspek modal sosial yang menjadi fokus pembahasan pada penelitian ini, yaitu kualitas/kapasitas sumber daya manusia, bentuk interaksi/organisasi sosial, kepemimpinan, dan penyelenggaraan pemerintahan, memiliki hubungan yang positif terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Meskipun terdapat beberapa hal yang potensial untuk memperkuat modal sosial dalam konteks untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Di antaranya adalah peningkatan nilai tambah dalam pengelolaan sampah agar memiliki nilai ekonomi, transfer pengetahuan terkait pengolahan dan teknologi pengolahan sampah kepada seluruh masyarakat karena ada potensi interaksi sosial yang cukup besar, dan pelibatan masyarakat yang lebih besar (penerapan model bottom up) dalam berbagai program yang diinisiasi oleh berbagai stakeholder.</jats:p