2 research outputs found

    RELATIONSHIP OF METHYL MERCAPTAN AND HYDROGEN SULFIDE LEVELS WITH TANNERELLA FORSYTHIA QUANTITY IN PERIODONTITIS PATIENTS WITH HALITOSIS AND DIABETES MELLITUS

    Get PDF
    Objective: Halitosis may be caused by several factors, including various types of food, periodontal diseases, layer of tongue bacteria, and systemicdisorders such as diabetes mellitus (DM), which is a chronic disease that affects the health of periodontal tissue. The present study aimed to assessthe association between the quantity of Tannerella forsythia bacteria and the levels of methyl mercaptan and hydrogen sulfide in periodontitis patientswith type 2 DM (T2DM).Methods: Gingival crevicular fluids (GCF) were collected from 20 patients who were divided into those with periodontitis and who were normoglycemic(n=8); those with periodontitis and T2DM (n=8); and healthy controls (n=4). The patients underwent intraoral periodontal tissue examination,including pocket depth, attachment loss, plaque index, calculus index, and papilla bleeding index. The quantity of T. forsythia bacteria was evaluatedusing quantitative real-time reverse transcription–polymerase chain reaction. The relationship between the number of T. forsythia bacteria and thelevels of methyl mercaptan and hydrogen sulfide in the patients was analyzed by Spearman’s correlative tests.Results: There is a weak and non-significant correlation (p>0.05) between the levels of methyl mercaptan and hydrogen sulfide and the quantity ofT. forsythia in the GCF and tongue coating of periodontitis patients with halitosis regardless of the presence of T2DM.Conclusion: This study suggests no significant relationship between the levels of methyl mercaptan and hydrogen sulfide and the quantity ofT. forsythia in periodontitis patients with halitosis and DM

    Komunikasi Antarbudaya dalam Perspektif Periklanan Kreatif

    Full text link
    Manusia dan budaya merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan di dalam kehidupan sehari-hari, oleh karenanya manusia bersikap dan berperilaku tidak terlepas dari nilai-nilai yang mereka anut berdasarkan budaya yang terjadi di lingkungan sekitarnya dan di dalam kehidupannya sehari-hari, baik itu nilai spiritual (keagamaan) maupun nilai-nilai sosial dan budaya. Nilai-nilai sosial dan budaya tersebut merupakan hasil interaksi antara individu dengan anggota masyarakat lainnya, yang kemudian mewujud dalam berbagai bentuk budaya seperti artefak, seni, upacara-upacara, bahasa, ataupun nilai-nilai. Nilai-nilai yang diyakini tersebut biasanya akan menentukan apa yang dianggap baik dan buruk oleh seseorang, keluarga, kelompok maupun masyarakat di sekitarnya, sehingga pada akhirnya akan menjadi referensi dalam bersikap maupun bertingkah laku di kesehariannya. Dalam konteks pemasaran maupun periklanan, budaya dapat dilihat sebagai suatu aspek makro yang berpengaruh pada pengambilan keputusan individu seorang konsumen. Dalam praktik komunikasi antarbudaya atau komunikasi lintas budaya, hampir semua orang berasumsi yang merupakan asumsi budaya paling umum, bahwa kita semua adalah sama. Asumsi ini tidak sepenuhnya salah, tetapi disaat yang sama kita menunjukkan bahwa kita telah mengabaikan kesadaran budaya mengenai hakikat perbedaan budaya (Liliweri, 2021)
    corecore