61 research outputs found

    Genetic parameter estimation of rambutan seedling morphologicaltraits for a better rootstock performance = Pendugaan parameter genetik terhadap sifat morfologi semai ramb utan untuk memperbaiki kinerja batang bawah.

    Get PDF
    Perbaikan mutzt batang bawah rambutan perlu dilakukan dengan menyeleksi pohon-pohon lokal yang zuriatnya memiliki sifat-sifat baik. Variansi genetik, daya warts, serta korelasi genetik dan fenotipik dart diameter batang, tinggi tanaman, volume akar, dan panjang akar primer dart semai rambutan diduga untuk memperoleh informasi mengenai sifat yang dapat diseleksi, efektivitas seleksi tak langsung, dan macam seleksi yang sebaiknya dilakukan. Bpi-biji Bari sembilan betas tanaman rambutan lokal, dipilih secara acak, yang tumbuh di Salaman, Magelang, ditanam di polibag dan disusun menurut Rancangan Acak Kelompok Lengkap berulangan tiga. Perlakuan berupa baris-baris yang masing-masing terdiri dart dua puluh semai. Pengamatan dilakukan 20 minggu setelah tanam. Selain itu, gaya berkecambah diamati pula tiga minggu setelah tanam dan diameter batang juga diamati delapan minggu setelah tanam. Perkecambahan terjadi sepuluh hart setelah tanam, dengan gaya berkecambah 90% untuk sebagian besar famili, Daya warts tinggi tanaman dan korelasi genetiknya dengan sifat-sifat lain ternyata tinggi sehingga seleksi tidak langsung untuk memperbaiki keragaan batang bawah dapat dilakukan melalui sifat ini. Nilaiduga daya warts diameter batang pada minggu kedelapan melebihi sate. Pada saat itu, cadangan makanan pada biji diduga masih mengimbas sehingga memperbesar kemiripan dalam famili. Uji zuriat dipandang sebagai cara seleksi yang paling sesuai untuk keperluan pemilihan tetua sumber batang bawah. Kata kunci: parameter genetik, rambutan (Nephelium lappaceum famili-saudara tiri, batang bawa

    Analisis Genetik Generasi F2 Hasil Persilangan Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Tipe Merambat dengan Tipe Semak

    Get PDF
    Buncis (Phaseolus vulgaris L.) adalah salah satu tanaman legum penting yang ditanam di semua benua dan bernilai ekonomi tinggi. Buncis Kenya adalah kultivar introduksi dari Kenya, Afrika, memiliki tipe tumbuh tegak (bush type), sedangkan buncis lokal diartikan sebagai buncis yang lazim ditanam di Indonesia, memiliki karakter tipe tumbuh merambat (climbing type). Persilangan antara buncis Kenya dan buncis lokal dapat memperluas latar belakang genetik buncis yang ditanam di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan buncis dengan tipe tumbuh tegak dan mengevaluasi keragaman genetik generasi F2 hasil persilangan tanaman buncis lokal Temanggung dan buncis Kenya. Penelitian dilaksanakan di greenhouse, rumah kasa, dan Laboratorium Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada pada bulan November 2018 hingga Juli 2019. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu jenis benih buncis lokal Temanggung dan satu jenis buncis Kenya hasil introduksi sebagai tetua, generasi F1 sebagai hasil persilangan kedua tetua, dan generasi F2. Generasi F1 memiliki sifat-sifat kombinasi kedua tetua. Karakter-karakter yang terekspresi pada generasi F1 dan F2 lebih banyak dipengaruhi oleh tetua lokal, sehingga karakter yang terdapat pada tetua Kenya, terutama pada karakter tinggi tanaman dan tipe pertumbuhan belum terlihat pada generasi F2. Nilai heritabilitas arti luas pada karakter kuantitatif tergolong sedang hingga tinggi, namun karakter-karakter tersebut belum dapat dijadikan sebagai acuan di dalam tahap seleksi. Pada karakter kualitatif tipe pertumbuhan, posisi polong, dan warna biji dapat diduga dikendalikan oleh beberapa gen pada dua lokus

    Tolerance of T2 Generation ‘Kitaake’ Rice (Oryza sativa L.) CRISPR/Cas9-OsGA20ox-2 Mutant Strains to Drought Condition

    Get PDF
    Rice (Oryza sativa L.) is important staple crop in Indonesia. Food demand that continues to rise while inadequate land could be managed by assembling superior cultivar using CRISPR-Cas9 system method. Editing the genome by mutating the GA20ox-2 gene could improve both crop yield and ability to thrive in marginal land (drought). This experiment aims to obtain non-transgenic mutant plants (non Cas9 and hpt genes), gain information on GA20ox-2 gene expression levels, and study the tolerance levels of the CRISPR /Cas9-OsGA20ox-2 mutant lines 'Kitaake' T2 generation against drought conditions. Planting material using a mutant gene GA20ox 2 ‘Kitaake’ (K23.1, K15, K29.1, K19.1) and wild-type comparison. From 20 plants, respectively the K23.1, K15, K29.1, and K19.1 lines have 50%, 50%, 0%, and 45% of non-transgenic plants. DNA mutations in the form of deletion 44 bases (K23.1, K29.1, K19.1) and insertion of two bases (K15) are transcribed into RNA. The transcription results in a number of lower amino acids compare to its wild type (389 amino acids). The lines K23.1, K29.1, K19.1 have 373 amino acids and the K15 line has 300 amino acids (frameshift). Differences in the number of amino acids result in different phenotypic expressions. K15 mutant line has lower plant height and leaf length than the other mutant lines and wild type. The decrease does not decrease the potential of the crop. Mutations in the K15 line did not indicate better tolerant response to drought stress than other mutant lines and wild type in both vegetative and generative phase.

    Performance of Biochemical Compounds and Cup Quality of Arabica Coffee as Influenced by Genotype and Growing Altitude

    Get PDF
    Arabica coffee (Coffea arabica) cultivation in the medium altitude (700-900 m above sea level, asl.) will face problems such as decreasing productivity, physical, biochemical and cup quality and increasing intensity of pest and diseaseattacks. Utilization of plant material that has good productivity and cup quality, resistance to pests and diseases is an effort that can be done to overcome theseproblems. The aims of this study is to evaluate performance of Arabica coffee quality grown at high and medium altitude area, as well as biochemical compound and cup quality changes that occur due to influence of genotypes and genotype × altitude interactions. Eight genotypes of Arabica coffee were evaluated at two locations namely KP Andungsari (1,250 m asl.) and Kalibendo (700 m asl.). The field design for each location was randomized complete block design with three replicates. Observations were made on the two quality aspects, namely the biochemical compounds and cup qualities. The result on the biochemical compounds showed that the altitude significantly affect to the content of caffeine, sucrose, and trigonelline. Effect of genotype × altitude occured to the caffeine, trigonelline, and sucrose content. Diversity of chlorogenic acid content was caused by the genotype effect. Cup test results showed that genotypes grown at high altitude had a better cup quality than genotypes on medium altitude. Cup quality variables that were changed due to altitude difference were fragrance and aroma, flavor, aftertaste, acidity, balance, and overall, while the cup quality variable that did not changed was the body. Characters of coffee aroma at the high altitude were floral, spicy and fruity, while at the medium altitude were herbal, green and grassy. The best quality genotype at the high altitude was K8, while at the medium altitude was K29. Environment (altitude) gives greater influence to the formation of coffee flavor variations produced compared to genotypes

    Evaluation of the crossings between local and drought-tolerant rice varieties using simple sequence repeat (SSR) molecular marker

    Get PDF
    Two cultivars of local rice, namely Mentik Wangi and Mentik Susu, have been grown around west to south flank of Merapi volcano. They are highly valued for their good taste and cooking characteristics. An attempt to introduce drought-tolerant rice varieties has been conducted by crossing them with two sources, namely Kasalath and Bluebonnet. Molecular-assisted selection using a set of SSR markers was applied to check the F1 and F2 generation trueness and segregation. This research was conducted in the facilities of Department of Agronomy, Faculty of Agriculture, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. The research was a field experiment arranged in a completely randomized design, consisting of Mentik Wangi, Mentik Susu, Bluebonnet, and Kasalath, as well as their crossings’ F1 and F2 plants as treatments. The SSR markers used are RM72, RM228, RM518, and RM20(A). Polymorphism test of the parents showed that polymorphism exists between local and donor parents, thus these markers were considered eligible for the F1 and F2 tests. The heterozygous individuals of F1 were 75% for Bluebonnet × Mentik Wangi, 44.4% for Bluebonnet × Mentik Susu, and 46.7% for Mentik Wangi × Bluebonnet; all were consistent in every primer used. We could not confirm that the F2 populations showed segregation pattern that followed Mendelian segregation in some crosses due to too small size of the sample. Heterozygous individuals in F2 showed the differences pattern for each marker, indicating that the location of the SSR markers were far from each other in the genome

    Morphological characterization of six Lombok upland rice cultivars

    Get PDF
    Lombok upland rice is one of the cultivars that have the potential as a genetic source. However, Lombok upland rice is almost rarely found. Therefore, conservation was carried out through morphological characterization to provide genetic information. This study aimed to describe the characteristics of six Lombok upland rice cultivars, namely, Reket Putek Bulu, Reket Putek Buntung, Reket Bireng Bulu, Reket Bireng Buntung, Pare Beaq Sapit, and Beaq Ganggas. A completely randomized design was used, consisting of these six Lombok upland rice cultivars as treatments. Two superior cultivars were also used for comparison. The study revealed sufficient divergence for various qualitative and quantitative traits. Pare Beaq Sapit and Beaq Ganggas shared common morphological characters, and both were tall plants. The auricle and ligule colors of Reket Bireng Bulu were different from those of the other cultivars. Reket Putek Buntung had the latest flowering and harvesting age. Reket Putek Bulu and Reket Bireng Buntung had a high number of productive tillers. Six cultivars of Lombok upland rice were characterized to have morphological diversity, so that they are expected to be used as genetic material in rice plant breeding, thereby developed to avoid extinction

    Uji Kebenaran Enam Kultivar Cabai Keriting (Capsicum annuum L.)

    Get PDF
    INTISARICabai adalah salah satu sayuran yang paling penting di Indonesia, terutama pada pemanfaatannya yang luas dan bernilai ekonomi tinggi. Permintaan untuk menanam sayuran asal Amerika Selatan ini selalu tinggi, meningkatkan pelaporan praktek-praktek pelanggaran dalam pasokan benih, dalam bentuk sengaja mengurangi atau mengubah kemurnian kultivar,  yang melanggar praktik bisnis yang baik.  Untuk  menanggulangi praktek  pelanggaran seperti  itu, kontrol rutin pada benih yang dijual di tingkat petani perlu dilakukan. Sayangnya, prosedur standar untuk kontrol tersebut belum  tersedia di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk  memberikan prosedur yang dapat dianggap sebagai awalan dan mungkin menjadi pembahasan pada perkembangan selanjutnya.Enam kultivar cabai dikumpulkan dari pasar terbuka.  'Lado',  yang  merupakan produk  populer  dari  East  West  Seed,  diperoleh  dari  pasar  di  Medan  (A1), Makassar (A2), Tangerang (A3), dan Mataram (A4). 'Princess-06', sebuah produk dari PT Benih Inti Subur Intani, diperoleh dari Lembang (B1), Sleman (B2), dan Mataram (B3). Empat kultivar berikutnya adalah produk dari P T Oriental Seed Indonesia. 'OR Charming' diperoleh dari Serang, dan 'OR Twist 22', 'OR Twist 33', dan  'OR  Twist  42'  diperoleh  dari  Magelang.  Dua  lokasi  yang  dipilih  untuk penelitian ini: Krukut, Depok, Jawa Barat, dari bulan Mei hingga Oktober tahun 2012 (+ 90  m dpl) dan Cikole,  Lembang, Jawa Barat, dari bulan Mei hingga November 2012  (+ 1.250  m dpl).  Keseragaman dalam dan di antara sumber-sumber pasar dalam satu kultivar diuji berdasarkan karakter fenotipik kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan karakter yang sama, kesesuaian pada deskripsi dari masing-masing kultivar juga diuji.Keseragaman dalam dan di antara sumber-sumber pasar dari kultivar yang sama terbukti sah, berdasarkan karakter kualitatif maupun kuantitatif. Hasil ini didasarkan  pada  analisis  varians  untuk  sifat  kuantitatif dan didukung dengan analisa komponen utama. Ambang batas untuk sifat kuantitatif, memperhitungkan penyimpangan maksimum 5% dari jumlah sampel.Uji kebenaran deskripsi berdasarkan pada karakter kualitatif menyimpulkan bahwa hampir semua ciri sesuai dengan deskripsi masing-masing kultivar. Beberapa perbedaan diasumsikan sebagai hasil salah tafsir. Namun, pada karakter kuantitatif menunjukkan performa lebih rendah di kedua lokasi, performa diamati untuk semua sampel pada semua variabel kuantitatif dengan hanya sejumlah kecil outlier (pencilan). Hasilnya menimbulkan dugaan bahwa uji performa untuk pendaftaran kultivar dilakukan di bawah lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan pada penelitian ini, dan hasil ini menimbulkan isu ketidakstabilan.Kata kunci: uji kebenaran deskripsi, cabai, agromorfologi, uji keseragaman

    High Resolution Microsatellite Marker Analysis of Some Rice Landraces Using Metaphor Agarose Gel Electrophoresis

    Get PDF
    Microsatellite markers or simple sequences repeats are DNA - based molecular techniques that areused to see the different among accessions and inbred lines. There are three methods to analysis the results ofthe polymerase chain reaction of microsatellite markers namely polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE),capillary electroforesis, and Metaphor Agarose Gel Electroforesis (MAGE), and the Use of MAGE assessedmore easily and economically the polymorphic pattern of DNA markers. This study aimed to obtain fast,effective and efficient in term of easy and cheap technique to identify microsatellite markers of some blackrice cultivars and F2 populations from crosses between black with white rice. The results showed that MAGEsuccessfully separated clearly SSRs alleles with different sizes of less than 25 bp

    Karakterisasi Morfologi dan Molekuler Jagung Berondong Stroberi dan Kuning (Zea mays L. Kelompok Everta)

    Get PDF
    Jagung berondong (Zea mays Kelompok Everta) merupakan salah satu jenis jagung yang memiliki biji kecil yang keras dan meletup ketika dipanaskan.Jagung berondong memiliki banyak warna seperti kuning (jagung berondong kuning) dan merah (jagung berondong stroberi). Jagung berondong stroberi memiliki biji berwarna merah dan tongkolnya berbentuk seperti buah stroberi, sehingga digemari sebagai hiasan karena keindahannya. Jagung berondong kuning bijinya berwarna kuning dan lebih besar daripada jagung berondong stroberi.Studi keragaman genetik tentang jagung berondong masih langka. Penelitian tentang karakterisasi morfologi dan molekuler menggunakan penanda RAPD pada jagung berondong stroberi dan kuning dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam kegiatan awal pemuliaan tanaman jagung berondong. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan karakter morfologi pada jagung berondong stroberi dan kuning; menghitung nilai keragaman genetik berdasarkan penanda RAPD; mengetahui hubungan kekerabatan berdasarkan karakter morfologi dan molekuler; dan mencari pita spesifik yang mencirikan jagung berondong stroberi dan kuning. Penelitian ini menggunakan jagung berondong stroberi dan kuning, karakter morfologi yang diamati meliputi daun, batang, bunga, dan tongkol. Karakter molekuler menggunakan penanda RAPD dengan 5 primer terpilih, yaitu OPA 2, OPA 3, OPA 16, OPD 5, dan OPH 18. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jagung berondong stroberidan kuning memiliki deskripsi yang berbeda. Keragaman genetik pada jagung berondong stroberi sebesar 0,158 dan kuning sebesar 0,159. Berdasarkan 17 karakter morfologi dan molekuler, maka kedua jenis jagung berondong tersebut terbagi menjadi dua kelompok dengan jarak pada skala 5,5, yaitu jagung berondong stroberi dan kuning. Primer yang menghasilkan pita spesifik yang mencirikan jagung berondong stroberi, yaitu OPD 5 dengan ukuran 1500 bp, sedangkan primer yang menghasilkan pita spesifik pada jagung berondong kuning, yaitu OPA 16 dengan ukuran 300 bp. Kata kunci: jagung berondong stroberi, jagung berondong kuning, RAPD, keragama

    Studi Keragaman Genetik Dua Puluh Galur Inbred Jagung Manis Generasi S7

    Get PDF
    Penelitian ini mengevaluasi keragaman genetik dua puluh galur inbred jagung manis populasi S7.  Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi keragaman genetik dua puluh galur inbred, heritabilitas dalam arti luas, korelasi genetik dan analisis lintasan, dan jarak genetik antar galur inbred jagung manis. Percobaan lapangan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan perlakuan dua puluh galur inbred dan tiga ulangan. Analisis data menggunakan ANOVA, korelasi genetik, dan analisis klaster. Koefisien keragaman genetik yang diperoleh mengindikasikan adanya keragaman genetik antar galur yang diuji. Heritabilitas menunjukkan nilai yang tinggi pada semua variabel kecuali jumlah baris biji. Karakter panjang tongkol dan diameter tongkol memiliki korelasi dan pengaruh langsung yang tinggi terhadap bobot tongkol. Analisis klaster menghasilkan tiga kelompok pada nilai koefisien similarity 70%. Kelompok yang memiliki koefisien similarity paling rendah memiliki jarak genetik terjauh dan dianjurkan sebagai tetua untuk pembuatan hibrida dengan heterosis tinggi
    corecore