4 research outputs found
Membangun Kemandirian Pangan Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional
Pangan merupakan Hak Azasi Manusia, pangan juga menentukan kualitas sumberdaya manusia suatu bangsa dan pangan merupakan pilar ketahanan nasional. Ketahanan pangan merupakan pilar pembangunan sektor lainnya. Ketergantungan pangan dari impor dan ketidakmampuan suatu bangsa mencapai kemandirian pangan akan menyebabkan ketahanan nasional akan terganggu. Beberapa tahun terakhir terjadi kelangkaan pangan di pasar dunia yang ditunjukkan dengan adanya kenaikan harga pangan yang dipicu oleh kenaikan harga minyak bumi, menurunnya produksi pangan beberapa negara penghasil pangan, konversi pangan menjadi energi dan meningkatnya permintaan pangan dari negara yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi dan dengan populasi yang besar. Situasi pasar pangan dunia mempengaruhi pasar pangan domestik yang ditandai dengan adanya kenaikan harga pangan di pasar domestik dan kelangkaan komoditas pangan yang tingkat penyediaannya berasal dari impor masih tinggi, seperti kedelai dan jagung. Secara umum, Indonesia masih merupakan negara importir pangan. Upaya diversifikasi pangan dengan memanfaatkan keragaman pangan yang bersumber dari dalam negeri belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Tingkat konsumsi beras masih tinggi dan diversifikasi pangan menggunakan bahan baku tepung terigu memperbesar posisi impor pangan Indonesia. Upaya peningkatan produksi pangan masih menghadapi masalah internal seperti konversi lahan, penyediaan input pertanian terutama benih dan pupuk, serta keterbatasan infrastruktur untuk kelancaran distribusi. Peningkatan produksi pangan juga masih tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pasar dan modal yang pada umumnya dikuasai oleh negara maju. Sementara negara berkembang seperti Indonesia hanya dijadikan pasar yang akan terus bergantung pada negara maju. Untuk mencapai kemandirian pangan, pemerintah harus mengambil langkah keberpihakan dan kebijakan yang kondusif serta intervensi melalui optimalisasi peran Bulog sebagai Badan Usaha Milik Negara yang melakukan fungsi operasi pasar, penyanggaan stok, distribusi, impor dan ekspor
Indonesian Rural Women: the Role in Agricultural Development
The women involved their roles and differing positions in society, however usually women are neglected in rural development even they experience equal status in the household decision-making process and are often described as the silent head of the home or “informal” power. Their roles in this societal context cover the spheres of human reproduction and equally important agricultural and household production, self-employment in the informal market sector and as wage laborers. The work of women and men differ yet the population is treated as one undifferentiated unit in some subsequent sections education, health and economic development. It is difficult to believe that women and men would play similar roles in economic development if their work ethic is so different. This reflected that women are not included in development planning. The reason why women excluded in development planning are they not given equivalent access to land, credit or extension services. Women also have potential to contribute to agricultural productivity beside the productivity of domestic activity is another extremely important area which should not be ignored by planners. Gender issues in development are a relatively new area of research of much importance because of its potential impact on shaping the societies of developing countries. Indonesia is in a good position to integrate rural women into development because social values in its cultures such as the Javanese already provide them with relatively egalitarian status. The lack of consideration, however, for women in the development literature reflects a need for development officials to start including them with the goal of development being one that benefit to the whole rural community. There is evidence to indicate that by eliminating barriers to women's access to productive assets, they can fully participate and be recognized as important partners in the development process
Analisis Keunggulan Komparatif Beras Indonesia
Komoditas beras menjadi sumber pangan utama bagi 95 persen penduduk di Indonesia. Produksi padi tahun 2013 diperkirakan sebesar 70,87 juta ton gabah kering giling (GKG) setara dengan 42,52 juta ton beras atau naik 0,26 persen dibanding produksi padi 2012 yang tercatat 69,1 juta ton GKG. Di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2014 mencapai 250 juta jiwa dengan pertumbuhan yang melaju dengan cepat yakni sebesar 1,27 persen per tahun pada periode tahun 2005-2010. Konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia mempunyai kecenderungan mengalami penurunan yakni dari 139 kg/kapita/tahun pada tahun 1993 menjadi 113 kg/kapita/tahun pada tahun 2012. Total konsumsi beras nasional mencapai 34,75 juta ton. Dengan demikian, seharusnya Indonesia sudah swasembada beras. Di masa depan, kalkulasi Indonesia akan kekurangan beras jauh lebih realistis ketimbang surplus beras, oleh karena itu kebijakan peningkatan ekonomi dan daya saing beras perlu diarahkan ke dalam bentuk kebijakan operasional baik dari sisi produksi maupun permintaan dalam upaya mencapai target swasembada beras berkelanjutan dan surplus beras nasional sebesar 10 juta ton pada tahun 2014. Dari hasil analisis keunggulan komparatif ini menunjukkan bahwa nilai Indeks Spesialisasi Pemasaran (ISP) beras baik segar maupun olahan mempunyai nilai negatif pada kisaran antara -1,0 hingga -0,71 yang berarti bahwa beras Indonesia mempunyai daya saing yang sangat rendah dan terus mengalami penurunan daya saing dari tahun ke tahun. Berdasarkan nilai Import Depedency Ratio (IDR) beras mempunyai nilai 0,80 - 1,02 persen, ini berarti supply beras Indonesia masih tergantung pada beras impor walaupun dalam kuantitas yang kecil, terutama pada jenis beras segar. Nilai Self-Sufficiency Ratio (SSR) beras Indonesia dari tahun 2008 – 2012 lebih dari 90 persen, yang berarti bahwa hampir sebagian besar kebutuhan beras dalam negeri dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Hasil perhitungan nilai Revealed Symmetric Comparative Advantage (RSCA) menunjukkan bahwa beras Indonesia tidak mempunyai daya saing di pasar dunia. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RSCA yang negatif yaitu sekitar -0,96hingga -0,99 persen pada tahun 2008-2012
Multi Stakeholder Engagement in Indonesia Sustainable Palm Oil Governance
Natural resource management generally involves parties with conflicting interests and roles. The emergence of a negative issue on palm oil development in Indonesia heralded by NGOs and vegetable oil competitor countries, for some groups, is considered merely a trade war. The rapid development of Indonesia's oil palm has made this commodity a source of global vegetable oil as well as risen a controversy over its sustainability aspects covering environmental, socio-economic and health issues. The significant increase of palm oil research led to the need to enrich the study's discussion on the sustainability aspect and involved the participation of the related stakeholders. This study is an early stage of a research based on the environmental communication theory to identify the problems and analyze the stakeholders involved in palm oil governance in Indonesia by using stakeholder analysis tools. The methods of data collection in this study included literature review, text analysis, in-depth interviews as well as direct observations. The study finding shows that the Ministry of Agriculture as the main actor in palm oil governance in Indonesia is required to share its authority. This indicates that palm oil sustainability issue is not the responsibility of a particular ministry but has become a national issue that requires the participation and collaboration of all relevant stakeholders