22,234 research outputs found
Perlindungan Hukum terhadap Kebebasan Berpendapat melalui Media Sosial Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia.
ABSTRAK
Yusrizal(2024):Perlindungan Hukum terhadap Kebebasan Berpendapat melalui Media Sosial Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia.
Kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.namun,praktik di lapangan menunjukkan adanya kriminalisasi dan pelanggaran hak,terutama di media sosial,seperti ancaman,pembatasan berlebihan dan penggunaan hukum represif seperti UU ITE.Media sosial menjadi ruang baru untuk berpendapat,tetapi sering disalahgunakan untuk menyebarkan hoaks,ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum menjamin kebebasan berpendapat di media sosial dalam kerangka hak asasi manusia. Selain itu penelitian ini juga berupaya menemukan solusi terhadap kebebasan berpendapat di media sosial berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Jenis penelitian pada skripsi ini adalah penelitian normatif yuridis dengan pendekatan deskriptif analisis.data yang digunakan adalah bahan hukum primer,sekunder,dan tersier yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun kebebasan berpendapat di media sosial dijamin oleh UUD 1945 dan undang-undang terkait,masih tetap diperlukan batasan yang sah untuk menghindari penyalahgunaan ,seperti penyebaran informasi palsu dan ujaran kebencian.selain itu,diperlukan mekanisme hukum yang efektif untuk melindungi hak kebebasan berpendapat ini.baik dalam bentuk regulasi pemerintah maupun kebijakan platform digital,guna memastikan keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan perlindungan terhadap hak-hak orang lain serta keamanan publik.
Kata Kunci:Kebebasan berpendapat,Media Sosial,Hak Asasi Manusi
Hak Kebebasan Berpendapat Di Media Sosial Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Kebebasaan berpendapat merupakan hak setiap orang dalam mengutarakan pendapatnya mengenai kritik, saran, dan opini. Seiring berjalannya waktu perkembangan teknologi dan maraknya media sosial menjadikan media sebagai alat untuk mengemukakan pendapat secara bebas dan terbuka karena dianggap lebih relevan dan bisa terhubung dengan masyarakat luas, dengan berbagai tulisan maupun lisan melalui media sosial, dengan mudah orang menuangkan isi pikiran, pendapat, argument dengan berbagai tulisan dan lisan di media sosial. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang masih sering di langgar. Sampai saat ini, masih banyak orang yang belum menghargai dan menghormati hak kebebasan berpendapat seseorang. Tidak sedikit kasus yang terjadi akibat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak kebebasan berpendapat. Tujuan dilakukan penelitian ini yaitu untuk mengetahui perlindungan atas hak kebebasan berpendapat di media sosial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan untuk mengetahui hak kebebasan berpendapat di media sosial dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Metode penelitian dalam penelitian ini yaitu penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun sebagai law as it decided by judge through judicial process. Hasil penelitian dalam penelitian ini yaitu perlindungan kebebasan berpendapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) belum mendapat perlindungan sebagaimana mestinya. Dalam Undang-Undang ITE ini, hanya terdapat satu ketentuan pasal yang berkaitan dengan hak kebebasan menyatakan pendapat melalui media internet dalam hal ini media sosial, yaitu dalam Pasal 27 ayat (3). Pasal tersebut diatur dalam Bab tentang Perbuatan yang Dilarang, sehingga dapat dikatakan hanya memuat kewajiban yang harus dipenuhi oleh orang yang memanfaatkan teknologi internet, sehingga cenderung bersifat mengekang kebebasan berpendapat, sebab tanpa dicantumkan secara jelas hak-hak yang dapat dimiliki oleh pengguna (user) dalam memanfaatkan media internet untuk berkomunikasi dengan orang lain. Hak kebebasan berpendapat di media sosial dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), merupakan bagian dari hak generasi pertama yang indentik dengan hak sipil dan politik seseorang selain sebagai hak pribadi yang menuntut pemenuhan serta perlindungannya tidak dapat dikurangi atau dibatasi oleh siapapun dan oleh apapun, bahkan negara sekalipun. Mengingat bahwa hak yang dimiliki oleh seseorang membawa konsekuensi adanya kewajiban untuk menghormati hak orang lain atau adanya keterkaitan antara hak individu dengan individu lain atau dengan masyarakat sosial. Maka hak ini memang perlu mendapatkan pembatasan-pembatasan dimana berperan juga sebagai suatu etika dalam berinteraksi melalui berbagai media, tak terkecuali lewat media sosial
The Right to Freedom of Expression on Social Media in the Perspective of Human Rights and Islam
Freedom of expression is one of the human rights (HAM) that is still often violated. Until now, there are still many people who do not respect and respect one's right to freedom of expression. The purpose of this study is to protect the right to freedom of expression on social media under Law on Information and Electronic Transactions (ITE) and the right to freedom of expression on social media from the perspective of human rights (HAM) and Islam. The method used in this research is normative legal research or instructional research. The results of the research obtained are that the protection of freedom of expression has not received adequate protection in Law No. 19 of 2016 amending Law No. 11 of 2008 on Information and Electronic Transactions (ITE). In this ITE Act there is only one article provision related to the right to freedom of expression through internet media, in this case social media, namely Article 27(3). The right to freedom of expression in social media belongs to the first generation of rights from a human rights perspective, which are identical to a person's civil, political and religious rights, save for a personality right that requires their fulfilment and protection.Keywords: Right to Freedom, Opinion, Islam AbstrakKebebasan berpendapat merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang masih sering di langgar. Sampai saat ini, masih banyak orang yang belum menghargai dan menghormati hak kebebasan berpendapat seseorang. Tujuan dilakukan penelitian ini yaitu untuk mengetahui perlindungan atas hak kebebasan berpendapat di media sosial yang diatur dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan untuk mengetahui hak kebebasan berpendapat di media sosial dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan Islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif atau penelitian doktrinal (doctrinal research). Hasil penelitian yang didapatkan yaitu perlindungan kebebasan berpendapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) belum mendapat perlindungan sebagaimana mestinya. Dalam Undang-Undang ITE ini, hanya terdapat satu ketentuan pasal yang berkaitan dengan hak kebebasan menyatakan pendapat melalui media internet dalam hal ini media sosial, yaitu dalam Pasal 27 ayat (3). Hak kebebasan berpendapat di media sosial dalam perspektif Hak Asasi Manusia, merupakan bagian dari hak generasi pertama yang identik dengan hak sipil, politik, beragama seseorang selain sebagai hak pribadi yang menuntut pemenuhan serta perlindungannya.Kata Kunci: Hak Kebebasan, Berpendapat, Isla
Perlindungan Hak Untuk Menyampaikan Pendapat Melalui Media Sosial Dalam Konteks Tindak Pidana Penghinaan Berdasakan Hukum Pidana di Indonesia
Undang-undang sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan sekaligus memberikan kepastian hukum atas setiap tindakan atau transaksi di ruang maya. Namun, seiring berjalannya waktu dalam implementasi Undang-undang tersebut banyak menuai kritik dan kontroversi karena dianggap sebagai tameng dan tangan besi penguasa untuk membungkam kebebasan berpendapat masyarakat terutama di ruang maya atau media sosial. Selain itu kriminalisasi perbuatan penghinaan/pencemaran nama baik juga dijadikan senjata yang mematikan untuk membungkam pendapat-pendapat tajam yang mengkritisi penguasa Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 A UU ITE berusaha untuk memberikan perlindungan atas hak-hak individu maupun institusi, dimana penggunaan setiap informasi melalui media yang menyangkut data pribadi seseorang atau institusi harus dilakukan atas persetujuan institusi/orang yang bersangkutan. Kenyataannya UU ITE dianggap tidak sempurna karena tidak bisa menjelaskan rujukan dari pasal dalam KUHP. Untuk itu penelitian ini ingin mengkaji bagaimana pengaturan hak penyampaikan pendapat melalui media sosial, bagaimana penerapan perlindungan hak menyampaikan pendapat melalui media sosial dalam tindak pidana penghinaan dan bagaimana konsep perlindungan hak menyampaikan pendapat dalam tindak pidana penghinaan yang ideal dalam mewujudkan kepastian hukum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dan bersifat preskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan; (1) Pengaturan hak menyampaikan pendapat dimedia sosial terkait tindak pidana penghinaan sudah ada dan sudah diberlakukan namun belum sepenuhnya terlindungi (2) penerapan perlindungan hak menyampaikan pendapat dalam tindak pidana penghinaan sudah ada akan tetapi belum memenuhi rasa keadilan menerapkan pasal-pasal yang mengandung sanksi Hukum Pidana Hukum ITE harus menjadi lembaga penegak hukum dapat memperhatikan meluasnya penggunaan pasal pidana Itu tidak dijadikan instrumen dalam UU ITE mengkriminalkan seseorang. Untuk kepastian hukum dan menghindari kriminalisasi berlebihan atas pencemaran nama baik atau tindak pidana penghinaan (3) Konsep menyampaikan pendapat dalam tindak pidana penghinaan ini mewujudkan dan melindungi kebebasan berpendapat bahwa kebenaran harus disesuaikan dengan pengaturan yang sistematis dan peraturan perundang-undangan yang komprehensif. Idealnya mampu menciptakan ekosistem yang tertib
ANALISIS KEWENANGAN AMNESTI PRESIDEN PADA DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL TERHADAP PERKARA NOMOR 1909 K/PID.SUS/2021
Menyampaikan pendapat, masukan, dan teguran telah dijamin oleh Konstitusi. Selain itu, kebebasan berpendapat juga bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang sudah diratifikasi melalui peraturan perundang-undangan. Pasal 310 ayat (3) KUHP menegaskan bahwa: “tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri”. Dengan demikian, tidak semua perbuatan subyek hukum dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik sehingga tidak sepatutnya dibawa ke ranah hukum.Problematika di atas salah satunya terjadi pada perkara hukum Saiful Mahdi (selanjutnya disingkat SM), seorang akademisi di Universitas Syiah Kuala (selanjutnya disingkat Unsyiah) Banda Aceh yang divonis melalui pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Media massa banyak memberitakan dan mengulas tentang kasus ini sehingga mendapatkan perhatian publik. Besarnya atensi publik terhadap kasus ini akhirnya direspon oleh Presiden dan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).Tujuan dari penelitian ini adalah Menganalisis kewenangan amnesti Presiden pada delik pencemaran nama baik melalui media sosial terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 1909 K/PID.SUS/2021 Juncto Nomor 104/PID/2020/PT BNA Juncto Nomor 432/Pid.Sus/2019/PN Bna dan untuk Memahami urgensi pemberian amnesti dalam kasus pencemaran nama baik melalui media sosial yang dikaitkan dengan hak kebebasan berpendapat. Tulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis-normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur ilmiah yang dijalankan dalam rangka menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum yang dilihat dari sisi normatifnya.Hasil dari penelitian ini menujukkan Kewenangan amnesti merupakan salah satu hak yudikatif Presiden sebagai suatu bentuk pembagian kekuasaan (bukan pemisahan kekuasaan). Sebelum amandemen UUD 1945, seluruh hak milik Presiden adalah kewenangan absolut dari Presiden. Namun setelah hasil amandemen UUD 1945, kewenangan Presiden tersebut harus dikonsultasikan dengan DPR. Presiden memiliki kewenangan dalam memberikan amnesti terhadap SM dalam perkara pencemaran nama baik dengan dasar pertimbangan kemanusiaan dan perlindungan terhadap hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.Pemberian amnesti oleh Presiden terhadap kasus-kasus pencemaran nama baik yang berkaitan dengan kritik terhadap jalannya roda pemerintahan sangat perlu dan mendesak di Indonesia terutama demi melindungi hakikat berdemokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi Kata Kunci : Pencemaraan nama baik,,Saiful Mahdi, Presiden dan Amnesti
Freedom of the Press In the Scope of Human Rights
Freedom of expression and press freedom is the embodiment of the recognition of human rights. Freedom of expression is also the existence of press to disclose the news with honesty and do not get a pressure to deliver the news to the public space, which in news production is known as a work of journalism. Now the press has gained freedom of expression in the news production process which is guaranteed in the state constitution. Although Article 28 of the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 does not point directly at the press, However, Article 28 F emphasis on processing and storage as well as ownership, excavations to information. It also contains provisions on the freedom of expression of others, which should be valued and respected. It shows equality for everyone in his position before the law in accordance with Article 27 1945 Constitution, which emphasizes the recognition of constitutional rights that belong to every person in the state of law in the Republic of Indonesia. Thus the press, which have freedom of expression in the writings of journalistic works are required to be responsible for the published news. So as not to face the legal issues and criminalization, then press should perform tasks and functions to enforce ethics as the precautionary principle when processing the news and broadcast it to the public space, as well as upholding human rights. How To Cite: Astuti, S. (2014). Freedom of the Press In the Scope of Human Rights. Rechtsidee, 1(1), 101-118. doi:http://dx.doi.org/10.21070/jihr.v1i1.9
Peran Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia Terkait Penyelenggaraan Pemilu
Constitution, as the supreme law, is created to protect human rights. Constitution contains basic principles of state administration and citizens rights that have to be protected. In relation to the citizens political rights, election is related to Human Rigts matters. Election administration constitutes manifest acknowledgement of human rights in the life of the nation. Democratic election can be carrried out if there protection of human rights is guaranteed. One of the holders of judicial power that plays roles in providing human rigths protection through its decision is Constitutional Court (CC). The Court carries out the function as the guardian of the constitution, the final interpreter of the constitution. Besides, the Court also functions as the guardian of democracy, the protector of citizens\u27 constitutional rights and the protector of human rights. The function of the Court as the protector of human rights constitute consequence of the incorporation of Human Rights as the substance of the constitution. The endeavour of the Court to protect human rights can be perceived from some of its decisions either in the case of judicila review of laws or settlement of local election disputes which are, inter alia, restoration of the right to vote for the former members of Indonesian Communist Party, the right to vote for certain ex-prisoners, the granting of rights to be candidate for parties that do not have seat in the parliament, the right to be candidate for individual independent citizen in local election, protection of rights for incumbents, the right to vote that is free from threat and terror, protection of the right to be candidate thta is free from the act of impediment and recognition of mechanisms that are recognized in customary law
Menegakkan Hak Beragama Di Tengah Pluralisme
The verdict of the Constututional Court (MK) regarding the rejection of Law Trial Number 1/PNPS/Year 1965 about the Prevention of Religion Violation and/or desecration through Indonesia's Law of Constitution year 1945 can be read as reinforcement through the juridical existence which is related to the right of religion freedom. Any kinds of religion desecration and violation such as a violence in the name of religion or religion radicalism which happens in Indonesia is not caused by the juridical products in the era of the old orde or because of the emergency product, but it is more caused by the compilation of problems such as unfairness, disparity, and powerlessness
Peran Negara dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak dari Tindak Pidana Sesuai Konvensi Pbb
That the role of the state in providing protection to children from the criminal act has been ratified in accordance with the UN Convention, including on children as perpetrators as well as victims of sexual abuse. Legal protection of children involved in sexual abuse, through the efforts of alternative "diversion and restorative justice" carried out by the police, prosecutor and judge in resolving the problem of children in conflict with the law of the case-light case. This diversion efforts can be done using diskretioner authority (discretionary) owned by the Police to judge actions performed by a child lightly.False perspective on criminal cases of rape committed by a child with a victim under the age of both children as victims and as perpetrators of child to get their rights in a fair and wise would be jurisfrudensi to another judge.In this regard, it is necessary to attempt to establish positive cooperation, both with the government and with NGOs as part of the efforts of law enforcement officers in conducting diversion and restorative justice. So that the diversion and restorative justice can be promoted and developed as a solution for settling disputes children in conflict with the law.Then it is necessary to increase knowledge about the Children\u27s Police Investigators particularly negative access of the solution to the child by means of the Child Criminal Justice System (SPP). Police need to develop values that regard the use of discretionary authority as a positive step.Judge in making decisions on those cases children in conflict with the law are not only concerned with justice for children as perpetrators but also children as victims (especially not felonies committed by children and children as victims).Keywords : Protecting Children From CrimePage | 2A B S T R A KBahwa peranan negara dalam memberikan perlindungan terhadap anak dari tindak pidana sudah meratifikasi sesuai dengan konvensi PBB, termasuk didalamnya mengenai anak sebagai pelaku sekaligus sebagai korban pelecehan seksual. Perlindungan hukum terhadap anak yang terlibat dalam masalah pelecehan seksual, melalui upaya alternatif “diversi dan restorative justice” yang dilakukan oleh Polisi, Jaksa dan Hakim dalam menyelesaikan masalah anak yang berkonflik dengan hukum terhadap perkara-perkara ringan. Upaya diversi ini dapat dilakukan dengan menggunakan kewenangan diskretioner (diskresi) yang dimiliki Kepolisian terhadap perkara-perkara ringan yang dilakukan oleh anak
- …