4 research outputs found
HUBUNGAN KADAR NEURON SPECIFIC ENOLASE (NSE)SERUM DENGAN GAMBARAN CT SCAN PADA PASIEN CEDERA KEPALA DI RSUP M DJAMIL TAHUN 2023
Cedera kepala dapat menyebabkan luka tertutup, maupun luka terbuka yang dapat
menembus kulit, mulai dari kulit sebagai lapisan terluar, hingga tulang tengkorak,
pembuluh darah otak,dan jaringan otak sebagai luka cranio-cerebral. Penulis ingin
membuktikan apakah adagambaran antara kadar serum NSE dan CT scan kepala yang
menggambarkan tingkat keparahancedera kepala. Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian observasional analitik. Rancangan penelitian pada
penelitian ini adalah cross sectional yangbertujuan untuk mendeskripsikan kadar Neuron
Specific Enolase (NSE) serum dengan gambaranCT scan pasien cedera kepala di RSUP
Dr. M. Djamil Kota Padang. Penelitian ini dilakukan diInstalasi Gawat Darurat RSUP Dr.
M. Djamil Kota Padang sebagai lokasi pengambilan sampeldan Laboratorium Biomedik
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas sebagai lokasi penelitiandan waktu penelitian
dimulai dari bulan Februari sampai Juni 2023. Kepala pasien cedera yangdilakukan CT
scan kepala di IGD RSUD M.Djamil Padang ditemukan dengan karakteristiksebagai
berikut: usia 20-29 tahun, jenis kelamin laki-laki, CT scan kepala berupa MLS <
5mm/penyempitan bak, NSE meningkat tingkat, keparahan cedera kepala ringan (GCS 13-
15). Terjadi peningkatan kadar NSE pada pasien cedera kepala dengan MLS < 5 mm dan
MLS > 5mm, namun tidak bermakna secara statistik antara kadar NSE dengan gambaran
CT Scan kepalapada pasien cedera kepala IGD RSUP Dr. Djamil Padang
KORELASI ANTARA NEURON-SPECIFIC ENOLASE SERUM DAN GLASGOW COMA SCALE DI PASIEN CEDERA KEPALA
HUBUNGAN KADAR NEURON SPECIFIC ENOLASE SERUM DENGAN OUTCOME FUNGSIONAL DAN SEVERITAS CEDERA KEPALA
Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas di
dunia dengan angka kematian lebih dari 100.000 jiwa setiap tahunnya di Amerika
Serikat, dan dua juta individu mengalami disabilitas permanen setiap tahunnya.
Cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak pada usia produktif
dibanding stroke dan penyakit jantung dan diperkirakan akan menjadi penyebab
kematian terbanyak di tahun 2020 (Schouthen&Maas, 2011; Begaz, 2013).
Saat ini, evaluasi awal pasien cedera kepala bergantung kepada pemeriksaan
neurologis dan diagnosis cedera kepala akut berdasarkan kepada pemeriksaan
neurologis dan pencitraan. Penilaian neurologis dengan Glasgow Coma Scale
(GCS) memberikan informasi yang cepat mengenai gangguan neurologis
fungsional yang terdiri dari fungsi motorik, verbal dan respon mata. Disamping
itu GCS juga bisa diperiksa oleh paramedik dan memiliki nilai reliabilitas
interobserver sedang (Blumberg, 2011; Sharma&Laskowitz, 2011). Secara umum,
pasien dengan skor GCS 13-15 dimasukan ke dalam kriteria cedera kepala ringan,
skor GCS 9-12 cedera kepala sedang, dan GCS di bawah 9 cedera kepala berat
(Perdossi, 2006 ; Berger, 2011).
Penggunaan skor GCS sebagai alat diagnostik ini memiliki beberapa
keterbatasan. Marion dan Carlier melaporkan bahwa pada kondisi tertentu, seperti
pasien yang diintubasi sulit untuk dilakukan pemeriksaan ini.
Sharma melaporkan bahwa pemeriksaan GCS mempunyai validitas rendah pada
pasien yang menggunakan sedasi, mengalami intoksikasi alkohol, dan pasien yang
17
pernah mengalami gangguan neurologis sebelumnya, sedangkan sebuah penelitian
mendapatkan sebanyak 74 pasien cedera kepala yang dirawat didapatkan hasil tes
darah positif mengkonsumsi obat-obatan (Sharma& Laskowitz, 2011 ; Mondello
et al., 2011).
Pemeriksaan GCS juga sangat buruk sebagai prediktor sekuele neuropsikiatri
pada pasien cedera kepala ringan. Di sebuah Trauma senter di Amerika Serikat
teknik pencitraan otak seperti Computed Tomography scan (CT scan) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mendapatkan informasi
yang objektif dalam menentukan lokasi cedera kepala dan sebagai acuan dalam
penatalaksanaan. Walaupun CT scan bisa digunakan untuk menentukan
terdapatnya perdarahan yang berguna dalam membuat keputusan apakah pasien
akan menjalani tindakan operatif, namun dalam beberapa kasus akan sulit
melakukan pemeriksaan CT Scan, karena pasien harus dalam keadaan tenang dan
memerlukan mobilisasi yang bisa memperburuk keadaan pasien (Berger, 2011;
Sharma&Laskowitz, 2011, Xiong et al., 2013).
Pemeriksaan CT scan otak juga kurang sensitif dalam menilai perdarahan
dengan diameter kecil (punctate hemorrhagic), konkusio, kontusio atau diffuse
axonal injury (DAI) sehingga banyak kasus cedera kepala yang diabaikan
penatalaksanaannya karena tidak terlihat kelainan pada CT scan, dan akan
memberi dampak dalam beberapa tahun ke depan, baik berupa gangguan kognitif
sementara maupun permanen, serta disfungsi psikis dan psikologis (Berger, 2011;
Sharma&Laskowitz, 2011).
Pemeriksaan radiologis yang dapat mendeteksi adanya DAI adalah dengan
menggunakan MRI, tapi biaya pemeriksaan MRI sendiri sangat mahal,
18
membutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dan bukanlah pilihan pemeriksaan
pada cedera kepala akut (Mass et al., 2008).
Untuk mengatasi keterbatasan penggunaan GCS dan pencitraan otak dalam
mendiagnosis dan menilai tingkat keparahan dan outcome pasien cedera kepala,
Beberapa penelitian belakangan ini lebih berfokus kepada penggunaan biomarker
pada cedera kepala. Biomarker lebih mudah diperiksa karena sampel yang mudah
diambil (darah, serum) dibanding dengan MRI atau CT scan (Berger, 2011).
Analisis terhadap serum biomarker untuk memonitor kerusakan jaringan
sistem saraf pusat di tingkat subklinik sangat dibutuhkan. Biomarker juga dapat
mengidentifikasi proses di otak yang tidak terlihat pada pencitraan, seperti diffuse
axonal injury (DAI). Monitor dilakukan terhadap protein-protein spesifik yang
berasal dari neuron maupun sel astroglia dalam darah tepi. Hal ini juga dapat
dijadikan patokan tingkatan dari cedera kepala, infark serebri, hemoragik
intrakranial, tumor otak yang progresif, kerusakan otak setelah dilakukan
cardiopulmonary bypass dan trauma tulang belakang (Loy et al., 2005). Sampai
saat ini belum ada biomarker cedera kepala yang telah mendapat persetujuan dari
FDA untuk identifikasi atau memprediksi severitas cedera kepala (Mondello et
al., 2011 ; Sharma&Laskowitz, 2011; Borg et al., 2013).
Terdapat beberapa marker yang digunakan sebagai penanda tingkat
keparahan cedera kepala (Berger, 2011). Marker yang sering menjadi bahan
penelitian belakangan ini adalah protein neuronal seperti Neuron-spesific enolase
(NSE), neurofilament polypeptides dan tau, serta protein astroglial seperti S-100B
dan Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) yang diketahui sebagai indikator
kerusakan otak (Woertgen, 1997; Siman, 2009). Pada beberapa studi ditemukan
19
perubahan kadar biomarker di atas pada cairan serebrospinal maupun serum
berhubungan dengan prognosis (Siman, 2009).
Protein S-100B telah banyak diteliti pada pasien cedera kepala. Protein S-
100B merupakan protein yang berikatan dengan kalsium di astrosit yang dapat
dijadikan marker kerusakan dan kematian astrosit. Beberapa studi melaporkan S-
100B serum secara konsisten berhubungan dengan skor GCS saat masuk rumah
sakit (Mondello, 2011).
Glial fibrilary acidic protein (GFAP) adalah protein yang berasal dari astrosit,
filament intermediet yang terdapat pada proses astrogliosis. Terdapat peningkatan
kadar GFAP pada pasien cedera kepala sedang dengan gambaran CT abnormal.
Marker ini menjanjikan untuk menilai outcome fungsional, namun sensitifitasnya
hanya 18% (Sharma, 2012).
Neuron-specific enolase merupakan marker untuk cedera otak akut, suatu
enzim glikolitik yang beperan dalam proses glikolisis di otak. Neuron-specific
enolase terdapat terutama di sitoplasma sel-sel neuron. Enzim ini tidak disekresi
ke cairan ekstraseluler oleh neuron yang utuh (Berger et al., 2002; Meric, 2010;
Berger, 2011). Pada keadaan terjadinya kerusakan neuronal, seperti pada stroke
dan cedera kepala, banyak enzim enolase yang tidak terpakai karena penurunan
proses glikolisis aerob, sehingga dalam sirkulasi kadarnya meningkat. Kerusakan
neuronal serta gangguan membran sel, akan menyebabkan sawar darah otak
terganggu dan terjadi disintegrasi sel-sel astroglial, sehingga NSE akan dengan
mudah berdifusi ke dalam ekstraselular dan cairan serebrospinal (Wardiyani,
2010). Penelitian pada hewan coba mendapatkan kadar NSE meningkat 2 jam
setelah infark pada otak dan bertahan hingga 2,5 hari (Hartfield et al., 1992 ;
20
Barone et al., 1993). Pada kondisi dimana kematian neuron terus berlangsung,
kadar NSE akan tetap tinggi di cairan serebrospinal dan serum (Pelinka, 2004).
Bila dibandingkan dengan penanda kerusakan otak yang lain, NSE memiliki
sensitivitas yang tinggi, stabil (tidak dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin dan
suhu) dan NSE cepat meningkat setelah terjadinya cedera kepala (Marangos, 1988
; Meric, 2010).
Neuron specific enolase merupakan suatu enzim yang diproduksi oleh sel
neuron bukan oleh glial yang berarti bila ada jejas yang terjadi pada sel neuron
maka akan terjadi peningkatan kadar NSE baik dalam serum maupun dalam CSF
(Pelinka, 2004). Pada cedera kepala akan terjadi jejas yang akan menyebabkan
hipoksia dan kerusakan sawar darah otak sehingga terjadi iskemia sel neuron
sehingga akan terjadi kerusakan sel neuron kemudian kadar NSE serum akan
meningkat (Pelinka, 2004).
Terdapat beberapa penelitian mengenai hubungan antara kadar NSE dengan
cedera kepala, baik pada cairan serebrospinal maupun pada serum manusia
dengan hasil yang belum konsisten. Penelitian Meric et al yang meneliti nilai
prognostik NSE pada 80 orang pasien cedera yang terdiri dari cedera kepala
ringan sedang dan berat. Dengan menggunakan uji statistik non parametrik
didapatkan perbedaan signifikan kadar NSE pada pasien dengan cedera kepala
sedang dan berat, dibanding pasien cedera kepala ringan. Tingginya kadar NSE
berbanding terbalik dengan skor GCS (Meric, 2010). Penelitian oleh Hermann
terhadap 66 pasien cedera kepala menyimpulkan bahwa konsentrasi serum NSE
dan S-100B berhubungan dengan volume kontusio pada cedera kepala sedang dan
21
berat yang dinilai dari gambaran CT scan otak. Pemeriksaan NSE menggunakan
metoda immunoluminometric assays (Hermann et al., 2000).
Penelitian lain mendapatkan meningkatnya konsentrasi serum NSE dan S-
100B dalam 3 hari setelah Diffuse Axonal Injury berhubungan dengan outcome
yang buruk (dinilai dengan Glasgow Outcome Scale 3 bulan dan 2 tahun setelah
cedera kepala), walaupun gambaran pada CT scan hanya menunjukan kerusakan
otak ringan (Chabok et al., 2012). Guzel et al yang melakukan penelitian terhadap
169 orang pasien cedera kepala mendapatkan korelasi negatif antara kadar NSE
yang diperiksa dengan electrochemiluminescence dengan skor GCS (Guzel et al.,
2008).
Bohmer et al yang melakukan penelitian mengenai hubungan NSE, S100-B
dan GFAP terhadap 20 pasien secera kepala berat yang dibandingkan dengan
kontrol. Penelitian ini mendapatkan peningkatan kadar NSE dan S100-B pada
pasien cedera kepala berat dapat memprediksi kematian otak (Bohmer et al.,
2011).
Penelitian oleh Ross (1996) terhadap 61 pasien cedera kepala yang
dibandingkan dengan kontrol yang berjumlah 26 orang, mendapatkan hubungan
antara NSE dengan skor GCS, namun tidak ditemukan hubungan antara NSE
dengan GOS (Glasgow Outcome Scale) dan Injury Severity Score (ISS) (Ross,
1996).
Beberapa penelitian lain mendapatkan hasil yang berbeda. Seperti penelitian
oleh Olivecrona yang meneliti hubungan S-100B dan NSE dengan outcome
(GOS 3 bulan, 12 bulan) pada 48 subjek dengan cedera kepala berat, dan tidak
didapatkan hubungan yang signifikan (Olivecroma, 2009). Perbandingan kadar S22
100B dan NSE serial setelah cedera kepala berat : 30 pasien cedera kepala berat
(GCS <9), yang datang dalam waktu 5 jam setelah kecelakaan, mendapatkan
bahwa pengukuran pertama S-100B berhubungan dengan outcome, namun tidak
halnya pada NSE (Woertgen,1997). Sebuah penelitian yang men-follow up selama
1 tahun pasien dengan cedera kepala ringan mendapatkan bahwa kadar S-100B
merupakan prediktor long term injury, namun tidak pada NSE (Stalnacke, 2005).
Di Indonesia sendiri penelitian mengenai NSE pada cedera kepala masih
sangat terbatas. Penelitian oleh Wulandari melaporkan bahwa kadar NSE serum
dapat dijadkan prediktor prognostik terjadinya kematian pada pasien cedera
kepala (Setijorini, 2010)