10,668 research outputs found

    UPAYA HUKUM KASASI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN NOMOR 48 TAHUN 2009

    Get PDF
    Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan kasasi dalam tindak pidana korupsi dan bagaimana upaya hukum kasasi dalam tindak pidana korupsi.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan kasasi terhadap putusan bebas adalah adanya yurisprudensi tetap dari mahkamah agung, meskipun hal tersebut bertentangan dengan pasal 244 KUHAP. Dan pasal 29 UU MA dianggap memperkuat yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, karena dalam pasal tersebut tidak memuat pengecualian putusan apa yang dapat dimohonkan kasasi. UU MA ini dianggap tidak bertentangan dengan pasal 244 KUHAP, sebab UU MA dipandang sebagai lex specialis dan KUHAP dipandang sebagai lex generalis. Bahwa selain dasar hukum peraturan Perundang-Undangan dan Yurisprudensi tersebut, demi tegaknya hukum dan demi terciptanya kepastian hukum, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan upaya hukum kasasi juga dapat dilakukan bagi putusan bebas. Hal ini tertuang dalam putusan MK Nomor 114/PUU-X/2012. 2. Upaya hukum kasasi adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan pada tingkat terakhir, dengan cara mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung guna membatalkan putusan pengadilan tersebut dengan alasan (secara kumulatif/alternatif) bahwa dalam putusan yang dimintakan kasasi tersebut, peraturan hukum diterapkan atau tidak diterapkan sebagaimana mestinya, cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang, pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Disamping kasasi sebagai upaya hukum, kasasi juga dianggap merupakan suatu hak yang diberikan kepada Terdakwa maupun Penuntut Umum dan hak itu juga menimbulkan kewajiban bagi pejabat pengadilan untuk menerima permintaan kasasi. Tidak ada ada alasan bagi pejabat pengadilan untuk menolak karena permohonan tersebut diterima atau ditolak, bukan wewenang pengadilan negeri untuk menilai, sepenuhnya menjadi wewenang Mahkamah Agung.Kata kunci: Upaya Hukum, Kasasi,Tindak Pidana, Korupsi. Kekuasaan Kehakima

    ANALISIS PENERAPAN YURISPRUDENSI SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA DILUAR DAKWAAN YANG DIAJUKAN JAKSA PENUNTUT UMUM (Studi Perkara di Pengadilan Negeri Boyolali)

    Get PDF
    AGUS SETIAWAN ADI NUGROHO. E1104092. ANALISIS PENERAPAN YURISPRUDENSI SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA DILUAR DAKWAAN YANG DIAJUKAN JAKSA PENUNTUT UMUM (Studi Perkara di Pengadilan Negeri Boyolali). Fakultas Hukum UNS. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai penerapan yurisprudensi sebagai dasar hukum dalam menjatuhkan putusan diluar dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum. Putusan tersebut dikeluarkan, dikarenakan dakwaan Jaksa Penuntut Umum kurang sempurna dan sebagai wujud pengembangan hukum progresif dimana Hakim bukan hanya sebagai corong undang-undang tetapi merupakan corong keadilan yang mampu memberikan putusan yang berkualitas dengan menemukan sumber hukum yang tepat. Bahwa putusan hakim tidak harus berpedoman pada undang-undang sebagai prosedur mutlak sebab bila putusan hakim hanya berlandaskan prosedur, maka roh dan cita-cita dari Hukum Pidana(Hukum Materiil) maupun Hukum Acara Pidana (Hukum Formil) yang tertuang dalam asas-asas hukum tersebut tidak akan bisa diwujudkan. Hal ini bukan berarti prosedur hukum yang ada dalam undang-undang tidak perlu dilaksanakan tetapi harus diterapkan secara cerdas dan bijaksana, serta diharapkan semua pihak agar lebih kritis dalam menyikapi perkembangan hukum demi kesejahteraan bersama. Untuk meneliti permasalahan ini penulis berusaha menganalisis Yurisprudensi Mahkamah Agung NO. 675 K/Pid/1987, tanggal 21-03-1989 dan putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor : 02 / Pid. B /2007/PN.Bi dikaitkan Hukum Acara Pidana ,dengan menggunakan kajian dari segi filosofis dan yuridi

    ANALISIS TENTANG KASASI TERHADAP PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM ( Studi Kasus Korupsi di Kejaksaan Negeri Klaten )

    Get PDF
    NANI SUSILOWATI, 2008. ANALISIS TENTANG KASASI TERHADAP PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM. (Studi Kasus Korupsi di Kejaksaan Negeri Klaten). Fakultas Hukum UNS. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kasasi terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum oleh jaksa penuntut umum, dengan salah satunya mengacu pada kasus korupsi di Kejaksaan Negeri Klaten. Penelitian ini menjawab dasar hukum pengajuan kasasi terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum oleh jaksa penuntut umum, dan mengenai dasar pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam memori kasasi supaya kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan jenis data sekunder. Dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang membahas tentang kasasi dan memori kasasi terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum, bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan hukum secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang diteliti. Jenis data sekunder yaitu data yang didapat dari sejumlah keterangan atau fakta-fakta yang diperoleh secara tidak langsung, melalui studi kepustakaan yang terdiri dari dokumen-dokumen, buku-buku literatur, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini yaitu dakwaan, putusan hakim Pengadilan Negeri Klaten, dan memori kasasi Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Klaten dalam kasus korupsi di Klaten KUHAP, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi. Bahan hukum sekunder ini meliputi: buku-buku atau literatur yang berkaitan atau membahas tentang kasasi terhadap putusan bebas tidak murni, dalam hal ini putusan lepas dari segala tuntutan hukum, penelitian terdahulu yang mendukung perolehan data, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Dasar hukum kasasi terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum,belum diatur secara jelas dalam KUHAP. Meskipun demikian, dasar kasasi terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum memiliki dasar hukum yang kuat yang berupa yurisprudensi. Sedangkan, dasar pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam memori kasasi tehadap perkara yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum ditinjau dalam kasus korupsi di Kejaksaan Negeri Klaten, yaitu Jaksa Penuntut Umum harus membuktikan bahwa putusan bebas dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten adalah merupakan putusan bebas tidak murni, atau merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvervolging) dan menentukan pertimbangan atau alasan pengajuan kasasi sesuai dengan Pasal 253 ayat 1

    Kewenangan Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIV/2016

    Get PDF
    Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara bersyarat bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo. Oleh karena itu yang berhak melakukan peninjauan kembali adalah terpidana dan ahli warisnya. Jaksa Penuntut Umum tidak berwenang melakukan Peninjauan Kembali. Hal ini menimbulkan permasalahan baru bagi Jaksa Penuntut Umum yang mewakili negara dan juga korban. Penulis menganalisa Perlindungan Korban Kejahatan Untuk Mengajukan Peninjauan Kembali Pasca Putusan MK tersebut. Dalam praktik Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 55 K/Pid/1996 yang menjadi yurisprudensi Mahkamah Agung merupakan pembaharuan hukum. Dengan adanya Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 telah mengesampingkan yurisprudensi yang merupakan pembaharuan hukum dan tentunya tidak menjamin hak korban kejahatan dalam mengajukan Peninjauan Kembali yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum

    Pengakuan Model Noken Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pemilukada Lanny Jaya Papua Dan Implementasinya Terhadap Sistem Pemilu Di Indonesia

    Get PDF
    Dibalik sistem pemilukada secara nasional dan konstitusional, terdapat mekanisme pemilukada secara adat (model noken) yang dilaksanakan masyarakat adat Lanny Jaya Papua. Model pemilihan ini mendapat pengakuan secara implisit dan diakomodasi Hakim Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan Nomor 85/PHPU.D-IX/2011. Dari kajian yuridis normatif, dengan pendekatan penelitian melalui perundang-undangan (Statute Approach), dan pendekatan kasus (Case Approach), ditafsirkan bahwa pengakuan Mahkamah Konstitusi dalam mengakomodasi pemilukada secara adat, berdasarkan interpretasi, dengan pertimbangan yurisprudensi, konstitusi, dan nilai-nilai budaya. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam perspektif Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law), secara substansial melihat yurisprudensi, Konstitusi, dan nilai-nilai budaya sebagai hubungan secara hirarki antara norma dasar, norma umum dan norma individual. Implikasi sebagai akibat hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi adalah pengakuan secara yuridis formal mekanisme secara adat (model noken) ke dalam sistem pemilu di Indonesia

    ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM KONSTITUSIONALITAS PEMILU SERENTAK PADA TAHUN 2019

    Get PDF
    Tulisan ini mengangkat tema “Analisis Konstruksi HukumKonstitusionalitas Pemilu Serentak Tahun 2019”. Kajian ini disajikan dengan polapenulisan argumentative untuk menguji keotentikan objek berdasarkan bangunanteori Konstitusi, Teori Peradilan dan teori Hermeneutik. Hasil penelitian inimenunjukan bahwa Konstruksi Hukum Konstitusionalitas Pemilu Serentak Tahun2019, dibangun diatas pondasi konstitusi secara murni dengan menafsirkan UUD1945 Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1) dan (2) secara orginal inten,kesesuaian mekanisme Pemilihan umum dengan pilihan sistem Pemerintahan sertamempertimbangkan aspek efisiensi dan pelaksanaan hak politik secara cerdas.namun demikian secara formal hukum memiliki kelemahan yakni terabaikannyaasas hukum yurisprudensi, asas Nebis In Idem, yang berlaku secara universaldiseluruh badan peradilan dan menciptakan inkonsistensi putusan serta bersifatspekulatif. Fakta tersebut menciptakan ketidakpastian hukum dalam arti mendasar.Putusan yang menetapkan bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal14 ayat (2) dan Pasal 112 UU 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden danWakil Presiden bertentangan dengan Norma UUD 1945 berakibat tidak adanyakekuatan hukum yang mengikat pada pasal – pasal tersebut. Hal yang sangat kontra– produktif adalah pasal – pasal yang sudah dibatalkan tetap berlaku sebagaipayung hukum pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2014, hal itubertentangan dengan sifat putusan Mahkamah yang berlaku secara prospektif sejakdibacakan. Alasan – alasan pembenar Mahkamah atas konstruksi putusan tersebuttidak lebih kuat daripada teks UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusidan yurisprudensi sebagai konvensi ketatanegaraan Indonesia yang telah diakuisecara universal. Di masa depan Mahkamah Konstitusi memerlukan konsolidasidan harmonisasi hukum terutama konstitusi. Agar dapat melakukan pengujian danevaluasi pengujian secara berjenjang serta proporsional. Penyediaan instrumentupaya hukum lanjutan dapat memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapsaat ini.Kata Kunci : Konstruksi, Hukum, Konstitusionalitas, Pemilu

    PERKEMBANGAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA WARIS MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA DI PENGADILAN NEGERI MEDAN

    Get PDF
    ABSTRAK Teori van Vollenhoven “gedrag regels” disebut sebagai bukti ada dan berlakunya hukum dalam kehidupan masyarakat pribumi ialah “hukum adat”. Pada masyarakat adat Batak Toba yakni pada pola pembagian waris. Banyak masyarakat Batak adat Toba yang awalnya menganut sistem kekerabatan patrilineal dengan sistem pewarisan individual yang masih membedakan gender karena pada asasnya dalam susunan masyarakat adat Batak yang mempertahankan garis keturunan laki-laki Patrilineal yang berhak menjadi ahli waris adalah anak laki-laki sedangkan awal perempuan bukan ahli waris dan masih menganggap kedudukan anak laki-laki lebih berharga daripada anak perempuan. Dalam perkembangan masyarakat adat Batak Toba yang ada sekarang telah terjadi perkembangan hukum dalam pembagian harta warisan, di Pengadilan hakim memutuskan dengan mengesampingkan hukum waris adat Batak yang patrilineal dengan memberikan persamaan dan kedudukan perempuan dalam pembagian warisan pada masyarakat Toba, dengan mempertimbangkan rasa keadilan dan Yurisprudensi. Untuk itu perumusan masalah yang penulis bahas dalam tesis ini adalah 1. Bagaimanakah kedudukan perempuan dalam penyelesaian sengketa waris adat Batak Toba berdasarkan putusan hakim? 2. Mengapakah terjadi sengketa waris masyarakat adat Batak Toba? 3. Bagaimanakah penerapan Yurisprudensi terhadap penyelesaian sengketa hukum waris masyarakat adat Batak Toba di Pengadilan Negeri Medan?. Penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis empiris yang bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan penelitian di lapangan dan penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan Bahwasanya kedudukan perempuan dalam penyelesaian sengketa waris masyarakat adat Batak Toba berdasarkan putusan hakim adalah sama secara umum. Terjadinya sengketa waris masyarakat adat Batak Toba yaitu masalah yang timbul akibat adanya dualisme hukum dalam pembagian harta waris masyarakat adat Batak Toba. masih berlakunya hukum waris Adat Batak disisi lain berlaku Yurisprudensi di Pengadilan. Yurisprudensi penyamarataan bagian terhadap ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan, sudah Tetap atau menjadi ketentuan umum para hakim pengadilan Negeri Medan bahwa terhadap kasus yang sama secara umum pasti akan menerapkan bagian yang sama

    KAJIAN HUKUM PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK) DALAM PERKARA PIDANA

    Get PDF
    Tujuan dilakukannya peneltian ini adalah untuk mengetahui bagaimana faktor yang menjadi pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) dan bagaimana ketentuan tentang  upaya hukum terhadap putusan bebas. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Bahwa putusan atau vonis hakim yang mengandung pembebasan (vrijspraak) dari dakwaan atau disebut putusan bebas, secara yuridis formal dikarenakan oleh faktor ketidak cukupan syarat minimal pembuktian menurut Undang-undang dan atau tanpa didukung oleh adanya keyakinan hakim atas kesalahan yang diperbuat terdakwa yang dibuktikan lewat proses pembuktian. Atau dengan kata lain kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah sebagaimana ketentuan yang mensyaratkan keharusan adanya minimum dua jenis alat bukti yang diakui sah menurut Undang-undang, yakni harus memenuhi kriteria jenis alat bukti sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP. 2. Tentang upaya hukum terhadap putusan bebas, maka sesuai yurisprudensi sebagai sumber hukum dapat dilakukan pengajuan upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas (vrijspraak). Kebijakan penerapan kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas didasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 (tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, khususnya butir 19), walaupun hal ini dapat dikategorikan  contra legem terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP.Kata kunci:  Kajian hukum, putusan bebas (vrijspraak), perkara pidan

    Kasasi Terhadap Putusan Bebas

    Full text link
    Putusan bebas sering menimbulkan reaksi dan polemik, baik menyangkut penerapan hukum maupun perasaan keadilan. Secara normatif menurut Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan bebas dalam perkara pidana tidak dapat diajukan permintaan kasasi. Praktek peradilan melalui putusan yang telah menjadi yurisprudensi, maupun pandangan teoritik berpendapat bahwa putusan bebas dapat diajukan permohonan kasasi asalkan penuntut umum dapat membuktikan dalam memori kasasinya, bahwa putusan bebas tersebut merupakan pembebasan murni
    corecore