125 research outputs found
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEDIAAN MEMBAYAR KONSUMEN TERHADAP KOPI FAIR TRADE
Coffee drink products that have a fair trade label tend to have a higher price than non-fair trade label coffee drinks, so that some consumers perceive that coffee is an expensive product. This study aims to determine how much consumers are willing to pay for coffee drinks labeled as fair trade and the factors that influence it. This study uses primary data from an online survey of 120 respondents in North Sumatra Province who have purchased coffee drinks with a fair trade label. Data analysis used logistic regression analysis. The results show that the majority of consumers are willing to pay more for coffee drinks labeled as fair trade with an increase of 5-10% from the current product price. The factors that influence the willingness to pay for coffee drinks labeled as fair-rade are age, education, marital status and coffee quality
Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Konsumen Terhadap Produk Kopi Berlabel Fairtrade di Berbagai Wilayah Indonesia
The increase in demand for coffee has not been in line with the increase in the welfare of the farmers. Fairtrade certification has a social premium for ensuring the welfare of farmers, but companies must anticipate higher production costs. This study aims to analyze the characteristics of consumers of coffee products in Indonesia, analyze the maximum WTP (Willingness to Pay) average value, and the factors that influence this value. This research was conducted in various regions in Indonesia with a sample of 218 respondents. Analysis was performed using descriptive analysis method, contingent valuation method (CVM) analysis, and multiple linear regression analysis. The results showed that the average coffee consumer was a woman aged 21-30 years, undergraduate education level, income less than IDR 2,000,000, bought 2-4 coffees per month, and had a moderate knowledge score. Respondents who were willing to pay more were 199 respondents with an average value of readiness to pay a maximum of IDR 4,909.55 and a total WTP aggregate value of IDR 977,000.00. Gender Factors, age, education level, income level, purchase quantity, attitude towards the environment, and lifestyle simultaneously influence the WTP value of Fairtrade coffee, while gender, knowledge, and lifestyle factors do not partially affect the WTP value of coffee Fairtrade label
KESEDIAAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO PAY) TERHADAP PRODUK COFFEE LATTE DI KOTA SEMARANG
The development of the coffeeshop grew rapidly in the last 10 years, with the change of adolescent lifestyle patterns in consuming coffee in the coffeeshop. Coffee Latte is one of the usual menu served by the coffeeshop at varying prices. This research aims to analyze the characteristics of consumers, analyzing the value of Willingness to Pay and analyzing the influence of consumer characteristics against the value of consumer Willingness to Pay on coffee latte products. The study was conducted on 15 January to 15 February 2020 located in the coffeeshop around the campus Undip Tembalang with the determination of the location purposive. The research method used is the survey method. Respondents were taken as much as 99 people using accidental sampling. Data collection using primary and secondary data. Analysis of the data used are descriptive analysis, quantitative analysis and the analysis of logistic regression. The results of the study gained that most consumers of coffee latte were men with a percentage of 58.6% and women with a percentage of 41.4%. Consumers who are willing to pay more than the current price are 94.9% of respondents and amounting to 5.05% of the respondents are not willing to increase by 5% to 25%. A significant factor affecting the willingness of pay is quality.
Keywords: Coffee Latte, Willingness to Pay, Consumer
Preferensi Konsumen Terhadap Label Organik Pada Kopi Bubuk Kemasan Di Kota Malang
Kopi merupakan komoditas yang banyak diperdagangkan oleh masyarakat
Indonesia maupun masyarakat global. Terjadi peningkatan permintaan dan konsumsi
kopi pada beberapa tahun terakhir. Semakin meningkatnya konsumsi kopi, hingga
membuat kopi sendiri menjadi bagian dari gaya hidup sebagian besar orang saat ini.
Berbicara mengenai gaya hidup, masyarakat modern saat ini mulai menyadari
menyadari pentingnya kesehatan dan keberlanjutan lingkungan. Kopi organik menjadi
salah satu alternative yang dipilih untuk mendukung gaya hidup dan mempertahankan
keberlanjutan lingkungan bagi konsumen dan pecinta kopi. Saat ini, kopi organik
merupakan ekspor unggulan dari produk organik Indonesia, selain beras organik dan
rempah organik. Program pertanian organik juga telah diterapkan di Indonesia, namun
terdapat kendala mengenai penyimpangan label organik dan sertifikasi organik.
Banyak produsen maupun distributor yang mengklaim sendiri produknya sebagai
produk organik, tanpa di setifikasi dan tanpa adanya label organik. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik responden, menganalisis preferensi
konsumen dan menganalisis willingness to pay terhadap kopi bubuk kemasan berlabel
organik di Kota Malang.
Penelitian ini menggunakan metode Discrete Choice Model yang biasa
digunakan untuk menganalisis atau memprediksi pembuat keputusan. Penelitian ini
dilakukan di Kota Malang pada November-Desember 2021 secara online melalui
survey di google form. Responden dalam penelitian ini yaitu konsumen yang pernah
membeli dan mengonsumsi kopi bubuk kemasan di Kota Malang dengan minimal
pembelian 3 bulan terakhir. Jumlah sample minimum yang digunakan menurut
perhitungan adalah 111 responden, namun pada penelitian ini terkumpul sebanyak 283
responden dan yang memenuhi kriteria sebanyak 249 responden. Teknik pengumpulan
data menggunakan choice set yang berisi kumpulan alternative yang merupakan
kombinasi dari atribut dan level yang sudah ditentukan. Penelitian ini terdiri dari 9
choice set dengan masing-masing choice set terdiri dari 3 alternatif pilihan yaitu 2 opsi
kombinasi pilihan dan 1 opsi pilihan tidak memilih. Teknik analisis data yang
digunakan yaitu statistic deskriptif, conditional logit dan marginal willingness to pay.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Responden pada penelitian ini
didominasi oleh perempuan (61%). Usia responden terbanyak berada pada umur 22-
28 tahun (48%). Tingkat pendidikan responden umumnya tinggi, ditunjukkan dengan
jumlah sample yang memiliki gelar sarjana lebih dari 50%. Pekerjaan responden
didominasi oleh karyawan swasta sebanyak 87 responden (35%). Pendapatan
responden rata-rata Rp5.000.001-Rp7.000.000 sebanyak 90 responden (36%),
Pengeluaran responden rata-rata Rp5.000.001-Rp7.000.000 sebanyak 85 responden
(34%). Pada pola konsumsi, 15% menunjukkan bahwa mereka minum kopi setiap hari,
10% dua kali seminggu, 31% sekali seminggu, 10% lebih dari dua kali seminggu, 26%
sebulan sekali dan 9% dua sampai 3 kali dalam sebulan. Frekuensi pembelian kopi
iv
bubuk kemasan juga cukup tinggi dikalangan responden. Lebih dari 50% responden
membeli kopi bubuk kemasan dalam satu bulan.
Berdasarkan analisis conditional logit untuk mengetahui preferensi konsumen,
hasil menunjukkan koefisien bernilai positif untuk label organik Indonesia dan bernilai
negative untuk label organik USDA. Koefisien bernilai positif menunjukkan bahwa
tingkat atribut untuk setiap tambahan unit dapat meningkatkan utility konsumen. Pada
atribut kedua yaitu atribut Negara asal, hasil keduanya menunjukkan koefisien negatif
yang berarti konsumen lebih menyukai kopi yang berasal dari Indonesia (variabel
control). Pada atribut harga, nilai koefisien bernilai negative yang berarti konsumen
lebih menyukai harga yang lebih murah daripada harga yang lebih mahal. Nilai
koefisien negative menunjukkan bahwa ketika harga kopi meningkat, probabilitas
memilih kopi berkurang.
Berdasarkan analisis Marginal Willingness to pay, diketahui bahwa konsumen
bersedia untuk membayar Rp67.614 lebih tinggi untuk per 100 gram kopi bubuk
kemasan yang menggunakan Label Organik Indonesia. Sedangkan untuk kopi bubuk
kemasan yang menggunakan Label Organik USDA, konsumen bersedia membayar
Rp30.561 lebih rendah daripada kopi bubuk kemasan tanpa label organik (baseline)
untuk 100 gram kopi bubuk kemasan. Nilai MWTP negative menunjukkan bahwa
untuk setiap tingkat tambahan harga, utilitas konsumen akan berkurang, Kemudian
untuk atribut Negara asal, MWTP konsumen juga memiliki hasil negative. Hal ini
berarti untuk atribut Negara asal dengan level Vietnam, konsumen bersedia membayar
Rp41.478 lebih rendah untuk 100 gram kopi bubuk kemasan daripada kopi bubuk
kemasan yang berasal dari Negara Indonesia. Sedangkan untuk level Brasil konsumen
bersedia membayar Rp18.079 lebih rendah untuk 100 gram kopi bubuk kemasan
daripada kopi bubuk kemasan yang berasal dari Negara Indonesia
Identifikasi Faktor-faktor Non-Harga yang Dominan Dalam Keputusan Pembelian Kopi Organik di Kabupaten Garut
Sustainability Development Goals (SDGs) yang di launching oleh United Nations Development Program telah meningkatkan kepedulian masyarakat dunia terhadap penggunaan produk-produk yang ramah lingkungan salah satunya kopi organik. Namun, fenomena terjadi di Indonesia khususnya di Kabupaten Garut menunjukan bahwa permintaan terhadap kopi organik belum sesuai dengan harapan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya memperbaiki keadaan melalui identifikasi faktor-faktor yang menentukan keputusan pembelian serta bobot terhadap permintaan kopi organik sebagai green product. Berdasarkan hasil kajian pustaka diperoleh terdapat 5 faktor yaitu lifestyle, kepedulian lingkungan, manfaat kesehatan, rasa, dan penampilan kemasan. Dalam penelitian ini bertujuan menentukan bobot faktor-faktor tersebut dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Berdasarkan hasil wawancara terhadap pihak-pihak yang dianggap kompeten dan menguasai permasalahan antara lain perwakilan pemerintah, konsumen kopi, dan pengamat kopi maka diperoleh hasil-hasil berikut ini: Faktor manfaat kesehatan dengan bobot 0,40181. Diikuti oleh faktor rasa dengan bobot 0.29154. Diikuti oleh faktor kepedulian lingkungan dengan bobot 0,12793. Diikuti oleh faktor penampilan kemasan dengan bobot 0,10797. Terakhir yaitu faktor lifestyle dengan bobot 0.07075. Dengan hasil tersebut, disarankan upaya-upaya meningkatkan promosi dengan lebih menekankan daya tarik terhadap kesehatan dan rasa
Sumber Kerentanan Ekonomi Petani Kopi Di Hulu DAS Lampung: LAMPUNG SMALLHODERS COFFEE FARMER’S ECONOMICS VULNERABILITY SOURCES IN UPSTREAM WATERSHEDS
It is necessary to strengthen the resilience of farmer households by increasing their adaptability and mitigating difficult conditions or risks of business that make unsustainable. The sources of the potential economic vulnerability of farmer households are the initial information for basic dealing with business risks. The ability to identify potential sources of vulnerability as an economic risk will stimulate efforts to increase productivity, income, and rural economic growth. This research focuses on exploring the potential sources of the economic vulnerability of coffee farmers' households in the upstream Lampung watershed. The survey research conducted in coffee production centers in three sub-districts coveragethe upstream Way Besai watershed, West Lampung. It was Air Hitam, Way Tenong, and Sumber Jaya sub-districts with a total of 165 coffee farmers as respondents. The data analysis method used a non-parametric statistical approach. The results of the study indicate that the source of the potential economic vulnerability of farmers in the upstream watershed is closely related to the ownership and area of land assets. Land assets are the main source of income for farming households and a source of household expenditure allocation for both food and non-food, including for savings and investment purposes. These important factors become important entry points in efforts to build resilient farmer household resilience. Resilience is the basic social capital in achieving sustainable production.Penguatan ketangguhan rumahtangga petani menghadapi risiko ketidakberlanjutan melalui peningkatan kemampuan daya adaptasi dan mitigasi kondisi yang sulit perlu terus dilakukan. Sumber-sumber potensi kerentanan ekonomi rumahatangga petani menjadi informasi awal untuk landasan penanggulan risiko usaha. Kemampuan menemukenali sumber potensi kerentanan ekonomi akan menjadi stimulus upaya peningkatan produktivitas, pendapatan, dan pertumbuhan ekonomi perdesaan. Penelitian ini fokus bertujuan untuk menggali sumber-sumber potensi kerentanan ekonomi rumahtangga petani kopi di hulu DAS Lampung. Penelitian survey dilakukan pada daerah sentra produksi kopi di tiga kecamatan yang berada dalam wilayah tangkapan air DAS Way Besai Lampung Barat, yaitu Kecamatan Air Hitam, Way Tenong, dan Sumber Jaya. Melibatkan jumlah responden 165 petani kopi aktif. Metode analisis data menggunakan pendekatan statistik non-parametrik dengan model multinomial regression. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber potensi kerentanan ekonomi petani di hulu DAS sangat terkait erat dengan kepemilikan dan luasan asset lahan yang dimiliki. Asset lahan menjadi sumber utama penerimaan rumahtangga petani, alokasi tenaga kerja, dan pengeluaran rumahtangga baik pangan maupun non pangan, termasuk untuk keperluan tabungan dan investasi. Faktor-faktor penting ini menjadi entry point dalam upaya membangun resilisensi rumahtangga petani yang tangguh. Resiliensi rumahtangga menjadi modal dasar dalam pencapaian produksi berkelanjutan. 
Kesiapan Produsen Mebel di Jepara dalam Menghadapi Sertifikasi Ekolabel
Furniture is a big 4 of Indonesia’s export commodities with palm oil, textiles, and rubber outside the oil and gas. Value-added is enjoyed by tens of millions of people involved in the value chain. But, the business is experiencing severe challenges to the issue of certification and forest products (green or certified furniture) and the scarcity of wood. Certified furniture is intended for preservation of forest resources, the healthy processing of furniture making as well as improving the welfare of artisans. From the supply side of certified furniture, large producers have been prepared while small producers are not ready. From the demand side, domestic consumers only want to pay less for certified furniture, while British and Norway consumers are 16% 7.5% respectively. The increase in willingness to pay is lower than the certified furniture prices increased between 6–30%., Certification can be done by a third party accredited by the Tropical Forest Trust (TFT), Indonesian Ecolabel Institute (LEI), or Forest Stewardship Council (FSC). When the increase in production costs are higher than the desire of consumers to pay, then the certified furniture becomes difficult to be realized. Need specific strategies to market certified furniture. This article is a case study in Jepara furniture craftsmen who accounted for 10% of national exports
Perlindungan Indikasi Geografis oleh Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Pasca Sertifikasi di Yogyakarta
Indikasi Geografis (IG) pada produk selama ini diklaim sebagai produk premium yang dapat meningkatkan pendapatan jika digunakan dan dilindungi dengan baik. Namun, tidak semua produk IG yang terdaftar mengalami kenaikan harga secara signifikan pasca sertifikasi seperti Salak Pondoh Sleman dan IG Batik Tulis Nitik Yogyakarta. Metode pengumpulan data penelitian ini dilakukan melalui wawancara secara virtual, observasi dan studi dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah sertifikasi IG, MPIG Salak Pondoh Sleman sampai saat ini belum menunjukkan peningkatan, khususnya pada nilai tambah dari hasil produksi salak. Faktor yang sangat mempengaruhi adalah kurangnya pemahaman terkait Indikasi Geografis, baik pedagang maupun konsumen. Masyarakat belum mampu membedakan antara salak yang sudah tersertifikasi IG maupun tidak tersertifikasi. Ketidakjelasan fungsi dan tumpang tindih antara MPIG dan asosiasi sebagai “managing group” pada IG Salak Pondoh Sleman membuat pengelolaan IG Salak Pondoh Sleman tidak maksimal. Sebaliknya, MPIG Batik Tulis Nitik Yogyakarta justru mengalami peningkatan hasil produksi hingga lebih dari 50%. Saat pandemi, MPIG Batik Tulis Nitik Yogyakarta tetap produktif karena kekompakan dan komunikasi yang baik antara MPIG Batik Tulis Nitik Yogyakarta dengan para stakeholder serta penanaman edukasi pentingnya IG dan kecintaan terhadap seni khas daerah tersebut
Perlindungan Indikasi Geografis oleh Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Pasca Sertifikasi di Yogyakarta
Indikasi Geografis (IG) pada produk selama ini diklaim sebagai produk premium yang dapat meningkatkan pendapatan jika digunakan dan dilindungi dengan baik. Namun, tidak semua produk IG yang terdaftar mengalami kenaikan harga secara signifikan pasca sertifikasi seperti Salak Pondoh Sleman dan IG Batik Tulis Nitik Yogyakarta. Metode pengumpulan data penelitian ini dilakukan melalui wawancara secara virtual, observasi dan studi dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah sertifikasi IG, MPIG Salak Pondoh Sleman sampai saat ini belum menunjukkan peningkatan, khususnya pada nilai tambah dari hasil produksi salak. Faktor yang sangat mempengaruhi adalah kurangnya pemahaman terkait Indikasi Geografis, baik pedagang maupun konsumen. Masyarakat belum mampu membedakan antara salak yang sudah tersertifikasi IG maupun tidak tersertifikasi. Ketidakjelasan fungsi dan tumpang tindih antara MPIG dan asosiasi sebagai “managing group” pada IG Salak Pondoh Sleman membuat pengelolaan IG Salak Pondoh Sleman tidak maksimal. Sebaliknya, MPIG Batik Tulis Nitik Yogyakarta justru mengalami peningkatan hasil produksi hingga lebih dari 50%. Saat pandemi, MPIG Batik Tulis Nitik Yogyakarta tetap produktif karena kekompakan dan komunikasi yang baik antara MPIG Batik Tulis Nitik Yogyakarta dengan para stakeholder serta penanaman edukasi pentingnya IG dan kecintaan terhadap seni khas daerah tersebut
Pasar yang Adil Bagi Usaha Kecil
Jurnal Analisis Sosial AKATIGA edisi ini mencoba melihat secara kritis persoalan struktural dari sisi kebijakan dan struktur pasar atau rantai hulu hilir yang menghambat peluang usaha kecil untuk berkembang. Selain itu, juga dibahas upaya-upaya yang dilakukan pihak organisasi non-pemerintah untuk mengatasi ketidakadilan di dalam struktur pasar dalam skala global dan lokal
- …