Perspektif
Not a member yet
717 research outputs found
Sort by
PROBLEMATIKA PENGANGKATAN PRAJURIT TNI SEBAGAI PENJABAT KEPALA DAERAH
Untuk mencegah jangan sampai terjadi kekosongan jabatan kepala daerah akibat berakhir masa jabatan tahun 2022 dan tahun 2023. Maka diangkat seorang Penjabat guna mengisi kekosongan jabatan dimaksud. Namun persoalannya penjabat yang diangkat bukan berasal dari kalangan sipil melainkan dari kalangan militer. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual untuk menganalisis permasalahan yang menjadi fokus penelitian. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Pengangkatan prajurit TNI aktif dalam menduduki jabatan sipil semestinya tidak boleh terjadi. Sebab sangat mungkin menyebabkan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dengan mencampuradukkan kepentingan militer dan kepentingan sipil dalam birokrasi pemerintahan sehingga berpontensi menciptakan konflik kepentingan. Selain itu, bagi prajurit TNI yang telah mengundurkan diri atau pensiun, tidak serta-merta boleh diangkat sebagai penjabat kepala daerah. Melainkan yang bersangkutan harus terlebih dahulu mengikuti seleksi atau diangkat menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, kategori Madya atau Pratama. Setelah itu, barulah yang bersangkutan dapat diangkat sebagai Penjabat Kepala Daerah.
To prevent a vacancy in the position of regional head due to the end of the term of office in 2022 and 2023, an Acting Officer will be appointed to fill the vacancy in the position in question. However, the problem is that the officials appointed do not come from civilian circles but from military circles. The research method used is juridical-normative using a statutory approach and a conceptual approach to analyze the problems that are the focus of the research. The results of the research concluded that the appointment of active TNI soldiers to civilian positions should not have occurred. Because it is very likely to cause abuse of power by mixing military interests and civilian interests in the government bureaucracy, thereby potentially creating a conflict of interest. Apart from that, TNI soldiers who have resigned or retired cannot immediately be appointed as acting regional heads. However, the person concerned must first take part in a selection or be appointed to a High Leadership Position, Middle or Primary category. After that, the person concerned can be appointed as Acting Regional Head
NORMA SABOTASE PADA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DALAM PRESPEKTIF FILSAFAT DAN YURIDIS
Kodifikasi Hukum Pidana di Indonesia memasuki babak baru dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru). Salah satu norma yang diatur dalam KUHP baru tersebut adalah norma sabotase yang diatur dalam Pasal 210. Sabotase merupakan kejahatan yang harus diatur mengingat berbahaya bagi stabilitas negara sekaligus wujud perlindungan hukum kepada warga negara. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas terkait perkembangan norma sabotase serta analisis norma sabotase dalam KUHP baru ditinjau dari aspek yuridis dan filosofis. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan konseptual, perbandingan, perundang-undangan, dan filosofis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa norma sabotase di Indonesia mulai diatur sejak tahun 1963 dengan diterbitkannya Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Kini, norma sabotase dimasukkan ke dalam bagian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terbaru. Namun yang harus diperhatikan bahwa pada beberapa kasus, sulit untuk membedakan antara tindakan sabotase atau kecelakaan kerja. Oleh sebab itu, perlu dilakukan perubahan norma sabotase terhadap tindakan yang dilakukan dalam batas kewajaran dan bertujuan untuk menjalankan tugas dan tangungjawabnya.
The codification of criminal law in Indonesia entered a new phase with the enactment of Law Number 1 of 2023 on the Criminal Code (The New Criminal Code). One of the norms regulated in the new Criminal Code is the norm of sabotage which is regulated in Article 210. Sabotage is a crime that must be regulated considering that it is dangerous for the stability of the state as well as a form of legal protection to citizens. Therefore, this article will discuss the development of sabotage norms and analysis of sabotage norms in the New Criminal Code in the perspective of juridical and philosophical aspects. This research is a normative and explorative research with conceptual, comparative, statute, and philosophical approaches. The results showed that sabotage norms in Indonesia began to be regulated since 1963 with the enactment of Presidential Decree of the Republic of Indonesia Number 11 of 1963 on the Eradication of Subversion Activities. Now, sabotage norms are included in the latest Criminal Code section. However, it must be noted that in some cases, it is difficult to distinguish between acts of sabotage or work accidents. Therefore, it is necessary to change the norm of sabotage towards actions that are carried out within reasonable limits and aim to fulfill their duties and responsibilities.Kodifikasi Hukum Pidana di Indonesia memasuki babak baru dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru). Salah satu norma yang diatur dalam KUHP baru tersebut adalah norma sabotase yang diatur dalam Pasal 210. Sabotase merupakan kejahatan yang harus diatur mengingat berbahaya bagi stabilitas negara sekaligus wujud perlindungan hukum kepada warga negara. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas terkait perkembangan norma sabotase serta analisis norma sabotase dalam KUHP baru ditinjau dari aspek yuridis dan filosofis. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dan eksploratif dengan pendekatan konseptual, perbandingan, perundang-undangan, dan filosofis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa norma sabotase di Indonesia mulai diatur sejak tahun 1963 dengan diterbitkannya Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Kini, norma sabotase dimasukkan ke dalam bagian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terbaru. Namun yang harus diperhatikan bahwa pada beberapa kasus, sulit untuk membedakan antara tindakan sabotase atau kecelakaan kerja. Oleh sebab itu, perlu dilakukan perubahan norma sabotase terhadap tindakan yang dilakukan dalam batas kewajaran dan bertujuan untuk menjalankan tugas dan tangungjawabnya
Pelaporan Keuangan PT Perorangan Sebagai Wujud Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
Organ PT Perorangan yang hanya dilakukan oleh 1 (satu) orang mengakibatkan kurangnya pengawasan internal perseroan, apabila dikaitkan dengan pelaporan keuangan kepada Menteri dapat menimbulkan permasalah apabila dilakukan dengan itikad buruk atau tidak sesuai dengan kondisi keuangan perseroan sebenarnya. Penelitian ini penelitian hukum normatif, menggunakan pendekatan perundang-undangan yang relevan dan pendekatan konseptual mengenai PT Perorangan. Hasil penelitian ini mengenai pelaporan keuangan PT Perorangan berdasarkan ketentuan Pasal 153F ayat (1) UU No. 6 Tahun 2023. Pelaporan keuangan PT Perorangan, tidak terdapat mekanisme atau Tindakan pengecekan oleh Menteri terhadap rincian laporan keuangan yang disampaikan melainkan hanya menerima laporan yang masuk untuk selanjutnya diterbitkan surat penerimaan laporan keuangan oleh Menteri. Terjadi kekosongan aturan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaporan keuangan PT Perorangan oleh Direktur. Oleh sebab itu, saran yang dikemukakan yakni perlu adanya ketentuan baru yang dapat mengakomodir pelaporan keuangan PT Perorangan baik dalam hal pengecekan laporan keuangan oleh Menteri, tata cara dan pengenaan sanksi administratif, serta penunjukan pihak ketiga yang independen untuk melakukan pengecekan laporan keuangan dengan keadaan perseroan sehingga dapat diminimalisir celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh Direktur PT Perorangan yang beritikad buruk.
The organ of a PT Perorangan which is only carried out by 1 (one) person results in a lack of internal supervision of the company, if associated with financial reporting to the Minister, it can cause problems if it is carried out in bad faith or not in accordance with the actual financial condition of the company. This research is a normative legal research, using a relevant statutory approach and a conceptual approach regarding PT Perorangan. The results of this study regarding the financial reporting of PT Perorangan based on the provisions of Article 153F paragraph (1) of Law No. 6 of 2023. Financial reporting of PT Perorangan, there is no mechanism or action to check by the Minister on the details of the financial reports submitted but only receives incoming reports for the issuance of a letter of acceptance of the financial report by the Minister. There is a lack of rules regarding the procedures for imposing administrative sanctions if there is a violation of the financial reporting of PT Perorangan by the Director. Therefore, the suggestion put forward is that there needs to be new provisions that can accommodate the financial reporting of individual PTs, both in terms of checking financial reports by the Minister, procedures and imposition of administrative sanctions, and the appointment of an independent third party to check financial reports with the company’s condition so that legal loopholes that can be exploited by Directors of Individual PTs with bad intentions can be minimized.Organ PT Perorangan yang hanya dilakukan oleh 1 (satu) orang mengakibatkan kurangnya pengawasan internal perseroan yang selanjutnya apabila dikaitkan dengan pelaporan keuangan kepada Menteri dapat menimbulkan permasalah apabila dilakukan dengan itikad buruk atau tidak sesuai dengan kondisi keuangan perseroan sebenarnya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan yang relevan dan pendekatan konseptual mengenai PT Perorangan. Hasil penelitian ini yakni mengenai pelaporan keuangan PT Perorangan berdasarkan ketentuan Pasal 153F Ayat (1) UU 6/2023. Dalam hal pelaporan keuangan PT Perorangan, tidak terdapat mekanisme atau Tindakan pengecekan oleh Menteri terhadap rincian laporan keuangan yang disampaikan melainkan hanya menerima laporan yang masuk untuk selanjutnya diterbitkan surat penerimaan laporan keuangan oleh Menteri. Terjadi kekosongan aturan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaporan keuangan PT Perorangan oleh Direktur. Oleh sebab itu, saran yang dikemukakan yakni perlu adanya ketentuan baru yang dapat mengakomodir pelaporan keuangan PT Perorangan baik dalam hal pengecekan laporan keuangan oleh Menteri, tata cara dan pengenaan sanksi administratif, serta penunjukan pihak ketiga yang independen untuk melakukan pengecekan laporan keuangan dengan keadaan perseroan sehingga dapat diminimalisir celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh Direktur PT Perorangan yang beritikad buruk
TINJAUAN YURIDIS PELAKU EKSPLOITASI LANSIA SEBAGAI OBJEK KONTEN LIVE STREAMING TIKTOK
Maraknya konten live streaming dimana pemilik akun menampilkan seorang nenek/lansia yang mengguyurkan air ke badan apabila seseorang penonton memberikan gift/hadiah berupa koin yang mana koin tersebut dapat di tukarkan menjadi uang tindakan yang dilakukan oleh pemilik akun merupakan kategori tindak pidana eksploitasi dimana seseorang dijadikan objek suatu hal untuk mendapatkan keuntungan. Perlunya tindakan tegas terhadap para pelaku tindakan ekploitasi terhadap lansia melalui sosial media, sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku eksploitasi online. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan bahan dasar hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yaitu buku, jurnal, dan artikel ilmiah tentang hukum. Dalam mengkaji permasalahan ini menggunakan metode penelitian normatif untuk menemukan ratio legis dari peraturan yang berlaku di Indonesia dengan permasalahan yang terjadi, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual dan kasus, dapat ditemukannya penyelesaian masalah. Hasil dari penelitian ini adalah perlunya pembaharuan aturan hukum mengenai tindak pidana eksploitasi yang dilakukan melalui online, karena aturan yang ada saat ini kurang relevan lagi dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat.
The rise of live streaming content where the account owner displays a grandmother/elderly pouring water on the body if a viewer gives a gift/prize in the form of coins which can be exchanged for money, the action taken by the account owner is a category of criminal exploitation where a person is made an object of something to gain profit. There is a need for strict action against perpetrators of exploitation of the elderly through social media, so as to create a deterrent effect for perpetrators of online exploitation. This study uses a normative method with primary legal materials, namely laws and regulations and secondary legal materials, namely books, journals, and scientific articles on law. In examining this problem, a normative research method is used to find the ratio legis of the regulations in force in Indonesia with the problems that occur, using a statutory, conceptual and case approach, a solution to the problem can be found. The results of this study are the need to renew the legal regulations regarding criminal acts of exploitation carried out online, because the current regulations are no longer relevant to the increasingly rapid development of technology.Maraknya konten live streaming dimana pemilik akun menampilkan seorang nenek/lansia yang mengguyurkan air kebadan apabila seseorang penonton memberikan gift/ hadiah berupa koin yang mana koin tersebut dapat di tukarkan menjadi uang, semakin banyak koin maka semakin banyak pula air yang diguyurkan hingga korban mengalami kedinginan. Tindakan yang dilakukan oleh pemilik akun merupakan kategori tindak pidana eksploitasi dimana seseorang dijadikan objek suatu hal untuk mendapatkan keuntungan, sedangkan lansia merupakan orang tua yang sudah lemah dan berada di bawah pengampuan wali yang seharusnya berada dibawah perlindungan dan mendapatkan hidup yang layak. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode normatif dengan bahan dasar hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan dan bahan dasar hukum sekunder yaitu buku, jurnal, dan beberapa artikel ilmiah tentang hukum. Dalam mengkaji permasalahan ini penulis menggunakan metode penelitian normatif untuk menemukan ratio lagis dari peraturan yang berlaku di Indonesia dengan permasalahan yang sedang terjadi, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (conseptual approach) dan pendekatan kasus (Case Approach) dapat ditemukannya penyelesaian masalah. Hasil dari penelitian ini adalah perlunya pembaharuan aturan hukum mengenai tindak pidana eksploitasi yang dilakukan melalui online, karena aturan yang ada saat ini kurang relevan lagi dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat
PROBLEMATIK PERPINDAHAN IBU KOTA NEGARA INDONESIA KE KALIMANTAN TIMUR DALAM PERSPEKTIF HUKUM
Upaya Pemerintah dalam melakukan pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, sehingga menimbulkan polemik di masyarakat, ada yang Pro dan ada yang Kontra. Tujuan Pemerintah melakukan pemindahan Ibu Kota Negara adalah dalam rangka percepatan pembangunan yang lebih baik. Pada era pemerintahan Presiden Soekarno wacana pemindahan Ibu Kota Negara sudah ada sampai saat ini kembali ditegaskan oleh Presiden Jokowi. Presiden menyampaikan pemindahan Ibu Kota Negara dari Provinsi DKI Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 26 Agustus 2019. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif mempunyai makna suatu penelitian hukum yang dikonsepsikan sebagai apa yang ditulis dalam peraturan perundang-undangan atau konsepsi dari kaidah atau norma yang menjadi patokan dalam berperilaku di masyarakat terhadap apa yang seharusnya dilakukan. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), dengan mengkaji Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Hasil Penelitian Ini menunjukkan bahwa Pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur membutuhkan upaya yang sangat besar dari pemerintah dalam mewujudkannya, dan pasti akan berpengaruh pada lembaga-lembaga negara, kantor lembaga negara ini pastinya ikut berpindah pada Ibu Kota Negara baru. Diundangkannya UU IKN dinilai cacat formil sebab tidak melibatkan partisipasi masyarakat sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945 sehingga dinilai tidak menghiraukan prinsip kedaulatan rakyat.
The Government’s efforts to move the National Capital from Jakarta to East Kalimantan are manifested in Law Number 3 of 2022 concerning the National Capital, which has caused polemics in society, some are Pro and some are Con. The Government’s goal in moving the National Capital is to accelerate better development. During the era of President Soekarno’s administration, the discourse on moving the National Capital has existed until now, it has been reaffirmed by President Jokowi. The President conveyed the transfer of the National Capital from DKI Jakarta Province to East Kalimantan Province on August 26, 2019. The method used in this study is normative legal research. Normative legal research has the meaning of legal research that is conceptualized as what is written in laws and regulations or the conception of rules or norms that are the benchmark for behaving in society regarding what should be done. While the approach used is the statute approach, by examining Law No. 3 of 2022 concerning the National Capital. The results of this study show that the relocation of the National Capital to East Kalimantan requires a great deal of effort from the government to realize it, and will certainly affect state institutions, the offices of these state institutions will certainly move to the new National Capital. The enactment of the IKN Law is considered formally flawed because it does not involve public participation as stated in Article 27 paragraph (1) and Article 28C paragraph (2) of the 1945 Constitution, so it is considered to ignore the principle of people’s sovereignty
KEMAKNAGANDAAN PEMBEBANAN PAJAK PENGHASILAN ATAS HARTA WARISAN YANG DIPEROLEH AHLI WARIS
Penelitian yang berjudul Kemaknagandaan Pembebanan Pajak Penghasilan Atas Harta Warisan Yang Diperoleh Ahli Waris bertujuan pertama untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis tentang bagaimana karakteristik pembebanan pajak penghasilan bagi ahli waris. Kedua untuk mengetahui, memahami serta menganalisis upaya hukum bagi ahli waris yang merasa keberatan atas pembebanan pajak terhadap harta warisan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yang merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan literatur yang berkaitan materi yang dibahas. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan yaitu karakteristik yang timbul dalam Pajak Penghasilan terhadap Ahli Waris ini berbeda hal dengan pembebanan Pajak Penghasilan pada umumnya, yang menjadi pembeda terletak dalam subjek serta objek pajaknya. Selain itu makna ganda yang terjadi dalam undang-undang menyebabkan ahli waris bingung pada ketentuan mengenai harta warisan yang dikenakan pajak penghasilan. Kedua, SKB PPh dapat diajukan oleh pewaris atas peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan, baik harta bergerak maupun harta tidak bergerak dapat mengajukan SKB PPh kepada Direktur Jendral Pajak sesuai dengan NPWP terdaftar milik pewaris yang dimana dalam permohonannya tidak boleh ada pajak terhutang milik pewaris. Bila terdapat pajak terhutang maka ahli waris dapat mengajukan upaya hukum keberatan bilamana ahli waris tidak memiliki kemampuan yang sama untuk membayarkan pajak terhutang milik pewaris tersebut.
The research entitled Multiple Significance of Imposing Income Tax on Inheritance Acquired by Heirs aims first to know and understand and analyze how the characteristics of income tax imposition for heirs. The second is to know, understand and analyze Legal Remedies for Heirs Who Have Objections to Tax Imposition on Inheritance. The research method used in this thesis uses normative research methods which are library research, namely research on laws and regulations and literature related to the material discussed. Based on the results of the study it can be concluded that the characteristics that arise in the Income Tax on Heirs are different from the imposition of Income Tax in general, the difference lies in the subject and object of the tax. In addition, multiple significance that occurs in the law causes heirs to be confused about the provisions regarding inherited assets subject to income tax. Second: SKB PPh can be submitted by the heir for the transfer of rights to land and/or buildings, both movable and immovable property can apply for SKB PPh to the Director General of Taxes in accordance with the heir’s registered NPWP where in the application there may be no tax payable belonging to the heir . If there is tax payable, the heir can file an objection if the heir does not have the same ability to pay the tax owed by the heir
PERBANDINGAN PERKEMBANGAN KONSTITUSI DI INDONESIA DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN NASIONAL
Keberadaan fungsi hukum tidak lain adalah untuk dapat dijadikan sebuah sarana bagi berbagai pembaruan yang dibutuhkan oleh masyarakat khususnya dalam suatu pembangunan nasional. Konstitusi sebagai acuan hukum tertinggi menjadi sebuah poros utama dalam proses pembangunan nasional sehingga diperlukan tatanan pengaturan yang selalu dapat menjawab tantangan pembaruan di dalam masyarakat. Konstitusi dapat dikatakan sebagai suatu tonggak bagi suatu negara dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Dalam penulisan ini akan dibahas perbandingan perkembangan konstitusi di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga saat ini untuk kemudian dijadikan sebagai pedoman dalam merekontruksi hukum agar bisa menghadapi setiap perubahan yang terjadi didalam masyarakat kedepannya. Metode penulisan yang digunakan adalah melalui pendekatan perbandingan dan pendekatan secara historis. Pendahuluan kepentingan bersama daripada kepentingan golongan haruslah diutamakan agar dapat memberikan tunjangan perubahan yang signifikan bagi kemajuan masyarakat secara keseluruhan untuk dapat mencapai tujuan dari pembangunan nasional yang dibungkus secara apik dalam sebuah Konstitusi.
The existence of function of law is none other than to be used as a means for various reforms needed by society, especially in national development. The constitution as the highest legal reference becomes a main axis in the national development process so a regulatory order is needed that can always answer the challenges of reform in society. The constitution can be said as a milestone for a country in the administration of the nation and state. In this paper, we will discuss a comparison of the development of the constitution in Indonesia since the beginning of independence until now to be used as a guide in reconstructing law so that it can deal with any changes that occur in society in the future. The writing method used is a comparative and historical approach. The introduction of common interests rather than group interests must be prioritized to provide significant change allowances for the progress of society as a whole to be able to achieve the goals of national development which are neatly wrapped in a Constitution
KARAKTERISTIK PRODUK ROBOT TRADING BERBASIS KECERDASAN ARTIFISIAL DI BURSA BERJANGKA KOMODITI
Aktifitas trading di pasar komoditi yang biasanya dilakukan oleh manusia sebagai pialang kini telah melibatkan peran robot berbasis kecerdasan artifisial yang berpotensi bersinggungan dengan isu etika dan norma hukum bahkan dapat merugikan masyarakat utamanya akibat substansi iklan yang tidak lengkap mengenai informasi baik dan buruknya penggunaan robot trading apalagi terhadap robot trading yang disediakan oleh lembaga yang belum terdaftar di BAPPEBTI. Konsumen menjadi pihak yang paling dirugikan padahal jika mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) konsumen berhak atas informasi dan perlindungan. Oleh sebab itu, perlu dikaji mengenai keabsahan perjanjian konsumen yang melandasi keputusan konsumen dalam memilih jasa robot trading di aktifitas investasinya serta kejelasan kedudukan subyek hukum dalam perjanjian investasi berjangka komoditi secara daring yang melibatkan peran robot trading ini. Penelitian dengan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep ini akan membahas dan meneliti mengenai aspek perlindungan konsumen bagi pengguna layanan robot trading di perdagangan berjangka komoditi sebagai perkembangan terbaru di luar UUPK sehingga penanganan terhadap kerugian konsumen hendaknya dapat disesuaikan dengan faktor utama penyebab kerugian yakni wanprestasi oleh pihak pengelola platform sebagai subyek hukum.
Trading activities in the commodity market that are usually carried out by humans as brokers now involve the role of artificial intelligence-based robots which have the potential to intersect with issues of ethics and legal norms and can even be detrimental to society, mainly due to incomplete advertising substance regarding the good and bad information of using trading robots, let alone against trading robots provided by institutions that have not been registered with BAPPEBTI. Consumers are the most disadvantaged party even though when referring to Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection (UUPK) consumers have the right to information and protection. Therefore, it is necessary to study the validity of consumer agreements that underlie consumer decisions in choosing robot trading services in their investment activities and the clarity of the position of legal subjects in online commodity futures investment agreements that involve the role of this trading robot. Research using the statutory approach method and this conceptual approach will discuss and examine aspects of consumer protection for users of robot trading services in commodity futures trading as the latest development outside the UUPK so that the handling of consumer losses should be adjusted to the main factors causing losses, namely default by the platform manager as a legal subject
PENERAPAN PRINSIP DEKLARATIF DALAM PENDAFTARAN HAK CIPTA OLEH DIREKTORAT JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL (STUDI DI KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA JAWA TIMUR)
Penerapan prinsip deklaratif dalam pendaftaran hak cipta mengalami kerancuan akibat pemberian wewenang kepada Sub Bidang Kekayaan Intelektual dalam pencatatan ciptaan, yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis dengan data primer dan sekunder melalui tahapan Editing, Classifying, Verifikasi, Analysis, dan Conclusion. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendaftaran hak cipta secara deklaratif hanya diperoleh setelah ciptaan berwujud nyata. Pencatatan hanya dianggap bukti bahwa karya sudah selesai. Proses dimulai dengan tracking setelah pelaporan pelanggaran hak cipta oleh pencipta. Setelah verifikasi, berkas dikirim ke Polda Jatim untuk penyidikan, lalu hasilnya disampaikan ke Sub-bidang Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur. Meskipun demikian, penerapan prinsip deklaratif perlu disesuaikan untuk menghindari kerancuan dan memastikan kepatuhan terhadap undang-undang hak cipta yang berlaku.
The implementation of declarative principles in copyright registration still faces confusion, as the government has granted authority to the Sub-Field of Intellectual Property in the service of recording creations. This contradicts the declarative principle and Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. This study employs a socio-legal approach with primary and secondary data through stages of Editing, Classifying, Verification, Analysis, and Conclusion. The research findings indicate that declarative copyright registration is only obtained automatically after the creation is completed and takes on a tangible form. Registration serves as a legal assumption that the work is finished. The process begins with tracking following a report of copyright infringement by the creator. After verification, the file is sent to East Java Regional Police for investigation, and the results are relayed to the Sub-Field of Intellectual Property of the Ministry of Law and Human Rights in East Java. However, the implementation of declarative principles should be adjusted to avoid confusion and ensure compliance with applicable copyright laws.ABSTRAK
Penerapan prinsip deklaratif dalam pendaftaran hak cipta masih terdapat sebuah kerancuan, karena Pemerintah memberikan kewenangan kepada Sub Bidang Kekayaan Intelektual dalam pelayanan pencatatan ciptaan. Hal ini, mencederai perinsip deklaratif dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Salah satu pemicu terjadinya sebuah sengketa hak cipta, yakni karena pencipta tidak mendaftarkan ciptaanya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Penelitian ini, menggunakan penelitian empiris dan pendekatan yuridis sosiologis dengan sumber data primer dan data sekunder. Pengolahan melalui beberapa tahapan: Editing, Classifying, Verifikasi, Analysis, dan Conclusion. Hasil penelitian menunjukakPenerapan prinsip deklaratif dalam pendaftaran hak cipta diperoleh secara otomatis setelah kaya cipta selesai dibuat dan berbentuk nyata. Pencatatan karya cipta hanya anggapan hukum, bahwa karya cipta sudah selesai dibuat. Sedangkan penyelidikan yang dilakukan pertama kali, yakni tracking. kegiatan tracking terhadap suatu karya cipta dilakukan setelah pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelaporan pelanggaran hak cipta. Selanjutnya berkas diferivikasi oleh petugas, jika berkas sudah lengkap, maka dikirimkan ke Polda Jatim untuk melakukan penyidikan dan hasil dari penyidikan dikirimkan kembali ke pihak Sub Bidang Kekayaan Intelektual Kanwil Kemenkumham Jawa Timur.
Kata Kunci: Prinsip Deklaratif; Pendaftaran Hak Cipta; Dirjen KI
 
PERTANGGUNGJAWABAN AVERAGE ADJUSTER TERHADAP KERUGIAN AKIBAT GENERAL AVERAGE PADA PERUSAHAAN ASURANSI
Manusia hanya akan menerima, menghindari, maupun mencegah risiko yang kemungkinan akan terjadi. Hal ini menghasilkan sebuah pengalihan risiko yang dilakukan dengan cara menggunakan asuransi laut. General average merupakan sebuah kerugian yang disepakati oleh para pihak untuk ditanggung bersama dan pertanggungjawaban tersebut akan dipikul bersama antara para pihak. Average Adjuster merupakan penilai kerugian asuransi yang ditunjuk oleh perusahaan asuransi dalam menangani klaim peristiwa general average. Hasil laporan dari Average Adjuster menjadi dasar perusahaan asuransi dalam melakukan klaim yang diajukan oleh tertanggung sehingga mereka memiliki tanggung jawab atas hasil report yang diberikan. Penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan, bahwa jika Average Adjuster melakukan kesalahan dalam hasil report tersebut maka salah satu pihak dapat mengajukan survei ulang pada perusahaan asuransi ataupun mengajukan pengembalian atau penambahan nilai klaim asuransi sehingga dikeluarkan sebuah LoD sebagai parameter uji batas atas instrumen yang diberikan. Oleh sebab itu, penelitian ini menyarankan perlunya lembaga baru yang berfungsi mengawasi atau mengaudit dengan tujuan pengecekan ulang validitas hasil report Average Adjuster sehingga memperkuat fungsi pengecekan ganda sebelum perusahaan asuransi memberikan keputusan final terhadap klaim tertanggung.Humans will only accept, avoid, or prevent risks that are likely to occur. This results in a transfer of risk that is carried out by using marine insurance. The general average is a loss agreed by the parties to be shared and the responsibility will be shared between the parties. The Average Adjuster is an insurance loss assessor appointed by the insurance company to handle claims for general average events. Report results from the Average Adjuster become the basis for insurance companies in making claims submitted by the insured so that they have responsibility for the results of the report provided. Normative legal research using the statutory approach method, that if the Average Adjuster makes a mistake in the results of the report, one party can submit a re-survey to the insurance company or submit a return or increase in the value of the insurance claim so that an LoD is issued as a parameter of the upper limit test of the instrument used. given. Therefore, this study suggests the need for a new institution whose function is to supervise or audit with the aim of re-checking the validity of the results of the Average Adjuster hassle so as to strengthen the double checking function before the insurance company makes a final decision on the insured’s claim