Karakteristik Klinis Tumor Intrakranial pada Dua Rumah Sakit Rujukan Nasional Tahun 2018

Tumor intrakranial adalah massa abnormal di kranium yang dapat berasal dari sel sistem saraf pusat atau dari tipe histopatologi lain. Gejala yang paling sering adalah nyeri kepala, kejang, penurunan kesadaran, dan defisit neurologis. Meskipun telah diketahui tanda dan gejala tumor intrakranial, belum ada penelitian di Indonesia yang mempelajari karakteristik tumor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik tumor intrakranial di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan RS Kanker Dharmais (RSKD). Desain penelitian ini adalah potong lintang dengan subjek pasien tumor intrakranial dewasa yang dirawat di RSCM dan RSKD, pada bulan Oktober- Desember 2019. Data yang diambil meliputi data demografi, klinis, dan jenis tumor intrakranial, lalu disajikan secara deskriptif dan analitik. Terdapat 85 subjek dengan mayoritas perempuan (65,9%), letak tumor di supratentorial (86,3%), keluhan nyeri kepala (63,5%), dan median usia 49 (18-65) tahun. Jenis tumor terbanyak adalah tumor primer (62,4%), terutama meningioma, serta glioma derajat tinggi dan derajat rendah. Tumor metastasis terbanyak berasal dari kanker payudara, kanker paru, dan melanoma maligna. Meningioma adalah tumor intrakranial primer terbanyak (22,4%) dan kanker payudara merupakan sumber metastasis intrakranial paling sering.  Clinical Characteristics Of Intracranial Tumors In Two National Referral Hospitals, 2018Intracranial tumor is an abnormal mass inside cranium. Those mass come from central nervous system cell or from other histopathological types. The symptoms commonly found are headache, seizure, decreased consciousness, along with various neurological deficits. Although the sign and symptoms of intracranial tumor has been known, there were no study in Indonesia that describe those characteristics. This purpose of this study is to know intracranial tumor characteristics in Cipto Mangunkusumo General Hospital and National Cancer Referral Dharmais hospital. This is a cross sectional study towards adults diagnosed with intracranial tumor consulted to Neurology Department in both hospital, October-December 2019. Data acquired were demography and clinical characteristics of intracranial tumor. Data were presented descripteively and analytically. There were 85 subjects in this study. Majority of subjects were female (65.9%), with supratentorial tumor (86.3%), had headache (63.5%) with median age of 49 (18-65) years old. The most common tumor was primary intracranial tumor (62.4%) consisted mainly of meningioma, high-grade glioma, and low-grade glioma. The most common metastatic tumor comes from breast cancer, lung cancer, and melanoma. Meningioma was the most commonprimary intracranial tumor found in 22.4% patients. The most common metastasis was breast cancer

New Predictor of In-Hospital Mortality of The Surgically Treated Haemorrhagic Stroke: Subanalysis

At present there are no specific limits on the level of inflammatory markers which can be used as a boundary between excessive or non-inflammatory responses. We investigate the leukocytes count at hospital admission of spontaneous intracerebral haemorrhage patients to be proposed as a boundary between excessive inflammation and not excessive. This is a subanalysis from the study of the neuroprotective effect of tigecycline on brain injury due to spontaneous intracerebral haemorrhage supratentorial who underwent evacuation of the hematoma. Leukocytosis defined as a leukocyte count ≥ 11.000 cells/mL. The primary outcome was inhospital mortality and the secondary outcome was length of hospital stay (LOS). Statistical analysis conducted by chi-square or Fisher’s exact test and logistic regression. Seventy patients were included. Approximately 79% of the patients had leucocytosis. Leucocytosis was not associated with inhospital mortality or LOS of 15 days or longer. However, a leucocyte count of 20,000 mm3 or higher was associated with in-hospital mortality (odds ratio, 9.09; 95% confidence interval, 1.97 to 42.06; P = 0.005). A leucocyte count of 20,000/mm3 or higher can be proposed as a boundary of the excessive inflammation on spontaneous intracerebral haemorrhage. Prediktor Baru Kematian di Rumah Sakit untuk Pasien Stroke Hemoragik yang Dilakukan Operasi: Hasil Subanalisis Saat ini belum ada penanda khusus untuk menilai suatu respons inflamasi yang berlebihan atau tidak. Penelitian ini bermaksud mengungkap jumlah leukosit tertentu sebagai penanda inflamasi yang berlebihan pada pasien perdarahan otak spontan yang dilakukan operasi evakuasi hematoma intracranial. Penelitian Ini adalah subanalisis dari studi efek neuroprotektif tigecycline pada cedera otak akibat perdarahan intraserebral spontan yang menjalani evakuasi hematoma. Leukositosis didefinisikan sebagai jumlah leukosit ≥ 11.000 sel / mL. Luaran utamanya adalah kematian di rumah sakit dan luaran sekundernya adalah lama perawatan di rumah sakit (LOS= length of stay). Analisis statistik dilakukan dengan chi-square atau uji eksak Fisher dan regresi logistik. Hasil: 70 pasien dilibatkan. Sekitar 79% dari pasien memiliki leukositosis. Leucocytosis tidak berhubungan dengan kematian di rumah sakit atau LOS 15 hari atau lebih. Namun, jumlah leukosit 20.000 mm3 atau lebih tinggi berhubungan dengan kematian di rumah sakit (rasio odds, 9,09; interval kepercayaan 95%, 1,97 hingga 42,06; P = 0,005). Jumlah leukosit 20.000 / mm3 atau lebih tinggi dapat diusulkan sebagai batas peradangan berlebihan pada perdarahan intraserebral spontan.&nbsp

Comparison of Two Methods of 2AAF/CCL4 Exposure to Induce Rat Animal Model of Chronic Liver Injury

Since chronic liver injury has becoming a global public health problem, many research to elucidate the pathological and regeneration mechanism, that lead to the need of creating an animal model of chronic liver injury. The aim of the study was to develop and compare two method of 2AAF/CCl4 exposures in male wistar rats and to analyze the subject survival, weight gain, liver anatomy and histopathology. This research was experimental study, conducted in Animal Research Facilities, IMERI Faculty of Medicine Universitas Indonesia, from October 2018-October 2019. We compared two methods of 2AAF/CCl4 exposures to 8 weeks male Wistar rats (n=18), i.e. repetitive 12 weeks (twice a week) subcutaneous CCl4 (2 ml/kg) administration, combined with administration of 2 weeks intragastric 2AAF (10 mg/kg) once a week (group II, n=6 and daily (group III, n=6). The control group (group I, n=6) received equal quantities of subcutaneous olive oil (CCl4 diluent) and intragastric polyethylene glycol (2AAF solvent). Group II showed lowest (p=0.000; one way ANOVA, followed by Tukey’s multiple comparisons test) weight gain (23.4±7.46 g) and highest liver/body weight ratio (4.4±0.20), and loss of liver surface slipperiness. Histopathological examination of treatment group using hematoxylin eosin and Masson’s trichrome stainings showed liver cells damage (fat degeneration, cell swelling, necrosis and inflammation) and fibrosis. Severe pathology was seen in group III than group II, however both have high survival rate (>83%). Daily administration of 2 weeks high dose 2AAF (10mg/kg) in combination with 12 weeks repetitive CCl4 (2 ml/kg) could induce severe rat liver cells damage and extensive liver fibrosis with an equivalent safety figure compared to that given once a week. Perbandingan Dua Metode Pajanan 2AAF/CCL4 dalam Pembuatan Model Hewan Tikus Cedera Hati Kronik Cedera hati kronik merupakan masalah kesehatan masyarakat global sehingga banyak penelitian dilakukan untuk mencari mekanisme patologi atau regenerasinya, sehingga dibutuhkan suatu model hewan coba cedera hati kronik. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan membandingkan dua metode pajanan 2AAF/ CCl4 pada tikus jantan dan menganalisis tingkat keberhasilan hidup, peningkatan berat badan, anatomi hati dan histopatologisnya. Penelitian ini merupakan studi experimental yang dilakukan di Animal Research Facilities-IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kami membandingkan dua metode pajanan 2AAF/CCl4 pada tikus wistar jantan usia 8 minggu (n=18), yaitu pemberian CCl4 (2 ml/kg) subkutan berulang selama 12 minggu (2 kali/minggu), dikombinasikan dengan pemberian 2AAF (10 mg/kg) intragastrik 1 kali/minggu (kelompok II, n=6) dan setiap hari (kelompok III, n=6). Kelompok kontrol (kelompok I, n=6) menerima cairan pelarut, yaitu minyak zaitun (pelarut CCl4) subkutan dan polietilen glikol (pelarut 2AAF) intragastrik dalam jumlah setara. Kelompok III menunjukkan peningkatan berat badan terendah (23,4±7.46 g) dan rasio berat hati/berat badan (4,4±0.20) terbesar (p=0,000; one way ANOVA dilanjutkan dengan Turkey’s multiple comparison test), serta kehilangan kelicinan permukaan hati. Pemeriksaan histopatologi kelompok perlakuan dengan pewarnaan hematoxylin eosin dan Masson’s trichrome memperlihatkan kerusakan sel hati berupa degenerasi lemak, pembengkakan sel, nekrosis dan peradangan. Gambaran patologi lebih berat pada kelompok III dibandingkan kelompok II, namun keduanya mempunyai angka ketahanan hidup yang tinggi (>83%). Disimpulkan, pemberian setiap hari selama 2 minggu dosis tinggi 2AAF (10 mg/kg) dikombinasi dengan CCl4 (2 ml/kg) berulang selama 12 minggu dapat memicu kerusakan sel hati berat dan fibrosis luas dengan tingkat ketahanan hidup setara dibandingkan pemberian 1 kali/minggu

Comparison of Voiding and Filling Phase Abnormality Post Urodynamic with the Clinical Diagnosis in Cipto Mangunkusumo National Hospital

Database on voiding dysfunction and urodynamics results are still scarce in Indonesia. Therefore, this study aimed to report the urodynamics profile in Department of Urology Cipto Mangunkusumo National Hospital, Indonesia. Data taken from 559 patients underwent urodynamics from 2015-2018 with average 140 per year. The most common pre-urodynamics clinical diagnosis was lower urinary tract LUTS (47%) followed by urinary retention, overactive bladder (OAB), stress incontinence, and pediatric voiding dysfunction (31%, 9%, 8% and 6% respectively). From 261 LUTS patients, findings revealed 141(54%) small bladder capacity, 88(34%) reduced compliance, 29(11%) detrusor overactivity (DO), 8(3%) DO with incontinence, 12(5%) and stress incontinence during the filling phase. Detrusor underactivity (DU), bladder outlet obstruction (BOO), and mixed of BOO and DU were found in 55%, 33% and 3% of patients respectively. Out of 170 urinary retention patients, we found patients with DO (16%), DO incontinence (7%), stress incontinence (4%), DU (50%), BOO (34%), and acontractile bladder (15%). Small bladder capacity (60%) and DO (40%) were the most common findings in OAB patients. Thus, in voiding phase DU and BOO are commonly diagnosed (44% and 19%) in OAB patient. On the contrary, 21% of patients with complaints of stress urinary incontinence showed stress UI (19%), DO(21%), DOI (7%), BOO(34%), and DU (44%). This study implies the role of urodynamics in diagnosing patients with various complaints of lower urinary tract problems. Furthermore, after urodynamics, problem in filling and voiding phase can be determined so that optimal treatment could be tailored based on patients’ individual needs. Perbandingan Abnormalitas Fase Voiding dan Filling Pasca Urodinamik dengan Diagnosis Klinis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Basis data tentang disfungsi berkemih dan hasil urodinamik masih langka di Indonesia. Oleh karena itu, penelitiaan ini bertujuan untuk melaporkan profil urodinamik di Departemen Urologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Data sampel diambil dari 559 pasien yang menjalani urodinamik pada tahun 2015-2018 dengan rata-rata 140 pasien per tahun. Diagnosis klinis pra-urodinamik yang paling umum adalah lower urinary tract LUTS (47%) diikuti oleh retensi urin, OAB, inkontinensia urine tekanan, dan disfungsi berkemih pada anak-anak (masing-masing 31%, 9%, 8% dan 6%). Dari 261 pasien LUTS, temuan urodinamik menunjukkan 141 (54%) kapasitas kandung kemih kecil, 88 (34%) compliance yang berkurang, 29 (11%) detrusor overactivity (DO), 8 (3%) DO dengan inkontinensia, 12 (5%) dan inkontinensia urine tipe tekanan selama fase pengisian. Detrusor underacitivty (DU), bladder outlet obstruction (BOO), dan campuran BOO dan DU ditemukan masing-masing pada 55%, 33% dan 3% pasien. Dari 170 pasien retensi urin, kami menemukan pasien dengan DO (16%), inkontinensia DO (7%), inkontinensia urine tipe tekanan (4%), DU (50%), BOO (34%), dan kandung kemih acontractile (15%). Kapasitas kandung kemih kecil (60%) dan DO (40%) adalah temuan paling umum pada pasien OAB. Dalam fase voiding, DU dan BOO didiagnosis (44% dan 19%) pada pasien OAB. Sebaliknya, 21% pasien dengan keluhan inkontinensia urine tipe tekanan menunjukkan inkontinensia urine tekanan (19%), DO(21%), DOI (7%), BOO(34%), dan DU (44%). Penelitian ini mengimplikasikan peran urodinamik dalam mendiagnosis pasien dengan berbagai keluhan masalah saluran kemih bagian bawah. Setelah pemeriksaan urodinamik, masalah atau gangguan dalam fase filling dan voiding dapat ditentukan sehingga perawatan yang optimal dapat disesuaikan berdasarkan kebutuhan individu pasien.&nbsp

Distribusi Jenis Batu Ginjal pada Penderita Urolithiasis serta Hubungannya dengan Jenis Kelamin dan Usia

Insiden urolitiasis di Jakarta meningkat setiap tahun dari 2016 - 2019, namun distribusi komposisi batu pada penderita urolithiasis serta hubungan distribusi komposisi batu ginjal dengan jenis kelamin dan usia belum diketahui. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik komposisi batu ginjal dan hubungan batu ginjal dengan jenis kelamin dan usia. Penelitian cross-sectional ini dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menggunakan 160 sampel data hasil laboratorium analisis komposisi batu ginjal. Data dianalisis dengan SPPS tipe 20, setelah itu dilakukan uji chi square untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dan usia terhadap komposisi batu ginjal. Uji Mann Whitney dilakukan pada data yang tidak memenuhi syarat untuk uji chisquare. Batu ginjal terbanyak terdapot pada laki – laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan (3:1) dan batu ginjal terbanyak pada kelompok usia 45 – 64 tahun (49,4%). Komposisi jenis batu ginjal terbanyak adalah campuran kalsium, oksalat, karbonat, amonia. Terdapat hubungan komposisi batu ginjal dengan jenis kelamin (p<0,05) untuk komposisi kalsium, amonia dan magnesium. Tidak terdapat hubungan antara usia terhadap komposisi batu ginjal. Disimpulkan komposisi batu ginjal terbanyak adalah oksalat. Terdapat hubungan antara komposisi batu ginjal dengan jenis kelamin namun tidak berhubungan dengan usia. Distribution of Kidney Stones Type in Urolithiasis Patients: Association with Gender and AgeThe incidence of urolithiasis in Jakarta has increased every year from 2016 to 2019. However, the distribution of stone composition in urolithiasis patients and the relationship between the distribution of kidney stone composition with gender and age is unknown. This study aimed to determine the characteristics of kidney stones’ composition and the relationship of kidney stones with gender and age. This cross-sectional study was conducted at the Laboratory of Biochemistry and Molecular Biology, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. The data were collected from the laboratory result of 160 samples of kidney stone composition analysis. Data were analyzed using SPPS ver. 20, additionally, the chi-square test was performed to determine the relationship between sex and age on kidney stones’ composition. The Mann-Whitney test was performed on data that did not meet the requirements for the Chi-square test. Most kidney stones were found in males than females (3: 1) and the most kidney stones were in the 45-64 years age group (49.4%). Most types of kidney stones are a mixture of calcium, oxalate, carbonate, ammonia. There was a relationship between the composition of kidney stones and gender (p <0.05) for the composition of calcium, ammonia, and magnesium. There is no relationship between age and the composition of kidney stones. It is concluded that the composition of most kidney stones is oxalate. There is a relationship between the composition of kidney stones and gender. However, there is no relationship between the composition of kidney stones and age

Bertiellosis in A Man from Lampung

Bertiella is an intestinal cestode, typically infects the primate and it is rarely seen in human. There have been very few cases of human bertielliasis documented and mostly infect the children. We reported a 42 years old man from Lampung with persistent bertielliasis. He complained of passing a kind of worm, whitish, coming out from his anus during defecation.The man worked as an administrative officer for a pulp and paper company in Lampung and experienced treatment failure. Macroscopic examination showed a fragment of live strobila like ribbon consisted of 13 proglottids with a size 18 mm width and 1 mm length. The patient got recovery after treatment with praziquantel. Infeksi Bertiella pada Pasien Laki-laki dari Lampung Bertellia adalah salah satu cestode usus yang menginfeksi primata. Namun demikian, hanya sedikit laporan mengenai bertielliasis pada manusia. Cestode ini paling banyak menginfeksi anak-anak. Kami melaporkan seorang laki-laki usia 42 tahun berasal dari Lampung dengan infeksi kronik berteliasis. Pasien mengeluhkan keluar potongan cacing berwarna putih dari anusnya saat buang air besar. Pasien bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah perusahaan kertas di provinsi Lampung dan telah diberikan pengobatan tetapi belum sembuh. Dari hasil pemeriksaan makroskopis ditemukan bagian tubuh cacing berbentuk pipih yang terdiri atas 13 proglotid dengan ukuran 18 mm x 1 mm. Pasien mengalami perbaikan pasca pengobatan dengan prazikuantel

Efek Oktil Galat Sintetik terhadap Interleukin-1 Beta dan Interleukin-1 Receptor Antagonist pada Tikus Model Endometriosis

Endometriosis merupakan penyakit imun-inflamasi kronik yang ditandai dengan pertumbuhan jaringan endometrial di luar rongga uterus. Pada endometriosis terjadi peningkatan kadar IL-1β sedangkan kadar IL-1Ra menurun atau tidak terdeteksi; ketidakseimbangan tersebut menginduksi pertumbuhan dan perkembangan lesi endometriosis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek oktil galat (OG) terhadap kadar IL-1β dan IL-1Ra dari supernatan homogenat jaringan tikus model endometriosis. Penelitian eksperimental dilakukan di Animal Research Facilities Indonesia Medical Education and Research Institute, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada bulan Juni 2018-Mei 2019. Sebanyak 30 tikus wistar betina dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I dilakukan operasi sham, sedangkan kelompok II dan III diautotransplantasi endometriosis. Kelompok II diinduksi carboxymethyl cellulose sodium Na-CMC dan kelompok III diberikan suspensi 20 mg OG dalam Na-CMC per oral selama satu bulan. Seluruh hewan coba dieutanasia, jaringan endometrium dari kelompok I serta endometriosis dari kelompok II dan III diambil untuk dihomogenasi. Kadar IL-1β dideteksi dengan metode Luminex, sedangkan IL-1Ra dengan ELISA. Rerata kadar IL-1Ra pada kelompok III (243,601 ± 92,505 ng/mgP) lebih tinggi dibandingkan kelompok II (178,058 ± 87,545 ng/mgP). Uji beda proporsi kadar IL-1Ra kategori tinggi pada kelompok III (33,3%) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok II (12,5%). Induksi OG pada tikus model endometriosis meningkatkan kadar IL-1Ra, namun tidak menekan kadar IL-1β. The Effect of Octyl Gallate Synthetic to Interleukin-1 Beta and Interleukin-1 Receptor Antagonist in Rat Endometriosis Model Endometriosis is a chronic immune-inflammatory disease characterized by the growth of endometrial tissue outside the uterine cavity. There is an increase of IL-1β levels while IL-1Ra levels are decreased or not detected in endometriosis. This imbalance induces the growth and development of endometriotic lesions. This study aims to analyze the effect of octyl gallate (OG) on the levels of IL-1β and IL-1Ra from homogenate supernatant of the mouse tissue endometriosis model. Experimental research was carried out at the Animal Research Facilities Indonesia Medical Education and Research Institute, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia in June 2018-May 2019. A total of 30 female wistar rats were divided into three groups. Group I underwent sham surgery, while groups II and III had autotransplantation for endometriosis. Group II was induced by carboxymethyl cellulose sodium Na-CMC and group III was given a suspension of 20 mg OG in Na-CMC orally for one month. All experimental animals were euthanized, endometrial tissue from the group I and endometriosis from groups II and III were taken to be homogenized. IL-1β levels were detected by the Luminex method, while IL-1Ra levels were detected by ELISA. The mean levels of IL-1Ra in group III (243.601 ± 92.505 ng / mgP) were higher than in group II (178.058 ± 87.545 ng / mgP). A different test for the proportion of high category IL-1Ra levels in group III (33.3%) was significantly higher than group II (12.5%). OG induction in endometriosis model mice increased IL-1Ra levels, but did not suppress IL-1β levels.&nbsp

Peran Hitung Jenis Limfosit dan Monosit sebagai Prediktor Kebocoran Plasma pada Fase Awal Infeksi Dengue

Kebocoran plasma adalah suatu entitas klinis yang berperan pada derajat keparahan infeksi dengue dan menjadikan dengue sebagai salah satu penyakit infeksi dengan morbiditas tinggi. Oleh karena itu, prediktor awal kebocoran plasma berdasarkan parameter laboratorium sederhana diperlukan dalam konteks klinis. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif yang menggunakan data rekam medis pasien rawat inap di RSUPN Cipto Mangunkusumo, RSP Persahabatan, dan RSPAD Gatot Soebroto pada bulan Agustus hingga November 2015. Pasien dengan diagnosis demam dengue atau demam berdarah dengue yang memiliki data rekam medis lengkap sejak demam hari ke-2 diikutsertakan dalam penelitian. Analisis data menggunakan receiver operating characteristic (ROC) curve berdasarkan data laboratorium pada demam hari ke-2 untuk mendapatkan nilai diskriminasi prognostik dan titik potong. Dari 63 pasien, 51 (80,9%) orang mengalami kebocoran plasma. Analisis profil leukosit menunjukkan pasien dengan kebocoran plasma memiliki jumlah leukosit lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak. Jumlah leukosit terendah dicapai pada demam hari ke-5. Analisis profil limfosit menunjukkan peningkatan yang mencapai puncaknya pada demam hari ke-7, sedangkan monosit mengalami sedikit peningkatan pada demam hari ke-3 dan menurun dengan stabil pada hari berikutnya. Didapatkan area under the curve nilai absolut limfosit dan monosit masing-masing 0,65 (IK95% 0,512-0,789) dan 0,644 (IK95% 0,506-0,782) dengan titik potong ≤1323 dan ≤770. Nilai titik potong tersebut menunjukkan performa baik untuk menapis kebocoran plasma pada demam hari ke-2.The Role of Lymphocyte and Monocyte Count as a Predictor for Plasma Leakage in the Early Phase of Dengue Infection Plasma leakage is a clinical entity that plays a role in dengue disease severity, making dengue as one of the infectious diseases with high morbidity. Thus, an early predictor for plasma leakage based on simple laboratory parameters is needed. Using cohort retrospective design, this research was conducted in Cipto Mangunkusumo General Hospital, Persahabatan General Hospital, and Gatot Soebroto General Hospital from August until November 2015. Dengue fever, or dengue hemorrhagic fever patients who had a complete medical record since day-2 of fever were included in this study. Laboratory parameters on day-2 of fever were analyzed using receiver operating characteristic (ROC) curve to obtain prognostic discrimination values and cut-off values. Out of 63, 51 (80,9%) patients had plasma leakage. Patients with plasma leakage had a lower number of leukocytes compared to those without. Lowest numbers of leukocytes were seen on day-5 of fever. Lymphocytes were seen to increase on day-7 of fever, while monocytes were seen to slightly increase on day-3 and decrease slowly in the next days. Area under the curve (AUC) of absolute lymphocyte count and absolute monocyte count were 0,65 (CI95% 0,512-0,789) and 0,644 (CI95% 0,506-0,782) with a cut-off value of ≤1323 dan ≤770, respectively. The cut-off values obtained showed a rather remarkable  performance to rule out plasma leakage on day-2 of fever.&nbsp

Efektivitas Salep Ekstrak Etanol 70% Daun Sirih terhadap Epitelisasi Luka Tikus Putih

Daun sirih (Piper betle Linn.) dapat berfungsi sebagai antiseptik, antioksidan, antibakteri, antiinflamasi, dan astringen sehingga berpotensi mempercepat proses penyembuhan luka. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek salep ekstrak etanol 70% daun sirih terhadap fase epitelisasi tikus putih jantan galur wistar yang mengalami luka di area punggung. Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi dan Farmasi Klinis Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura pada bulan November 2018 - Januari 2019 menggunakan desain posttest only controlled group design. Penelitian menggunakan 30 tikus yang dibagi 2 kelompok terdiri atas pengamatan hari ke-7 dan hari ke-14. Setiap kelompok pengamatan terdiri atas 5 kelompok, kelompok kontrol negatif (K-), kelompok kontrol positif (K+), kelompok sirih 7,5% (PI), kelompok sirih 15% (PII), dan kelompok sirih 30% (PIII). Setelah perlukaan, semua kelompok perlakuan dioleskan salep ekstrak etanol 70% daun sirih 2 kali sehari, pagi dan sore. Penilaian epitel menggunakan preparat histopatologi dengan pewarnaan hematoxylin-eosin. Analisis data menggunakan program ImageJ dan IBM SPSS v.24. Luka kelompok salep PII hari ke-7 mengalami epitelisasi luka paling baik dibandingkan kelompok lainnya, Pengukuran jarak antara folikel rambut pertama di tepi luka dan jarak antara dua tepi epitel luka pada hari ke-7 maupun hari ke-14 tidak berbeda signifikan pada semua kelompok. Disimpulkan salep ekstrak etanol 70% daun sirih 15% mempunyai daya penyembuhan luka yang baik pada fase epitelisasi hari ke-7. Effectiveness of Ointment 70% Ethanol Extract Betel Leaves against Wound Epitelialization on Rats  Betel leaf (Piper betle Linn.) can function as an antiseptic, antioxidant, antibacterial, anti-inflammatory, and astringent so that it has the potential to accelerate the wound healing process. The purpose of this study was to determine the effect of 70% betel leaf ethanol extract ointment on the epithelialization phase of Wistar male white rats with wounds in the back area. The research was conducted at the Laboratory of Pharmacology and Clinical Pharmacy, Faculty of Medicine, Tanjungpura University in November 2018 - January 2019 using a posttest only controlled group design. The study used 30 rats divided into 2 groups consisting of observations on the 7th-day group and the 14th-day group. Each observation group consisted of 5 groups, a negative control group (K-), a positive control group (K +), a 7.5% betel group (PI), a 15% betel group (PII), and a 30% betel group (PIII). After wounding, all treatment groups were applied with 70% ethanol extract ointment of betel leaf 2 times a day, morning and evening. The epithelial assessment was using histopathological preparations with hematoxylineosin staining. Data analysis using ImageJ and IBM SPSS v.24 programs. Wounds of the PII ointment group on day 7 experienced the best wound epithelialization compared to other groups. Measurement of the distance between the first hair follicles at the wound edge and the distance between the two wound epithelial edges on day 7 and day 14 did not differ significantly in all groups. It was concluded that the 70% ethanol extract ointment of 15% betel leaf had a better wound healing process on the 7th day of the epithelialization phase

Manifestasi Klinis dan Diagnosis Covid-19

Coronavirus disease (COVID-19) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan virus SARS-CoV-2 serta dapat menyebar dengan cepat. Penyakit ini memiliki spektrum gejala yang luas, mulai dari asimtomatik hingga distress pernapasan yang menyebabkan kematian. Deteksi dini SARS-CoV-2 sangat penting dilakukan untuk mengontrol penyebaran virus dan mengendalikan penyakit. Konfirmasi diagnosis COVID-19 ditetapkan melalui pemeriksaan real-time reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR). Selain RT-PCR, pemeriksaan serologi juga dapat digunakan dalam mengendalikan penyebaran SARS-CoV-2. Pemeriksaan serologi masal digunakan untuk mendeteksi COVID-19 pada individu asimtomatik yang memiliki riwayat kontak erat dengan pasien terkonfirmasi COVID-19, rekomendasi karantina, serta membantu surveilans penyakit. Meskipun demikian, pemeriksaan serologi saja tidak dapat digunakan untuk mengonfirmasi maupun menyingkirkan diagnosis. Pemeriksaan serologi juga kurang menggambarkan status infeksi pasien. Hasil serologi negatif tidak menyingkirkan COVID-19 terutama jika terdapat riwayat kontak erat dengan pasien terkonfirmasi COVID-19. Clinical Manifestation and Diagnosis of Coronavirus Disease-19Coronavirus disease (COVID-19) is an infectious disease caused by a novel coronavirus, SARS-CoV-2, which can spread easily through respiratory droplets. The spectrum of the disease ranges from asymptomatic infection to critical condition that leads to death. Early detection of SARS-CoV-2 is very important to control viral transmission and disease itself. Diagnostic confirmation of COVID-19 is made by real-time reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR) test that detects viral genetic material in infected individuals. Serological test can be useful for rapid case identification and identify asymptomatic individuals who had close contact with COVID-19 patients, recommend quarantine, and surveillance of the disease. However, serological testing could not be used to confirm or exclude the diagnosis of COVID-19 because it could not identify patient’s infection status. A negative result could not exclude COVID-19, especially in patients who had close contact with confirmed COVID-19 patients