Jurnal Peternakan Indonesia
Not a member yet
96 research outputs found
Sort by
Keragaman Sekuen Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan Exon 10 sebagai Informasi Dasar Seleksi pada Sapi Pesisir Plasma Nutfah Sumatera Barat
Dari 216 ekor sapi Pesisir berusia 1,5 tahun , 60 ekor dipilih berdasarkan berat badan, 30 ekor dengan bobot tertinggi (125 ± 9 kg), dan 30 ekor dengan bobot badan rendah (65 ± 6 kg). Keragaman gen reseptor hormon pertumbuhan (GHR) dilihat dengan sekuensing (SNP) dan dengan PCR - RFLP. Lima delesi terdeteksi di posisi 34, 39, 45, 50, dan 115 dengan frekuensi alel berturut-turut 0,45, 0,15, 0,46, 0,46, dan 1,00 dan 4 insersi terdeteksi di posisi 67, 74, 113, dan 133 dengan frekuensi alel berturut-turut 0,19, 0,19, 0,25, dan 0,45 masing-masing dengan genotip insersi T , A , G , dan G. Empat mutasi terdeteksi di posisi 32, 50, 109, dan 150 dengan genotip T ïƒ C, G ïƒ A, A ïƒ C, dan Gïƒ C dengan frekuensi alel 0,50, 0,23, 0,19, dan 1,00. GHR-NlaIII alel T dan C masing-masing adalah 0,017 dan 0,983. Uji chi-square menunjukkan bahwa populasi ini tidak dalam keseimbangan Hardy - Weinberg. Temuan ini menunjukkan bahwa GHR-NlaIII tidak dapat digunakan sebagai penanda untuk keturunan Bos indicus. Tidak ada hubungan antara keragaman gen GHR dengan dua kelompok ternak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gen GHR bersifat polimorfik sehingga perlu dicari hubungannya dengan performance dan pertumbuhan ternak
Komponen Peragam dan Ragam Genetik Paternal pada Sifat Pertumbuhan Sapi Aceh
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (pe)ragam genetik paternal sifat pertumbuhan pada sapi Aceh. Sifat pertumbuhan terdiri atas berat lahir (BL), berat sapih (BS), berat setahunan/yearling (BY), berat akhir (BA), pertambahan berat badan harian (PBBH) dan weight/age (W/A). Komponen covariansi dan variansi yang diperoleh digunakan untuk mengestimasi heritabilitas (h2) dan korelasi genetik (rG). Penelitian ini dilakukan di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) – Hijauan Pakan Ternak (HPT) Sapi Aceh Indrapuri dari bulan Maret sampai April tahun 2013. Materi penelitian ini berupa data catatan sifat produksi ternak dari tahun 2010 sampai tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa standard error (SE) heritabilitas terendah pada BL (0,15+0,13). Sebagian besar nilai korelasi genetik pada sifat pertumbuhan termasuk kategori positif dan tinggi (>0,50). Nilai SE terendah pada korelasi genetik terdapat pada korelasi antara BL dan PBBH prasapih (0,55+0,54), BL dan PBBH pascasapih (0,63+0,62), PBBH prasapih dan PBBH pascasapih (0,71+0,33), PBBH pascasapih dan W/A (0,72+0,33) dan BA dan W/A (0,94+0,69). Disimpulkan bahwa seleksi berdasarkan sifat pertumbuhan dapat menyebabkan performans sapi Aceh meningkat
Analisis Wilayah Pengembangan Sapi Potong dalam Mendukung Swasembada Daging di Jawa Tengah
Penelitian bertujuan menganalisis potensi wilayah untuk pengembangan sapi potong dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan sapi potong dalam mendukung swasembada daging di Jawa Tengah. Penelitian dilakukan dengan menganalisis data sekunder bersumber dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah (2013). Data dianalisis secara deskriptip dan statistik. Analisis potensi wilayah menggunakan parameter location quotient (LQ) dan faktor-faktor pengembangan sapi potong dianalisis dengan model regresi linier berganda, dengan faktor dependen (Y) produksi daging sapi dan variabel independen (X) dari berturut-turut adalah populasi sapi potong, produksi daging total Jawa Tengah, jumlah penduduk, pengeluaran ternak sapi potong ke luar daerah, dan kapasitas rumah potong hewan (RPH). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai LQ berdasarkan kawasan pengembangan sapi potong (kawasan I sd.V) rata-rata sebesar 1,32 (sektor basis sapi potong). Rasio produksi daging sapi dengan tingkat kebutuhan riil penduduk mempunyai Indeks Subsistensi (IS) sebesar 1,27, yang berarti produksi daging sapi Jawa Tengah sudah berlebih. Analisis faktor-faktor pengembangan wilayah sapi potong secara bersama-sama sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi oleh semua variable indipenden (nilai R2= 0,584). Hasil ini menunjukkan bahwa dalam mendukung swasembada daging perlu terus diupayakan peningkatan populasi sapi potong, peningkatan produksi daging selain ternak sapi, pengendalian jumlah penduduk, pengeluaran ternak sapi hidup ke lain daerah dan kapasitas pemotongan di RPH yang perlu terus dipantau dan dijaga kesinambungannya
Adaptasi Legum Pohon yang Diinokulasi dengan Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) Saat Cekaman Kekeringan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi mekanisme adaptasi tanaman legum pohon (Desmodium sp dan Leucaena leucocephala) yang diinokulasi dengan fungi mikoriza arbuskular (FMA) terhadap cekaman kekeringan. Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial, faktor pertama adalah inokulasi FMA (tanpa inokulasi dan inokulasi dengan FMA), faktor ke-2 adalah kekeringan (disiram setiap hari, cekaman kekeringan). Parameter penelitian ini adalah kandungan air tanah (KAT), potensial air daun (PAD), kadar air relatif daun (KARD), dan bobot kering tanaman. Data dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA), jika terdapat pengaruh terhadap peubah yang diukur maka akan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Tidak ada pengaruh interaksi (P>0,05) antara inokulasi FMA dengan cekaman kekeringan terhadap KAT, KARD, dan bobot kering tanaman ke-2 jenis legum pohon. Cekaman kekeringan menurunkan KAT, PAD, KARD dan bobot kering total pada tanaman legum pohon
Bobot dan Panjang Saluran Pencernaan Sapi Jawa dan Sapi Peranakan Ongole di Brebes
Penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi bobot dan panjang saluran pencernaan sapi Jawa dan sapi PO. Materi penelitian berupa saluran pencernaan sapi Jawa dan PO jantan, masing-masing 6 buahdari RPH Brebes, Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa bobot saluran pencernaan sapi Jawa (11,61kg), terdiri dari lambung, usus halus, dan usus besar masing-masing 6,21; 2,77; dan 2,63kg. Bobot saluran pencernaaan sapi PO (12,92kg), terdiri dari lambung, usus halus, dan usus besar masing-masing 7,44; 2,70; dan 2,78kg. Panjang usus total sapi Jawa 26,45m terdiri dari usus halus 20,52m dan usus besar 5,93m, sedangkan sapi PO 30,69m terdiri dari usus halus 23,36m dan usus besar 7,33m. Kesimpulan penelitian ini adalah bobot saluran pencernaan sapi Jawa lebih rendah dari pada sapi PO. Panjang usus total sapi Jawa lebih pendek dari pada sapi PO
Skrining Senyawa Metabolit Steroid sebagai Hormon Reproduksi Ternak pada Tanaman Katuk dan Jantung Pisang
Indonesia memiliki banyak plasma nutfah berupa tanaman yang berpotensi untuk difungsikan sebagai bahan pakan ternak baik yang diposisikan sebagai bahan pakan utama ataupun suplemen dengan tujuan tertentu. Tanaman katuk (Sauropus androgynus) dalam beragam bentuk dan formulasi telah disuplementasikan untuk meningkatkan status reproduksi ternak. Sedangkan jantung pisang telah lama dipergunakan oleh beberapa kalangan masyarakat guna memperbaiki status reproduksi. Pada penelitian ini beberapa bagian tanaman katuk dan beberapa jenis jantung pisang diuji kandungan senyawa steroidnya (skrining) menggunakan metode Simes et al. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman katuk positif mengandung senyawa metabolit steroid (+) baik dari bagian daun (+), batang (+) serta campuran daun dan batang (+). Sedangkan jantung pisang raja, srindit, batu dan jantan seluruhnya negatif mengandung senyawa metabolit steroid (-). Dari hasil skrining fitokimia dapat disimpulkan bahwa tanaman katuk mengandung senyawa metabolit steroid yang berperan penting pada biosintesa hormon steroid ternak betina sedangkan jantung pisang tidak mengandung senyawa metabolit steroid
Sifat Fisik dan Kimia Daging Kelinci Rex dan Lokal (Oryctolagus cuniculus)
Kelinci berpotensi sebagai alternatif sumber protein hewani. Daging kelinci mengandung protein tinggi dan kandungan lemak yang rendah dibandingkan dengan daging ternak lain. Saat ini, informasi terkait performa karkas kelinci Rex dan lokal masih sangat kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mangetahui performa karkas, perlakuan fisik dan kimia pada daging kelinci Rex dan lokal. Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Faktorial 2x2 dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah jenis kelinci dan faktor kedua adalah jenis kelamin. 6 ekor kelinci Rex dan kelinci lokal yang digunakan pada penelitian ini adalah 3 jantan dan 3 betina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembaban daging kelinci Rex lebih tinggi dibandingkan dengan kelinci lokal (P<0,05). Kelinci betina memiliki nilai pH, keempukan dan daya ikat air yang lebih baik dibanding kelinci jantan (P<0,05). Perbedaan antar perlakuan dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan, perlakuan sebelum antemortem dan postmortem, dan juga aktivitas kelinci
Jarak Genetik dan Faktor Peubah Pembeda Entok Jantan dan Betina Melalui Pendekatan Analisis Morfometrik
Penelitian bertujuan untuk mengetahui jarak genetik, pohon fenogram dan variabel pembeda pada entok jantan dan betina dengan menggunakan analisis diskriminan dan kanonikal. Sampel yang digunakan dalam penelitian berasal dari tiga kabupaten yaitu Kabupaten Pekalongan, Demak, dan Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Jumlah sampel entok yang digunakan sebanyak 35 ekor entok jantan dan 35 ekor betina pada tiap kabupaten. Pengamatan terhadap karakter bobot badan, panjang badan, panjang paruh, panjang leher, lingkar badan, panjang sayap, panjang femur, dan panjang jari kaki ketiga. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis diskriminan dengan bantuan program SAS. Hasil peta penyebaran menunjukkan adanya perbedaaan entok jantan dan betina. Analisis diskriminan menunjukkan bahwa variabel pembeda entok jantan terdapat pada lingkar badan (0,85) dan panjang leher (0,66), sedangkan entok betina terdapat pada panjang femur (0,68) dan panjang paruh (0,82). Tingkat kesamaan tertinggi antara entok jantan dan betina ditunjukkan pada entok Kabupaten Pekalongan (97,14) dan Magelang (82,86%). Jarak genetik pada entok jantan dan betina menunjukkan adanya hubungan kekerabatan antara entok di Kabupaten Magelang dan Pekalongan, serta memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan entok Demak
Pengaruh Suplementasi Jintan Hitam (Nigella sativa) Giling terhadap Aspartate Aminotransferase (AST), Alanine Aminotransferase (ALT) dan Berat Organ Hati Broiler
Penelitian ini untuk menentukan aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT) dan berat organ hati pada ayam broiler, setelah disuplementasi jintan hitam giling (Nigella sativa). Materi yang digunakan adalah DOC ayam broiler unsex strain CP 707 sebanyak 100 ekor, menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 kali ulangan. Tiap ulangan terdiri atas 4 unit percobaan yaitu kontrol, antibiotik dan tanpa jintan hitam giling, dengan suplementasi 2%/kg, 4%/kg dan 6%/kg. Kerja enzim hati dan berat organ hati diukur setelah 30 hari. Penambahan jintan hitam giling pada ayam broiler tidak signifikan pengaruhnya pada enzim hati (AST dan ALT) dan relatif signifikan pada berat organ hati. Disimpulkan bahwa penambahan jintan hitam giling sebagai pakan tambahan tidak menunjukkan dampak negatif terhadap enzim hati seperti AST dan ALT, dan berat organ hati dengan penambahan jintan hitam giling sebagai pakan tambahan yang digunakan pada level 2-6%/kg pada ayam broiler
Sistem Produksi dan Produktivitas Sapi Jawa-Brebes dengan Pemeliharaan Tradisional (Studi Kasus di Kelompok Tani Ternak Cikoneng Sejahtera dan Lembu Lestari Kecamatan Bandarharjo Kabupaten Brebes)
Penelitian bertujuan untuk mengkaji sistem produksi dan produktivitas sapi Jawa-Brebes (Jabres) yang dipelihara oleh kelompok tani ternak (KTT) sapi Jabres di Kecamatan Bandarharjo, Kabupaten Brebes. Penelitian menggunakan metode studi kasus melalui observasi, wawancara dan pengukuran di lapangan. Data yang diperoleh diolah dan disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tujuan pemeliharaan sapi Jabres oleh KTT untuk memperoleh anak sapi sebagai tabungan. Pemeliharaan dilakukan secara tradisional dengan cara menggembalakan sapi-sapi tersebut di hutan maupun pematang sawah pada pagi hari, sedangkan pada sore hari sapi dikandangkan dan diberi tambahan pakan kasar sesuai ketersediaan jenis pakan. Perkawinan terjadi secara alami ketika sapi digembalakan tanpa campur tangan peternak. Anak-anak sapi sebelum sapih (umur 1-4 bulan) mempunyai PBBH sebesar 0,29±0,15 kg, sedangkan PBBH anak sapi yang telah disapih (umur 10-11 bulan) hanya 0,27±0,17 kg. Kesimpulan penelitian ini ialah 98% anggota KTT di Kecamatan Bandarharjo melaksanakan sistem produksi induk-anak dengan pemeliharaan semi intensif. Produktivitas anak-anak sapi Jabres sebelum dan setelah sapih cukup baik