Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya: Open Journal Systems
Not a member yet
676 research outputs found
Sort by
TINJAUAN HUKUM PRAKTIK PINJAM NAMA OLEH INVESTOR ASING LANGSUNG TERHADAP HAK MILIK ATAS TANAH
Praktik pinjam nama atau kita kenal dengan praktik nomineetelah dilaksankaan oleh beberapa investor asing yang melakukan investasi di Indoneisa, dengan bertujuan memperoleh hak kepemilikan tanah atas wilayah Tanah Air, urgensi adanya praktik ini adalah lebih kepada para WNA yang ingin membangun PT PMA karena WNA tahu dengan jelas bahwa kepemilikan tanah di Indonesia untuk membangun usaha dilarang, maka dari itu dilakukan cara lain agar dapat mencapai keinginan kepemilikan hak atas tanah. Disisilain praktik ini masih dilarang di Indonesia, tetapi banyak WNI yang tetap ingin melaksanakan praktik ini, karena menguntungkan baginya dan bagi pihak WNA, tentunya juga Pemerintah Indonesia yang hanya melihat bahwa banyaknya investor asing yang melakukan investasi langsung tanpa tahu terdapat perjanjian kausa yang tidak halal sesuai dengan Pasal1320 KUH Perdata.Dari perjanjian praktik pinjam nama ini, juga menimbulkan banyaknya risiko bagi WNI. Maka dari itu urgensi adanya praktik pinjam nama ini merupakan keegoisan dari piahk WNA yang ingin melakukan kerjasama dan mendapatkan keuntungan sendiri, tanpa memikirkan kedudukan hukum yang berlaku terhadap peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, serta risiko yang ditimbulkan terkait dengan pelaksanaan praktik pinjam nama (nominee arrangement)
UPAYA PENYELESAIAN WANPRESTASI ATAS PINJAMAN KREDIT DENGAN JAMINAN SK PNS (STUDI PADA BANK MANDIRI KCP MEDAN WAHIDIN)
Abstract : One form of credit provided to civil servants (PNS) is the Fixed Income Credit Group (KRETAP). The Civil Servant Certificate (SK PNS) can be used as collateral for bank loans, as it is considered an acceptable form of security by several banks. However, the process of granting credit loan facilities can encounter obstacles, one of which is the borrower's default in paying installments. Therefore, this thesis is entitled "Efforts to Resolve Default on Credit Loans Secured by Civil Servant Certificates (Study at Bank Mandiri KCP Medan Wahidin)." The research questions in this thesis are: How is the regulation of credit loans with SK PNS collateral at Bank Mandiri KCP Medan Wahidin, what forms of default are committed by civil servants in credit loans with SK PNS collateral, and what efforts are made by Bank Mandiri KCP Medan Wahidin to resolve default disputes on credit loans with SK PNS collateral. The research method used in writing this thesis is the normative juridical research method, which refers to legal norms conducted through library research to obtain secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials, and this research is descriptive in nature. Data collection techniques include library research and interviews with Bank Mandiri KCP Wahidin officials. The results obtained from this legal research show that the regulations of Bank Mandiri KCP Medan Wahidin in granting credit loans to civil servants (PNS) with Civil Servant Certificates (SK PNS) as collateral have a structured and meticulous process. The process begins with the collection of required documents, such as a copy of the SK PNS, identity card, salary slip, and other documents according to the bank's policy. The forms of default committed by civil servants in credit loans with SK PNS collateral include the borrower being transferred or reassigned during the credit repayment process, resulting in the borrower failing to meet obligations; the borrower being honorably or dishonorably discharged during the credit repayment process; and the borrower passing away during the credit repayment process. The efforts made by Bank Mandiri KCP Medan Wahidin to resolve default disputes on credit loans with SK PNS collateral involve fair and mutually beneficial negotiations, offering options for rescheduling, restructuring, or credit restructuring for borrowers facing payment difficulties. Keywords : Credit, SK PNS, Default
PELINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK PRODUK KECAP BABON TERDAFTAR
Merek adalah suatu tanda yang digunakan untuk membedakan barang dan jasa dengan ciri khas berupa gambar, nama, kata, huruf, angka, corak warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut untuk kepentingan perdagangan yang dibuat oleh suatu perusahaan. Sesuai ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, apabila terjadi pelanggaran, maka merek tersebut dapat dihapuskan. Salah satu kasus perdebatan merek dagang ini terjadi antara merek dagang Produk Kecap Babon milik Penggugat dengan merek dagang Babon milik Tergugat berdasarkan Putusan Nomor 1/Pdt.Sus.HKI/Merek/2023/PN. Niaga Sby. Kata Kunci : Abstrak; Kecap Babon; Merek Terdaftar; Pelindungan Hukum Merek
Human Rights Violations and Corporate Criminal Liability: An Analysis of the New Indonesian Criminal Law
In light of the increasing role of corporations in facilitating gross human rights violations, this article seeks to evaluate the implementation of the Indonesian Criminal Law in addressing corporate criminal liability. Notably, the recently amended Indonesian Criminal Law recognizes corporations as subjects of criminal law, but Law No. 26 of 2000, which regulates gross human rights violations, does not. Consequently, this research specifically scrutinizes the Indonesian Criminal Code, Law No. 26 of 2000, and international legal standards to answer the issues: rules of aiding and abetting under international criminal law and the applicability of corporate culture theory, and the implementation of Indonesian Criminal Law in addressing corporate criminal liability for gross human rights violations. Examining these issues relies on three methodologies, namely the statutory approach, conceptual approach, and case approach. The results of this article uncover that the recognition of corporations as subjects under the new Indonesian Criminal Code and rectification of the ratione materiae of Law No. 26 of 2000 open the avenue for corporations to be held criminally liable for gross human rights violations based on aiding and abetting. Furthermore, the theory of corporate culture envisaged in the new Indonesian Criminal Code renders the plausibility of holding corporations liable if they are deemed to cultivate a culture that pushes or encourages a gross human rights violation.
IMPLEMENTASI VISUM ET REPERTUM UNTUK PENYELESAIAN TINDAK PENGANIAYAAN NOMOR 814/PID.B/2022/PN.TJK
Salah satu alat bukti yang digunakan dalam penyidikan tindak pidana diatur di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 adalah Keterangan Ahli dalam bentuk tertulis, dalam hal ini adalah Visum et Repertum. Tujuan dilakukan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana Visum et Repertum dibuktikan kekuatannya sebagai alat bukti tindak pidana penganiayaan dan bagaimanakah pembuktian tindak pidana penganiayaan dengan menggunakan Visum et Repertum yang memiliki perbedaan dengan keterangan terdakwa (Studi Putusan Nomor: 814/Pid.B/2022/PN.Tjk). Penelitian ini menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Hasil penelitian diperoleh bahwa Visum et Repertum sangat berguna dan bermanfaat untuk memperkuat pembuktian tindak pidana penganiayaan dan apabila terdapat perbedaan dengan keterangan terdakwa, keterangan dari terdakwa dapat ditolak jika hakim mengetahui bahwa itu adalah keterangan palsu atau tidak sesuai dengan alat bukti lainnya
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA GRATIFIKASI DI INDONESIA
Praktik gratifikasi yang merupakan salah satu bentuk rumusan delik dari tindak pidana korupsi sesuai UU Tipikor. Selain penggelapan dalam jabatan, suap menyuap dan gratifikasi merupakan salah satu jenis tindak pidana korupsi yang menarik perhatian karena suap menyuap dan gratifikasi ini menurut penulis merupakan sebuah kesatuan yang sulit dibedakan. Hal tersebut karena gratifikasi dapat terjadi karena didahului adanya suap yang dilakukan oleh pelaku, tetapi bukan merupakan kesepakatan awal dari kedua belah pihak. Terdapat beberapa permasalahan yang timbul semenjak diaturnya perbuatan ini yang disebabkan oleh beberapa faktor. Oleh karena hambatan tersebut, penegakan mengenai tindak pidana gratifikasi ini menjadi tidak optimal, sehingga membutuhkan kajian lebih lanjut mengenai penegakannya. Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif. Hasil dari penelitian ini menampilkan fakta bahwa berdasarkan penegakan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada praktik gratifikasi ini memiliki beberapa hambatan yang menyebabkan penegakannya tidak maksimal. Dengan berlandaskan hambatan tersebut, timbul kajian terhadap beberapa pilihan yang bisa dipilih dan dilaksanakan oleh pemerintah kedepannya agar dapat mengoptimalkan penegakan terhadap perilaku tersebut dan mendapat hasil yang diharapkan
TUNTUTAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU PEREDARAN GELAP NARKOTIKA
Tuntutan pidana mati oleh JPU terhadap pelaku peredaran gelap narkotika khususnya di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan didasarkan pada kewenangan penuntutan oleh JPU menurut Undang-Undang tentang Kejaksaan dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Narkotika yang mengandung ancaman pidana mati Pertimbangan hakim dalam memutus pidana mati terhadap pelaku peredaran gelap narkotika secara yuridis adalah terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana berdasarkan pada fakta-fakta persidangan yang berasal dari alat-alat bukti yang sah termasuk barang bukti narkotika dalam bentuk tanaman yang beratnya di atas 5 (lima) gram yang memang terhadap terdakwa diancam pidana mati. Sedangkan pertimbangan secara non yuridis, adalah hal-hal yang memberatkan terdakwa yang pada pokoknya antara lain karena perbuatan terdakwa tidak sejalan dan tidak mendukung program pemerintah yang sedang memerangi peredaran gelap narkotika, perbuatan tersebut merusak mental dan generasi muda, dan jumlah narkotika yang dikuasai sebagai perantara dan akan diedarkan oleh terdakwa adalah dalam jumlah besar dan sebagian besar telah berhasil diedarkan ke masyarakat
UPAYA ANTISIPATIF PERKARA PENCUCIAN UANG BAGI NASABAH BANK SUMSEL BABEL MELALUI METODE CUSTOMER DUE DILLIGENCE
Kemajuan teknologi di sektor perbankan dapat diibaratkan seperti pisau bermata dua yaitu di satu sisi bank dapat memberi kemudahan bagi nasabah, tetapi di sisi lain dengan adanya kemudahan tersebut dapat meningkatkan risiko munculnya kegiatan ilegal seperti kegiatan pencucian uang. Kegiatan pencucian uang sangat rentan terjadi di sektor perbankan sehingga menjadi perhatian penting bagi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengawasi segala kegiatan pelayanan nasabah dan kegiatan usahan perbankan. Sebagai strategi untuk mencegah terjadinya kegiatan pencucian uang maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan sektor perbankan untuk menerapan program Anti Pencucian Uang (APU) melalui penerapan Customer Due Dilligence (CDD) dan manajemen risiko bank. Rumusan permasalahan dari penelitian ini adalah penerapan Customer Due Dilligence (CDD) dalam Program Anti Pencucian Uang (APU) terhadap pelayanan nasabah perbankan pada Kantor Pusat Bank Sumsel Babel dan pengaruh dari penerapan Customer Due Dilligence (CDD) terhadap pelayanan nasabah perbankan dalam memitigasi risiko bank atas kegiatan pencucian uang pada Kantor Pusat Bank Sumsel Babel. Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum empiris yang didukung data sekunder dengan menggunakan metode pendekatan analisis secara kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah penerapan Customer Due Dilligence (CDD) dalam program Anti Pencucian Uang (APU) di sektor perbankan dilandaskan oleh undang-undang dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) serta penerapan Customer Due Dilligence (CDD) juga memberikan pengaruh besar terhadap pencegahan pencucian uang di sektor perbankan melalui manajemen risiko
SECURING THE FUTURE: INDONESIA PERSONAL DATA PROTECTION LAW AND IT’ S IMPLICATION FOR INTERNET OF THINGS (IOT) DATA PRIVACY
This paper examines Indonesia's Personal Data Protection Law (PDP Law) in the context of the rapidly expanding Internet of Things (IoT). It explores the effectiveness of the PDP Law in safeguarding personal data amidst increasing IoT integration in various sectors, notably smart homes and wearable technology. Inspired by the EU's General Data Protection Regulation (GDPR), the PDP Law addresses data protection with specific regard to the unique challenges posed by IoT, such as extensive data collection and heightened vulnerability to breaches. Through a comparative analysis with GDPR, the paper highlights both strengths and potential areas for improvement within the Indonesian framework, suggesting enhancements like incorporating privacy by design, establishing a robust data protection authority, and creating detailed guidelines for IoT data handling. The goal is to enhance the PDP Law's capability to manage privacy risks in an interconnected digital era, ensuring effective data protection and compliance with global standards
The Problems of Business Competition Supervisory Commission’s Authority of Core-Plasma Partnership Agreements
One of the government's efforts to improve the ability of Micro, Small, and Medium Enterprises (“MSMEs”) to conduct business activities is to execute a partnership system between Large Enterprises and MSMEs. In practice, violations are still found in the implementation of partnerships between Large Enterprises and MSMEs, the appropriate supervision is required from the relevant institutions. This paper examined the legal basis of the Business Competition Supervisory Commission (“KPPU”) in supervising the implementation of partnerships between Large Enterprises and MSMEs as well as the form of supervision conducted by KPPU on the implementation of partnerships. The research used a normative juridical by using secondary data sources. The typology of research used descriptive-analytical, which describes the authorities of KPPU in supervising business competition in Indonesia in terms of the implementation of partnerships comprehensively. This study has resulted, even though Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition does not state KPPU’s authority to supervise partnerships, though concerns to several related laws and regulations such as Law Number 20 of 2008 concerning MSMEs in conjunction with Government Regulation Number 7 of 2021 concerning the Ease, Protection, and Empowerment of Cooperatives and MSMEs, it is found that provisions authorize KPPU to supervise partnerships. The form of supervision over implementing partnerships conducted by KPPU includes providing consultations, evaluations, suggestions, and considerations related to government policies, harmonization of policies, and law enforcement. Furthermore, examining of alleged violations of the oil palm plantations of core plasma partnership between PT STP and Koperasi THB marks the KPPU's authority in partnerships law enforcement